W E L (L) C O M E







Telah tiba dimana rasa sepi harus disudahi. Menghamba hanya berdua saja dicukupi, saatnya aku bertatap muka dengan manusia baru yang aku yakin nantinya akan membawa haru di hari akhirku di Kedah.

Rabu. Dunia baru. Ya, aku akan memulai babak baru di Rumah Yatim Gemilang. Banyak yang memenuhi pikiranku untuk tetap percaya dan yakin bahwa kamu belum apa-apa. Maka basuh dulu muka lesumu untuk membangun mimpi baru di Rumah Gemilang supaya cemerlang. Ibaratnya musafir yang butuh jeda berkali waktu dan yang butuh banyak kesabaran dan keteguhan untuk bertemu manusia baru.

Aku menata koperku dan seluruh yang ikut bersamaku pada ketibaanku di Malaysia. Mak Lung dengan kerendahan hati dan kesyahduannya setiap memuliakan tamunya ini mengetuk pintu kamar. Aku bergegas memutar gagang. Banyak yang tergenggam di tangannya, ternyata beliau menghadiahkan kami masing-masing satu tas kosmetik Thailand dan jilbab Kak Sarah. Seumur-umur aku bukan perempuan yang suka dandan apalagi dengan kosmetik yang mahal seperti barang yang aku terima dari Mak Lung. Hela nafas bahagia, rasa keperempuanan kebanyakan manusia di dunia harus kamu maklumi dan apa susahnya dipakai kaan. Macam syukur tanpa ukur.

Bergegas. Menjelang ashar terdengar mobil dari Akak Aziah, aku harus beranjak dari satu kehangatan keluarga menuju keluarga yang semoga mengukir haru dan menuai banyak kehangatan. Kami dibawa diikuti Pak Lung dan Mak Lung dengan mobil berbeda. Sesampainya di Rumah Gemilang, keadaan sudah banyak berubah dnegan banyak mobil dan manusia-manusia yang berdatangan. Kami langsung dibawa menuju Office Pejabat dan aku juga sudah berjumpa dengan Wafiq dan Fawzy.

Pak Cik Aziz namanya, beliau berwajah –chinese- dan terlihat orang yang tegas cekatan. Beliau menawarkan kami butuh rehat sebentar atau langsung bisa dimulai, dengan sigap kami menjawab bisa sesegera mungkin. Serasa tidak sabar menuju medan tanding, haha. Dengan meja bundar di ruang kecil itu kami didudukkan lalu Pak Cik memberi sebuah kertas berjudul Mubaligh Hijrah Internasional yang harus kami isi nama dan segala perangkat identitas sederhana yang mengikuti. Pak Cik melakukan semacam Intermezzo dengan bertanya keadaan muslim di Indonesia sembari menceritakan pengalamannya sembahyang di Tanah Aceh yang sedikit jamaahnya, lalu menyampaikan praduga kalau pantas saja 2-3 juta muslim Indonesia per tahun bisa ada yang murtad karena memang sedikit yang menjalankan islam secara kaffah. Hanya berdasar masalah ekonomi masyarakat muslim yang kurang, terkadang terbujuk rayu dan terjatuh ke dalam agama lain. Pak Cik Aziz menanyakan kondisi daerah asal kami masing-masing dan bandara mana yang terdekat dengan kami. Yang jelas kotaku, Temanggung bukan daerah yang memilki stasiun atau pun bandara.

Pak Cik Aziz terlihat seperti pejalan antar bangsa, sehingga beliau bertuah tentang kekuatan mencatat karena semakin senja kenangan bisa saja terlupakan. Menjelajah banyak bangsa dan tempat harus dicatat, seperti makanan seharga berapa, alamat, nama tempat perbedaan dialek. Mencatatlah dan kau akan semakin kaya, pemahaman lain yang kutangkap siang itu.

Aku dan Umma segera dibawa ke kamar, walhasil kami ditempatkan bersama dengan budak-budak asrama. Aku menyangka kami akan terpisah, tapi tak apalah. Sedikit berbeda dengan yang lainnya akan banyak menuai hal baru, toh kami juga terbiasa hidup di asrama dengan tidur bersama di ruang besar.

Pak Lung memanggil seorang gadis belia bernama Khalija binti Ghazali, wajahnya putih dan cantik kupikir. Dia yang membuat aku penasaran, karena kakak tingkatku yang dulu singgah di Rumah Gemilang menitipkan salam untuknya. Segera kami berjabat tangan. Pak Lung memberinya dua barang yang terbungkus kotak kepadanya. Lalu kami buka di dalam kamar Jannatul Firdaus, ternyata itu adalah alat untuk membuat seperangkat lemari sederhana. Dua buah jadinya untukku dan Umma. Akak Masyitah dan Yani membantu memasang. Aku mendengar mereka bercakap, semakin sulit didengar dialek bahasa Malaysia di Negeri Kedah ini. Heuuuh, bismillah.

Agak dag-dig-dug. Bukan karena kami tak mau satu kamar dengan mereka, tapi kami merasa layaknya anak baru yang datang ke asrama dengan bangsa yang berbeda. Masih tidak tenang ketika belum mengenal semuanya. Mungkin karena belum kenal jadi masih merasa tidak nyaman, asumsi positifku kepada diriku sendiri.

✔Menjelang Berbuka

Bis besar parkir di depan Rumah Gemilang. Bertuliskan Kolej Community Sungai Petani, ternyata ada kakak-kakak dari sana yang akan turut berbuka dengan budak-budak disini. Kami pun turut bersama mereka di ruang besar dan terbuka di sebelah dalam Rumah Gemilang. Sampailah kami di tengah keramaian, hei kenapa masih saja belum tenang. Ingat Allah saja hingga hatimu tenang, aku dan Umma tidak akan sejauh ini tanpa ditemani Tuhan Abadi. Aku banyak membayangkan di kepala tentang apa yang akan kami berdua lakukan. Masih absurd saja sampai petang, sampai tidak hanya sekali aku membuka gallery dan grup wasap Tim MHI.

Kami sedang menggali inspirasi kepada teman kami yang penuh dedikasi.
Budak-budak ramai sekali, semacam saudara yang sudah lama tidak tatap muka karena libur hampir satu pekan. Kami berdua mendekati beberapa anak yang seumuran dengan kami. Oh ya, ketika ada yang membuka salam jawaban dari budak-budak sedikit berbeda, ‘wa’alaikumussalam warahmatullahi wabaraktuh wamafirtu... (sambil sebut nama yang mengucapkan salam)’. Kami mendengar ketika Pak Cik Aziz menyampaikan sambutan sekaligus memperkenalkan kami berempat, pasukan MHI Mu’allimin-Mu’allimaat.

✔ Sholat Tarawih

Surau. Inilah tempat kambi berkumpul untuk menghamba. Wafiq dan Fawzy bergantian menjadi imam sholat isya’ dan tarawih. Oh ya, ketika menuju surau tiba-tiba ada budak kecil yang manis sekali menyapa kami,

“Assalamu’alaikum Akak..,” sambil menyalami kami.

“Wa’alaikumussalam adek, siapa nama ?” balasku

“Siti Humayra.”

Sampai waktu nanti dia yang akan paling sering menyalami kami dengan senyum manisnya.

***

Ba’da tarawih kami masih berkumpul di ruang besar tempat berbuka tadi. Kakak-kakak dari Kolej Community akan menampilkan nasyid mereka, tersebar kertas putih berisi lirik. Aku dan Umma hanya bisa menikmati dan berkabar ke teman-teman lainnya di penjuru Malaysia, ramai sudah jadinya kami mengobrol nasyid, hahaha. Tidak pernah lepas dari mengabadikan momen di setiap waktu. Berfoto ria-lah kami dengan penghuni Rumah Gemilang dan Kolej Community. Tidak sengaja ada akak cantik yang cukup semampai datang, ternyata namanya pun Nabila sepertiku. Bersyukur sekali ada perempuan cantik manis semampai yang namanya Nabila, hmm semoga aku juga ketularan semampainya ya (?)

Keramaian baru berakhir di waktu hampir tengah malam. Aku dan Umma pun berusaha menggunakan segala waktu supaya bisa berkenalan dengan budak-budak. Penuh syukur, kami selalu diterima dengan hangat di negeri ini, di ujung atas Negeri Jiran. Aku langsung menjumpai Akak Masyitah, “Kak nanti kami mau ketemu, hendak cakap soal program kami disini.”

Beberapa waktu kemudian, kami dipanggil beliau menuju Office Pejabat. Jadi Akak Masyitah ini adalah seorang Warden atau biasa disebut musyrifah kalau di Mu’allimaat. Akak Masyitah ini juga hangat sekali, perawakannya tinggi dan kecil kalau cakap sama kami sedikit-sedikit bisa bahasa Indonesia. Kami mulai semangat menyusun apa saja yang bisa dilakukan untuk Rumah Gemilang, hal wajib adalah harfun tentunya. Pak Cik yang penuh semangat tadi, menyuruh kami supaya mengajar Kalimat Jawi, agak bingung. Hah. Kalimat Jawi, dengan bahasa Kedah yang lumayan mbingungi, akhirnya kami paham.

“Oalaaaah Arab Pegon Um,” kataku kepada Umma.

Umma menatapku dengan penuh kebingungan pula. Gimana bisa nanti, kami awam dengan Arab Pegon. Kalau bertemu pun kadang menerka-nerka sendiri tanpa pernah tau kaidah sebenarnya. Tarik nafass panjang, okelah bisa dicoba ya Um. Sesederhana mungkin, cukup dengan belajar menulis nama sendiri.

Oh ya, disini setiap nama pasti diikuti nasab. Sampai Pak Cik Aziz heran kok kami tidak bernasab, “Nanti kalau misal ada nama Ulima Nabila Adinta empat orang tak bingung jika tanpa nama Bapak ?” Wafiq yang menjawab, “Pasti nanti ada bedanya Pak Cik di awal atau pun di belakangnya, jadi tak bingung, di Indonesia sebagian saja dengan nama Bapak.” Yass. Bagus fiq.

Kami pun kembali ke kamar dengan ketenangan bertambah. Tapi tetap saja masih kaku, ada yang mendatangi kami untuk bercakap. Kalau Pak Lung masih pelan-pelan tapi kalau budak-budak disini tanpa jeda sampai harus pasang telingan beribu kali lipat, lebay ya ? Iya memang lebay, bentuk kebingungan kami. Masih di tanah Melayu, gimana besok di lain benua Bil. Sampai lampu kamar Jannatul Firdaus sudah sayup-sayup aku dan Umma masih sibuk menatap layar, menyempatkan sisa waktu untuk mencatat, seperti kata Pak Cik Aziz.

Tiba-tiba ada perempuan di ujung kamar berteriak kencang, intinya menyuruh semua budak diam dan segera tidur. Gimana ngga semakin deg-degan, berasa anak yang bener-bener baru masuk asrama. Agak resah, lalu aku tanya ke salah satu budak yang sedang menghampiri kami, “Tak apa kalau kami masih bangun ?” “Tak apa tak apa, sudah biasa.” Maklum penghuni baru di tengah banyak budak Rumah Gemilang yang bermacam usia itu.

Aku tetap memanjakan jari di papan ketik. Dan mengumpulkan keyakinan untuk besok pagi, sahur bukan lagi di rumah Mak Lung, kami akan dibangunkan layaknya anak asrama Rumah Gemilang. Tapi di lain waktu, kami berposisi sebagi Cik Gu mereka. Kami berdua juga masih apa adanya banget, bukan guru yang lancar menyusun silabus supaya pembelajaran tertata.

Yakin. Teman tidur ke alam mimpi, supaya bangun segar di pagi hari Bumi Kedah

See. W E L ( L ) C O M E

21.59 WM

Salam Kawan,


Rumah Yatim Gemilang Sik Kedah
8 Ramadhan 1438 H

0 komentar