#3 Writing Challenge: a memory
A memory.
Agak sulit sebenernya buat memilih satu memori, karena aku pikir banyak banget memori-memori yang melekat dengan sangat dan aku ingat detailnya sampai saat ini. But, lemme choose ya,
Tepat empat tahun, periode caketum-an IPM Mu'allimaat tahun 2016 lalu.
Dan aku dinobatkan sebagai salah satu calon ketua umum IPM Mu'allimaat, disandingkan sama dua sahabat mautku, Sabrina Rahma dan Alfreda Fathya. Percaketum-an ini sungguh menguji mental, mendobrak-dobrak pertahanan kita masing-masing dan saling digesekkan satu sama lain oleh keadaan. Tanpa sadar, kita dipertontonkan di hadapan seribuan penduduk Mu'allimaat satu bulan-an.
Masih ingat sekali, aku semacam nggak punya jeda untuk diriku sendiri. Menjadi Ketua FORTASI yang harus dipersiapkan matang selama sekian bulan, mengurus organisasi kesayangan aku di rumah Temanggung, selepas FORTASI usai harus segera melayang ke Surabaya jadi fasilitator jambore se- Jawa selama seminggu dan harus pulang duluan menerjang macetnya Surabaya di hari Sabtu, karena Minggunya ada penutupan FORTASI se-Jogja nggak mungkin banget aku sebagai ketua nggak menghadirkan diri.
Di kereta aku cuma bisa bergetar nangis saking lelahnya. Sendirian lagi, padahal temen-temen muat muin yang lain masih punya persediaan hari lebih banyak dan bisa jalan-jalan kesana kemari. Adrenalinku sungguh diuji.
Belum lagi, sampe Jogja banyak drama. Persengketaannya ada-ada aja. Tapi senangnya bukan main, akhirnya dapet juara! It's paid off Nabila :)))
Naasnya, memang aku bener-bener nggak tau diri. Aku harus dipaksa sakit biar mau berhenti. Hampir seminggu aku cuma bisa terbaring di kasur, panas dingin dan pusing tujuh keliling. Eh taunya tiba-tiba ada surat keputusan kalau aku harus melewati periode caketum. Harus segera bikin visi-misi. Aku sungguhan lagi nggak berdaya, nggak bisa memaksimalkan pikiran dan hati buat berpikir keras visi-misi IPM buat satu periode ke depan. Banyak yang harus dipertaruhkan.
Sebab terus diburu, aku terpaksa sambil tengkurang di kasur, di lantai luas kamar asrama sambil menulis visi-misi. Berat banget rasanya nahan pusing di kepala, jalan aja nggliyeng banget harus dituntun. Intinya aku ini orang yang jarang banget sakit, tapi bisa separah itu kalau drop. Akibatnya, visi-misiku jadi yang paling pendek :)
Gapapa Nabila, at least you did.... you've gone through those tough times.
Aku antar sendiri ke Mbak Enggar selaku Ketum saat itu. Sampai udah agak mendingan, banyak banget fitnah yang muncul. Entah sengaja atau nggak ada beberapa teman yang mengadu domba aku dan Sabrina. Sepele banget masalahnya, huhu. Tapi Sabrina jadi ambil hati, akunya nggak kuat dimusuhin Sabrina sampai didiemin padahal seharusnya kita saling support karena sama-sama sedang di posisi caketum :(
Pikiranku ke distract banget. Fisikku nggak kuat, dan di banyak malam yang panjang aku cuma bisa nangis di asrama, kadang ditemani Malwa. Tapi aku merasa harus bisa tampil kuat dan cerah di pagi hari. Rasanya dulu aku bohong banget ke diriku sendiri, karena posisiku sebagai caketum yang banner berisi foto plus visi-misiku di pajang di tengah lapangan. Nggak lucu banget kalau aku malah menampilkan muka kusut dan terlihat lagi bermasalah. Aku tau waktu itu aku 'memaksa' diriku untuk kuat dan mencoba bilang 'gapapa' setiap hari.
Aku sungguh grogi sekali waktu harus orasi. Bukan main.
Aku merasa nggak maksimal, ada sedikit penyesalan sampai sekarang. Walaupun ya aki tau aku nggak bakalan jadi ketum karena aku lebih memperjuangkan untuk berangkat AFS. Tapi kan setidaknya tampil maksimal bukan suatu keputusan yang salah. Deg-deg annya bukan main dilihat 1000-an anak se-madrasah, diuji guru-guru, dan alumni.
It was so challenging you know Nabila, it was so hard but you have to know that you made it dear...
Singkat cerita, di antara ketegangan yang semakin genting setiap hari. Aku, Sab, dan Fafat memutuskan untuk ngobrol intimate sendiri. Suatu sore di lapangan, di bawah tiang bendera. Kita ngobrol bertiga, aku dan Sab sangat tegang. Berusaha mengklarifikasi ternyata secara nggak sengaja kita di-adu domba, sengaja banget kayaknya itu emang huh. Fafat bingung, haha. Dan lari beliin kita minum di marzaq. It was so FUN! Haha. Lucu banget sekarang kalau diingat lagi.
Theen finally, kita sama-sama tau, seharusnya kita saling mengisi dan kita betiga sama-sama menyepakati posisi-posisi apa yang layaknya kita isi. Sampai akhirnya keputusan resmi muncul dan nama Alfreda Fathya yang akhirnya menakhkodai.
That was a precious memory, it taught me so many things about friendship, leadership and how to love ourselves, to maintain my health, to learn where is my position, to put myself into system, to make a movement together. Losing something doesn't make you less precious, you're all KEREN!
Setelah itu aku belajar, please take a rest Nabila. Perlu sekali untuk mengambil jeda di tengah tugas yang mati satu tumbuh seribu, di tengah segala hal yang patah tumbuh hilang berganti.
Thankyou memory, for letting me grow.
Grow as you go,
nabiladinta.
Temanggung, 3 Oktober 2020
0 komentar