#5 Writing Challenge: Your Parents

 I won’t be rootless.

Dari Bapak Ibu, aku belajar mencintai kekuatan pertemanan dan ilmu pengetahun. Jangan kolot gitu lho jadi orang.

Membicarakan siapa orang tua kita tanpa sengaja melemparkan kita semua kepada memori-memori di belakang bagaimana kita lahir, tumbuh dan mendewasa. Tidak semua kehidupan hanya berisi senang, pasti ada aja yang nyebelin tentunya, pasti ada banyak protes-protes atas takdir kehidupan yang sebagian darinya nggak bisa kita kendalikan, nggak bisa kita minta. Yang jelas, kita nggak pernah bisa meminta lahir dari orang tua yang seperti apa, kelas sosial yang bagaimana, dan jadi anak ke-berapa.

Dan takdirnya seorang ‘aku’, lahir sebagai sulung dari Bapak Ibu yang se- kecamatan aja, jadi sudah pasti nggak pernah ngerasain merantau.

Tapi nggak papa, budaya yang sama, asal yang sama tidak lantas memberhentikan upaya menelusuri kekayaan akar-akar kita ke atas dan ke atas lagi dan ke atas terus.

Kalau membayangkan Bapak Ibu, rasanya ada pertanyaan berat yang berkelindan di kepala, gimana setidaknya aku bisa mendidik anak-anakku seperti mereka. Walaupun nggak dipungkiri, ada beberapa hal yang aku nggak suka dari cara mereka, tapi tetap lebih banyak yang berperan besar ketimbang ketidaksukaan aku, menimbang kalau nggak ada manusia yang sempurna.

Bapak dan Ibu mungkin sama-sama tidak menyangka kalau akhirnya mereka berjodoh dan melahirkan empat anak yang kayak gilir kacang, kata orang Jawa. Wedok-lanang-wedok-lanang… Pertemuan mereka terbilang sangat singkat, om-ku berperan besar. Karena Bapak dan om satu organisasi. Cerita mereka berdua terbangun di atas kepingan-kepingan cerita orang lain dan tentunya melibatkan orang lain, yang tidak lain dan tidak bukan adalah teman-teman mereka sendiri.

Memang senggol-senggolan antar teman itu dari zaman manusia purba ada kayaknya, ha ha ha.

Apa ya, ada hal yang sangat aku syukuri dan sangat berpengaruh ke kehidupanku atas berjodohnya Bapak Ibu. Sesuatu itu adalah, aku turut dekat dan berteman dengan teman-teman Bapak Ibu, bahkan dekat dengan anak-anak teman Bapak Ibu. Karena teman-teman Bapak Ibu juga turut berjodoh satu sama lain. Bahkan ada yang memang Bapak comblangin, hehe. Bapakku ini jago banget nyomblangin. Jadi kadang aku dan beberapa temanku membayangkan, apa besok anak-anak kita juga bisa berteman satu sama lain.

Kehidupan aku bersama Bapak Ibu bisa dibilang nggak mudah, harus pandai-pandai mengelola hati dan berhadapan dengan orang-orang yang brengsek di luar sana. Dari mereka, aku belajar memperlakukan anak-anak dengan adil. Menimbang kemampuan mereka, tidak melulu terkungkung dengan konstruksi sosial yang ada. Bapak Ibu aku sangat nggak kolot, mengajarkan aku dan adek-adek untuk mencintai kekuatan pertemanan dan pengetahuan.

Kalau mau tau, gimana Bapak dan Ibu-nya aku, sini main ke rumah (hehe).

Sebenernya aku pingin tau gimana teman-temanku atau siapa pun yang mengenalku dan sempat ketemu Bapak Ibu memandang mereka. Kalau kata Mbak Dewi suatu hari, karena dia volunteer AFS Jogja- home interviewer sebelum berangkat ke Italia, melihat kalau Bapak Ibu-ku ini “nyentrik” dalam mendidik aku. Izzy, temanku seorang Amerika juga bilang, 

“Bapak Ibu kamu keren Nabila,” sambil ngacungin jempolnya.

Iya Izzy sempat ngopi sama Bapak Ibu di Jogja, menyalurkan funding yang dilakuin Izzy untuk aku sebelum berangkat ke Italia. Tapi sayangnya aku di Jakarta :(

Sedikit tulisan ini nggak cukup menuliskan tajuk “Your Parents” they both are my energy, my life. Allah, please showering my Bapak Ibu with love, guidance, and protection. Put them in Jannah, give them happiness in dunya akheerat.

Love them in any way you can,


nabiladinta.

Temanggung, 6 Oktober 2020

0 komentar