ALOR STAR, IBU KOTA NEGERI KEDAH
Ya. Ramadhan hari ke-4 atau hari ke-6 aku di Malaysia rasanya pingin bertermakasih pada angin yang utuh membawaku selamat sampai sana. Aku kembali menemukan arti ‘keluarga’ di kamus keluarga Melayu ini. Sepagi ba’da tadarrus 2 jam bersama Ibu-Ibu di Masjid Ar Rahman ditemani hujan deras yang mengguyur Kedah aku memilih menata nafas dulu (it means sleep well). Kita perlu sekali kan menjaga diri dan sanubari.
Kami bertolak pada tengah hari sebelum adzan dhuhur berkumandang. Pak Lung sudah menyampaikan kalau perjalanan akan lama, lebih dari satu jam dan akan menuju dua tujuan sampai nanti malam. Karena Pak Lung dan Mak Lung yang super baik itu aku dan Umma bisa meghamba di sekian banyak masjid. Sepanjang jalan banyak sawah melimpah, tapi sangat sepi, sepi sekali. Kami berdua pun diceritakan kalau sawah disini totally dengan mesin tidak seperti di Indonesia yang masih banyak manual, disini pun juga tidak banyak gubuk di tengah sawah berdiri.
Bagiku, masih tetap alami di Indonesia, suasana lebih syahdu apalagi kalau berada pada tatanan terasering.
Beranjak sejenak di masjid dekat sebuah pabrik, sayangnya aku lupa sekali namanya. Melaju terus hingga menuju perumahan yang cukup elit ternyata kami menuju rumah putra mereka berdua, namanya Syamsul. Cucu-cucunya langsung berhamburan keluar melihat Tokwan dan Tuk-nya keluar sampai salah satu mereka ada yang menggambar di kertas ucapan ‘welcome’ ke Tokwan mereka. Langsung kudekati mereka dan kutanya nama masing-masing.
Kepada putri sulung, “siapa nama ?”
“Afiyaa,”sambil mengerjap cantik sekali.
“Airaa,” si manis keluarga kecil ini.
Dari wajah mereka dan kesantunan mereka terlihat kalau mereka dididik dengan gaya islami oleh kedua orang tua mereka.
Lalu ada bocah kecil kisaran berumur 3 tahun berlarian tanpa baju. Lucu sekali dia, Mama-nya memanggil-manggil, “Hei Ashman Ashmaan.”
Pak Lung dekat sekali dengan mereka, namun hanya Afiya yang berpuasa. Pantas saja cantik, ganteng dan santun-santun Ibunya saja cantik manis anggun. Bau sosis pun kerasa sampai perut bunyi, sosis yang dimasak spesial untuk Aira dan Ashman. Ashman si kecil putih itu terus berpolah sampai Ibunya kepalangan sana-sini. Ternyata masih ada satu lagi yang lebih lucu, ya da Adzki yang masih terlihat muka tidurnya di gendongan Mak Lung atau Tuk-nya. Rasanya pingin tak gendong dan tak cubitin karena imutnya Masya Allah, besarnya pasti lebih cantik dan jadi idaman kaum adam. Haha
Tak jauh berbeda dengan keluarga di Indonesia, rumahnya pun sama. Modern, bukan rumah ala Malaysia. Zaman kan sudah bergulir ya di era global seperti ini, disini aku menemukan rak buku yang banyak sekali sastra Indonesia terpampang seperti buku-buku Pramoediya Ananta Toer dan catatan seorang demonstran 'Soe Hok Gie.' Buku-buku itu beberapa waktu lalu kutamatkan. Masyhur sekali mereka sampai tanah seberang. Aku kembali mendapat pemahaman, menulislah dan kau akan semakin cantik.
Sayangnya kami harus menyudahi kunjungan itu. Menjelang ashar kami bertolak menuju Masjid Al Irfan, di tengah kota Alor Star. Seberang masjid itu ada halte bus dan SMK Kebangsaan khusus putri. Begitulah, setiap menemui bangunan apapun Mak Lung dan Pak Lung selalu berusaha menjelaskan secara rinci. Sederhananya seperti itu macam sekolah negeri atau swasta serta subyek pelajaran atau muatan apa saja di dalamnya. Kami juga bertemu beberapa pesantren di Kedah ini. Kami mengangguk-angguk sesekali bertanya memenuhi rasa penasaran yang tak kunjung berhenti.
I am never thinking, I will go around here. The power of me now is say thanks to Allah. How the world will show you the best way to see. Allah is powerful God ever. Thank you,
Lalu kami berhenti di sebuah kedai untuk membeli minuman dan tanpa disangka angin membawa kami ke sebuah Book Store, padahal baru beberapa waktu lalu aku membincangkan dimana Book Store di Malaysia di grup kecil WA. Allah memang baik dan selalu baik, barangkali Pak Lung selalu mau meninggalkan kenangan berharga dengan perjalanan dan buku. Dan kedua hal itu adalah jiwa yang selalu terpatri dalam diri. Jadilah aku memilih buku yang bagus ya tentunya sembari bertanya saran ke tiga orang temanku di Selangor, Thailand dan Kuantan Pahang. “BELI BIL !!” balasan serentak mereka. Dua orang dari mereka pun menitip antologi puisi dan cerpen tapi setelah pusing-pusing toko aku hanya bertemu antologi cerpen.
Betapa aku tidak tambah mau sujud syukur, ternyata kami dibelikan buku. Aku dan Umma membeli karya Buya Hamka. Eratnya sebuah keluarga memang selalu tanpa tabir apapun. Apalagi keluarga dengan kekayaan ilmu, dan merasa haus dengannya.
Sampai akhirnya kami sampai di kawasan kampung elit di Alor Star. Rumah panggung yang modern, rumah kediaman adik Mak Lung seorang Lawyer yang kami panggil Pak Su Muhammad Hezeri.
KEHIDUPAN KELUARGA MELAYU
Tentang ini aku dan Umma diajak berbincang banyak di waktu ngabuburit kami di ruang tamu yang klasik dengan lampu orange menerangi dan arsitektur kayu yang kental. Pak Su memang terlihat sangat berwibawa dengan tingkat pendidikan bergengsi. Beliau pernah menempuh pendidikan di International Islamic University of Malaysia (IIUM) atau disini biasa dikenal Universitas Islam Antarbangsa (tempat beliau bertemu Mak Su Nur Azlina yang ngga kalah keren dan cerdasnya, pantas mereka berjodoh ya). Beberapa kali beliau menceritakan harga-harga makanan di Malaysia dan balik bertanya bagaimana di Indonesia sambil mengkalkulasi ringgit ke rupiah, pun sebaliknya.
Beliau memiliki firma hukum sendiri, sebagai lawyer yang berbobot fikirku. Terlihat dari gaya bicaranya.
Tiba-tiba keluarga Bang Syamsul datang. Akhirnya bertemu si kecil Ashman dan Adzki lagi. Langsung ku gendong Adzki, yang tak lama kemudian menangis. Hiks kan sedih ya. Selepas itu kami masih saja mengobrol soal universitas, di Malaysia universitas milik Indonesia yang sangat masyhur terdengar adalah ITB dan UGM kata Kak Siti Sarah. Obrolan kali ini lebih banyak soal pendidikan dan upah minimum pegawai negeri di Indonesia, mereka juga bertanya subjek apa saja yang kupelajari di Indonesia pada kelas sosial. Malaysia memiliki upah minimum 2000 RM sekitar 6 juta di Indonesia. Waw. Itu cukup tinggi dibanding Indonesia yang paling rendah kisaran 3 – 4 juta.
Tentang sebutan Melayu di Tanah Melayu (lebih luas lagi yang be-ras Melayu ya bukan hanya Malaysia). Pak Su bercerita kalau orang Indonesia menyebut semua orang Malaysia itu Melayu sedangkan jika orang Malaysia menyebut orang Indonesia lebih spesifik lagi dengan melayu Jawa, Sunda, atau kah Sumatera. Actually kita semua adalah ras Melayu di daratan yang lebih luas dari Indonesia.
Obrolan kami berhenti ketika kumandang adzan dari radio pun terdengar, ada yang terburu. Pak Su langsung menyatakan itu adzan daerah KL, Kedah belum lah. Baru beberapa saat kemudian tibalah adzan.
Kami semua langsung menuju ruang makan. Rumah itu minimalis yang unik dan klasik. Menu berbukanya ada roti john ternyata, kata kakak tingkatku yang pernah berpesan supaya jangan lupa membeli ini. Kata Pak Su disini berkisar 2 RM. Dan itu enaknya pingin tak kusingkirkan dari lidah rasanya sekenyang apapun perut. Hampir seluruh jamuan Mak Su yang memasak, putra-putra beliau dan sepupunya berisik sana sini karena semuanya berebutan makan. Biarpun kami orang baru di tengah mereka tapi kami sangat diterima dengan hangat.
Mak Su betul-betul menghadirkan makanan apa yang kami mau makan. Sampai menuju sholat tarawih beliau yang ada di dekat kami. Tarawih kali ini tidak perlu mengendarai kereta, cukup dengan berjalan kaki bersama seluruh keluarga. Saat keluar jalanan kampung itu sudah ramai orang berjalan kaki ataupun kereta-kereta yang rata-rata berukuran kecil. Kami datang ke lantai bawah, dan semuanya adalah muslimah. Ternyata yang muslim ada di lantai atas. Imam terdengar denga pengeras suara. Masjid ini bernama, Masjidul Aman. Memang menyamankan siapa saja yang singgah menghamba disana. Cukup 8 rakaat tarawih kami ikuti, karena harus memburu waktu menuju Kampung Charuk Kudong yang lumayan lama.
Setibanya di rumah kami diminta biar makan besar, apalah daya perut sudah sangat penuh. Tapi tak apalah kami mencoba mie khas Malaysia dan makan snack. Mak Su sembari mengenalkan jenis sekolah islam tempat beliau menyekolahkan Hurin, Khumair dan Alexander. Saat ini mereka sedang libur jadi Mak Su harus lebih tekun mengawasi budak-budak yang maunya menonton televisi. Ternyata pelajaran agama di sekolah budak-budaknya berbahasa arab namun Cik Gu tetap menjelaskan dalam bahasa Melayu. Beruntunglah mereka punya Ibu seperti Mak Su yang pemahaman agama dan bahasa arabnya ampuh, berkat pengalaman belajar di IIUM kata beliau.
Selepas saling berbagi mengenai model pendidikan di Malaysia dan Indonesia aku meminta supaya bisa mencoba kursi medis yang bisa mijet, rasanya badan yang remuk berjalan kesana kemari terobati dengan pasti haha. Ada kejutan lagi buat kami berdua dari Mak Su, beliau membagi hijab-hijab ala Malaysia yang biasa dibeli secara online, “Kalo online sudah sampe tinggal depan rumah.” Bukan hanya itu, beliau tiba-tiba masuk kamar dan keluar lagi alu memberi kami amplop (udah Selamat Hari Raya Idul Fitri ajaa). Bisa diterka lah ya, apa maksud dari amplop. Kami menyalami dengan penuh tanda terimakasih.
“Ini dari Pak Su, sebagai bentuk zakat untuk orang-orang yang menuntut ilmu,” jelas Mak Su dengan penuh kerendahan hati.
Mak Lung dan Pak Lung segera bergabung menuju kami. Kami harus segera bersiap untuk pulang. Hal yang tidak penah kami lupakan adalah mengabadikan momen bersama keluarga Melayu yang sangat hangat ini. Sampai detik itu, aku dan Umma berfikir,
“Kok bisa-bisanya sih ya Um kita malah tinggal di keluarga dan kenal sampai keluarga besarnya yang lain. Harus bagi-bagi ini sama Wafiq sama Fauzy.”
Ya. Malam itu berakhir dengan keyakinan bahwa kami harus kembali menjalin rahim degan keluarga besar ini pada waktu nanti. Jangan lupa kembali pada yang memberi arti Bil.
Terimakasih Keluarga Melayu :)
Tentang Kedah dan segala penghamparannya.
Salam Kawan,
6 Ramadhan 1438 H
11.30 WM
0 komentar