Selamat Hari Bangkit PII
Belasan
tahun saya mengenal PII, Pelajar Islam Indonesia.
Sejak
SD saya selalu menunggu-nunggu kapan saya pantas ikut basic training PII
atau lebih akrab disebut batra. Bapak saya selalu berkata bahwa suatu hari
nanti saya harus ikut batra tanpa menceritakan dengan jelas, apa sesungguhnya
batra itu. Sewaktu saya kelas empat SD, rumah saya menjadi dapur memasak
anak-anak PII Yogyakarta Besar (Jogbes) selama satu minggu karena sedang ada
batra di seberang kampung, di SD saya sendiri. Semata-mata karena Bapak adalah
Keluarga Besar PII. Dari kecil saya sudah sering diajak Bapak untuk ikut reuni atau pengajian dengan teman-teman PII di Parakan, bahkan sejak saya masih dalam kandungan.
Oh berarti mungkin saya sudah mengenal PII selama 20 tahun, sama seperti usia saya? Hehe.
Sampai
akhirnya saya mungkin menjadi peserta termuda batra pada bulan Desember 2012,
di lokasi yang sama saat saya sudah kelas satu tsanawiyah di Mu’allimaat. Ternyata
bukan hanya saya yang dihantui pertanyaan apa itu batra sebelum mengikutinya,
beberapa teman PII lain yang orang tuanya juga KB PII merasakan hal serupa.
Kalau
boleh jujur, batra adalah satu pelatihan yang paling membekas di hati dan
banyak sekali membentuk diri saya, menuntun saya menemukan siapa diri saya dan
untuk apa saya bertuhan, beragama, dan hidup di dunia. Pelatihan yang sungguh
abstrak, tanpa didoktrin, dengan sedikit bicara dua instruktur yang teramat
saya sayangi, Yu Rahmi dan Yu Jannah bisa memberikan banyak arti dalam hidup
saya. Masih saya ingat dengan jelas sampai sekarang.
Tulisan
mereka di blog masing-masing selepas batra begitu membekas, tapi sayangnya saya
tidak menemukan tulisan Yu Jannah. Tulisan Yu Rahmi masih saya simpan karena
saya re-post di blog, bisa di baca di sini rindu
peng(alam)an.
Sepenggal
ayat-ayat yang paling membekas adalah As-Shaf ayat 1-4, tanpa sengaja ternyata
malam ini ba’da tarawih saya tepat berada di surah tersebut. Ayat yang harus
kami hafal dan maknai ketika batra, “Hingga As shaf menjadi saksi sekaligus pengobat rindu. yang
mengajarkan manusia tentang barisan yang teratur, seolah-olah seperti bangunan
yang kokoh. Atas nama
cinta dan perjuangan,” tepat seperti
kata Yu Rahmi delapan tahun lalu.
Semua terlalu mahal untuk sekedar dilupakan.
PII menjadi salah satu tempat bertumbuh dan mendewasa, dengan
PII saya belajar menjawab keresahan-keresahan atas pertanyaan-pertanyaan
filosofis saya 5-7 tahun lalu. Dari PII saya belajar memaknai Islam, bahwa
sebagai seorang muslim kita berarti bertanggung jawab atas misi besar Muhammad
SAW. setiap kita terlahir dengan fitrah masing-masing.
Mungkin keikutsertaan saya di PII menimbulkan banyak
polemik dan perguncangan batin karena saya bersekolah di Mu’allimaat. Saya pernah
merasa takut, pernah dipojokkan kakak-kakak kelas, tapi saya akhirnya belajar
untuk tidak peduli atas apa-apa yang di luar kontrol diri sendiri. Toh, di PII
saya berkawan dan belajar banyak hal. Saya percaya bahwa belajar kebaikan bisa
di mana saja.
Cerita-cerita dengan PII di Temanggung, tanah kelahiran saya
menjadi pengisi-pengisi liburan saya khususnya semasa tsanawiyah. Saya belajar
dari sahabat-sahabat saya, Akmal, Ubaid, Avicena, dan lainnya tentunya bahwa
kita tidak boleh berhenti belajar dan berjuang meskipun lumbung kita terbatas. Menjadi
pengepul ilmu yang berada dalam lumbung meskipun banyak keterbatasan. Mereka bertiga
benar-benar menjadi sahabat saya sampai kapan pun.
Bersama teman-teman PII Temanggung, batra 2015 di Parakan |
Kesederhanaan dan nuansa intelektual di PII selalu saya
rindukan dan saya tidak enggan untuk duduk berlama-lama, semalam suntuk bahkan
sampai adzan subuh berkumandang demi berdiskusi dengan teman-teman PII. Maka, terus
berteman dan menjalin silaturrahim adalah salah satu hal yang tidak boleh saya
tinggalkan. Seperti kata teman saya,
“Sebaik-baik pertemanan adalah saling mendoakan, mendoakan itu cara mencintai paling sederhana, mendoakan itu cara mencintai paling rahasia.”
Terimakasih PII,
Mungkin saya tidak bisa menjadi seseorang yang
digadang-gadangkan dan memenuhi ekspektasi untuk teman-teman PII. Tapi percayalah,
saya menyayangi PII seperti saya menyayangi keluarga saya. Saya lahir dan
tumbuh di kalangan Keluarga Besar PII. Dari rumah ke rumah di Temanggung,
rumah-rumah kanda yunda yang selalu terbuka lebar untuk berdiskusi dan
berefleksi dari hal paling sederhana seperti mencintai sampai hal serumit
negara. Tanpa melupakan untuk terus bergandengan dan berjalan beriringan.
Kalau bukan karena PII, mungkin saya tidak bisa mendapatkan
pengalaman sulit dan dituduh ini itu. Hei, dunia luas dan mutiara dari mulut
anjing pun akan saya ambil jika itu adalah sebuah kebaikan yang memberikan
kebermanfaatan. Kata salah satu instruktur batra di Jogja pada tahun 2013
silam.
Terimakasih PII,
Membuat saya belajar untuk bertahan. Bertahan menghadapi
malam-malam panjang dengan tangisan dan penuh tuduhan. Bertahan untuk mencintai
apa yang kita pilih, memilih kendaraan untuk berjuang. Salam hangat dan rindu
untuk seluruh teman-teman PII yang pernah saya temui, untuk teman-teman batra
barata 2012 dan intra Purworejo 2016, untuk kanda yunda...
Inilah perjalanan, teman
Ada saatnya masing-masing kita memilih jalan yang berbeda, lantas berpisah
Tapi suatu saat kita akan bertemu pada persimpangan yang sama
InsyaAllah
Tapi suatu saat kita akan bertemu pada persimpangan yang sama
InsyaAllah
Tandang ke gelanggang walau hanya seorang.
Selamat Hari Bangkit ke- 73 PII.
Terimakasih telah hadir sejak 4 Mei 1947.
Temanggung, 4 Mei 2020
3 komentar
Mantaapp
BalasHapuswah terimakasih banyak!
HapusLanjutkan biill
BalasHapus