Di Kereta Pasundan
Kereta Pasundan menuju Jogja melaju dengan amat lambat, semakin lambat sebab perlunya pergantian lokomotif di Stasiun Cipeundeuy. Sial batinku, hari menyebalkan memang tidak ada di kalender.
Pagi tadi aku melakukan adegan dewasa yang penuh siasat, harap-harap cemas rapat pagi segera usai supaya bisa mengejar kereta tercepat menuju Jogja yang harusnya kulakukan tadi malam. Semua buyar karena urusan pekerjaan yang kalau dipikir lagi, keren juga aku bertahan di tengah kantor yang semakin lama semakin menyebalkan ini.
Bercita-cita menjadi peneliti ternyata juga nggak semudah itu dan setulus yang diajarkan di kelas-kelas antropologi. Ternyata menjadi antropolog tetap nggak dianggap cukup “laku” di pasaran negara ini. Ilmu antropologi rasanya cuma kata yang dipinjam oleh orang-orang semu yang mengakali supaya ide besar penelitiannya “seakan-akan” berpusat pada manusia.
Di luar sana, orang-orang menganggapku bekerja di sebuah tempat yang sangat mulia. Bersama dengan orang-orang pintar dari kampus ternama dalam dan luar negeri dan didominasi oleh rumpun keilmuan yang sangat digdaya didengarnya sebagaimana pembangunan dilihat dari sesuatu yang ‘nampak’ saja. Sungguh berbeda dari kelas-kelas Prof. Laksono, Prof. Heddy, dan Mas Pujo yang senantiasa mengingatkan kami, mahasiswanya, bahwa sesuatu yang ‘nampak’ dan terlihat besar belum tentu berpihak pada manusia.
Banyak sekali proposal yang menuliskan ‘etnografi’ dan ‘partisipasi observasi’ sebagai dua kata kunci yang mahligai dipandang penyalur dana penelitian yang kurasa eksistensi kami para lulusan antropologi pun tidak begitu dianggap valid dan merasa harus dilibatkan oleh mereka para penulis proposal itu.
Sungguh mungkin aku jengah. Kering dan haus akan suasana ruang belajar yang memberdayakan dan memanusiakan orang-orang yang sedang belajar. Tulisan ini mungkin terlihat omong kosong perempuan seperempat abad yang sedang berupaya mencari ‘ruang tumbuh’ untuk mencari maisyah yang tepat.
Meskipun kuakui bahwa tidak ada yang benar-benar ideal di dunia ini. Bandung mungkin nyaman sebagai kota tempat tinggal, dengan udaranya yang dingin dan makanannya yang unik. Namun belum tentu tempat bekerja menjadi ruang yang nyaman untuk tumbuh. Oleh sebab itu, tumbuh dan tinggal tidak selalu bisa berjalan beriringan. Sampai-sampai dalam setiap doa yang belakangan kupanjatkan dengan teriakan sunyi mengingatkanku pada kemuliaan ilmu pengetahuan yang diajarkan di Gedung Soegondo, pada kesunyian catatan-catatan etnografi yang menyingkap nafas serta pengalaman kehidupan manusia, dan pada ketajaman indra analisis yang membuat dunia ini terasa sangat mungkin untuk mendobrak status quo yang menjijikkan.
Mudah-mudahan kita semua dipertemukan pada ruang dan kota yang membawa pada kehidupan yang tidak harus sempurna, namun setidaknya bisa membuatmu bernafas lega.
Kereta Pasundan, 12 November 2025
16.37
0 komentar