Teruntuk Kelantan,
Hei . How's Life ?
Itu kalimat bahasa inggris yang paling aku suka kalau mau nyapa. Siapa aja kapan aja. Beberapa hari berhenti karena merasa tidak ada sesuatu hal yang sangat berarti. But nooo, I think everything is meaningful buat dikenang.
For now, aku mau mengenang dua temen superku yang qona'ahnya MasyaAllah ngga pernah putus sampai dunia bakal mampus berhembus. Hari-hariku seperti hari biasanya, mengajar harfun muqaddam-qolilullah-mengajar sedikit demi sedikit ilmu Islam-berhabluminannas pada batas yang memberi banyak arti.
Before going to both of my friends, aku udah semakin merasakan kehangatan sebuah keluarga dalam suatu ritme perjalanan. What a super journey is how you get a new family, wherever whenever you're. And I always get the word of family.
Ini kabar dua hari lebih yang lalu. Sewaktu aku membuka grup besar wasap MHI 2017. Di tengah hari yang syahdu ada notif dari Gandhi,
"Bismillaah, perjalanan menuju pedalaman orang asli Malaysia di dua tempat. InsyaAllah sampai tanggal 8 besok bersama kurang lebih 20an relawan dan Rif'at Bira dari Mu'allimaat."
-MHI 2017, 1.07 pm / June 4th-
Secara otomatis kalimat "Hati-hati, semangat, dsb" keluar dari seluruh kawan. Ya, awalnya mereka adalah berempat, tambah Mina dan Azzam Ahmad di Pusat Latihan dan Dakwah Orang Asli (PULDOA) 16450, Kok Lanas, Kelantan. Mereka berempat adalah kawanku yang terakhir aku jumpa sebelum akhirnya bertolak berempat (Aku, Wafiq, Umma, Fawzy) ke Sik Kedah di kediaman Dr. Noordin di Bandar Baru Bangi, Selangor. Itu udah macem perpisahan penuh tanya, karena kita tidak pernah bisa membayangkan dengan jelas kehidupan kita selama beberapa hari ke depan di Tanah Melayu ini.
Ahh, mereka selalu bisa bikin manusia amatir macam aku ini semakin penasaran dengan keberanian. Setelah beberapa hari lalu dalam jurnalku, Bira berhasil membuat tanganku mengisi ruang deretan alfabet. Karena Pendekar Srikandi Lampung itu tidak sungkan mengajarkan ilmu silatnya di Kok Lanas. Aku selalu takjub dengan perempuan-perempuan yang survive-nya bisa selayaknya bahkan melebihi lelaki. Honestly tidak pernah ada hal yang membatasi.
By the way ya, aku merasa sedikit menyesal, setelah dulu pernah bergelut di dunia bela diri sejak SD dan akhirnya berhenti di kelas dua tsanawiyah di Mu'allimaat. Setelah dulu berkali waktu pingin nangisss karena kena tendang terus kalau kuda-kuda salah, itu jaman aku masih SD persiapan buat Lomba Seni IPSI. Dan ya waktu itu juga setiap hari diterabas bahkan waktu gerimis datang, di tengah lapangan sekolah. Suatu ketika aku pernah datang seorang diri demi belajar silat, dengan penuh kemaksimalan Pak Narwan guruku yang juga Pendekarnya Temanggung eksklusif mengajariku. Kenapa aku bisa-bisanya berhenti ? Lol. Tapi tenang, kehadiran seorang teman perempuan tangguh semacam Bira berhasil menyihir seluruh penyesalan menjadi sebuah kesyukuran dan ketakjuban anyway. Its true Bir.
***
Dari jauh melepas dua kawan pergi ke pedalaman itu membuatku menyisipkan banyak doa. Doa penuh keyakinan dan tanpa kekhawatiran, dan mereka juga akan dilepas seorang-seorang. Meninggalkan Mina dan Azzam di Kok Lanas, aku bisa ngebayangin gimana Mina nangis sejadi-jadinya ditinggal Bira dan Gandhi. Gadis belia yang pas awal masuk Mu'allimaat dua tahun kurang lalu selalu keluh kesah ke aku, manusia amatir ini. Spontan aku mengontak Bira dan Gandhi masing-masing. Gandhi yang udah share banyak ke aku. Sebenarnya hanya Bira yang berangkat, perempuan macam apa kau ini Bir, tidak pernah gentar dengan apa pun.
" Ya Allaahhh... panjang bil ceritanya.. Awalnya emang nggak kepikiran buat ikut si..
Umi yg jd mudir kurikulum MPI Kok Lanas ini kan minta tolong biar yg cewe jgn semua berangkat. Karena ngga ada relawan buat ngajar murid2 orang asli yg putri. Akhirnya Mina yg stay, Bira ikut.
Cuma, delay 30 menit sebelum berangkat aku berubah pikiran setelah liat banyak relawan dateng dari jauh. Pengin ikut. Terus aku bilang Mina , karena yg laki-laki masih ada relawan pengajar yg lain, jadi sebenernya Umi ngijinin aku sama Aam ikut. Tapi karena Bira dah terdaftar jadi nggak mungkin Mina ditinggal sendiri. Mina aja berdua sama Aam terpaksa gitu, jadi aku ngerasa agak bersalah sih ninggalin dia. Dia mintanya aku ikut stay di Kok Lanas gitu..."
-Ilham Gandhi, 1.31-
Waw. Empat terbagi jadi tiga tempat jadinya, padahal di bagian lain Malaysia ada yang bertiga satu tempat. See ? Mereka siap terpisah karena kemauan besar buat mengerti makna sebuah perjalanan dan pengalaman.
Setelah perjalanan kira-kira selama 5 jam lebih akhirnya mereka sampai di lokasi masing-masing. Baru tengah hari tanggal 5 Juni mereka berdua memberi kabar di grup MHI 2017. Ilham Gandhi di Kampung Kuala Lah, Kelantan sedangkan bunyi kabar Bira begini,
"Alhamdulillaah kemarin saya telah sampai pedalaman lokasi orang asli pada pukul 6 di Taman Sari, Kuala Betis, Gua Musang, Kelantan."
Mereka berdua langsung memberi gambaran keadaan sekitar dengan beberapa gambar tangkapan lensa. Aku paham pasti sinyal sulit sekali dan beli kartu pun juga mahal. Kalau kata Gandhi, "Ngga ada sinyal disini.. Harus naik bukit dulu baru dapet edge.. Eh, curhat ya bil.. disini simcard mahal. biar bisa ngehubungin temen-temen aja aku mesti beli maxis 15 rm cuma dpt 500mb buat seminggu. Dan biar dapet gratisan 20 gb internet hrs pke kredit dlu...huaa"
Dan sayangnya Bira sulit sekali ku hubungi. Dia baru muncul di grup MHI Mu'allimaat,
"Maaf umi ini saya baru bisa komunikasi, dikarenakan tidak ada sinyal. Sehingga saya beli kartu baru. Dan alhamdullilah akhirnya ada sinyal. Alhamdullilah disini saya baik2 saja.
Semacam itu mi keadaannya, disini sudah banyak Islam. Hal itu dikarenakan seringkali dari ABIM yang berdakwah kemari. Awalnya disini orang beragama animisme dan dinamisme."
-Rif'at Bira, 6.59 pm-
How lucky they are. Empat hari di pedalaman Malaysia bakal jadi super experience ever buat mereka pastinya. Apalagi punya pengalaman terjun di dua tempat selama Mubaligh Hijrah Internasional ini. Bertahan seorang diri juga bukan hal yang mudah dan semua peserta MHI bakal mau, semua punya cara-cara masing-masing. Kawasan di pedalaman punya khas bahasa Melayu yang lebih dalem, beda dengan di kota.
I know sedikit dari Mak Su Azlina kalau di Malaysia ada tiga bagian besar masalah dialek. Kalau di Kuala Lumpur dan sekitarnya masih kental dengan 'e' nya semacam Apa jadi ape, kalau di Kedah sudah berbeda lagi, bahasa Kedah lebih sesuai dengan bunyi hurufnya, kalau di Kelantan cenderung bakal berbeda lagi. Dan itu yang dirasain Gandhi dan Bira di kawasan Kelantan. Apalagi sendiri sebagai warga negara Indonesia. Kata Gandhi, kalau udah ngobrol pakai bahasa asli Melayu pingin segera pergi. Di Kok Lanas pun mereka bener-bener bareng orang asli bahkan ada yang dari negara tetangga. Terlebih lagi di Kampung Kuala Lah dan Kuala Betis. Tapi anehnya justru ada warung Indomie di sana. Lidah ini semakin rindu rempah racikan Indonesia. Huaaa
Kegiatan mereka disana pun udah banyak aja di hari kedua, di Kampung Kuala Lah relawan dari ABIM bagi-bagi biskuit buat semua warga (muslim dan bukan), kurma satu toples buat 1 KK muslim, masak bareng warga, jalan-jalan sama relawan, nge-vlog, nemenin budak-budak sahur jam 12.
Bahkan di kawasan itu walaupun banyak keterbatasan fasilitas dan finansial, semangat belajarnya besar banget. Bahkan yang baru belajar baca iqra' satu sore, ada yang udah bisa baca hampir semua huruf hijaiyah. MasyaAllah, ketika kita berusaha mengajarkan Al Qur'an sesederhana apapun kita bakal merasakan betapa takjubnya dan segalanya pasti akan dipermudah Allah SWT. Percaya tidak percaya itu kenyatanya.
***
Gandhi dan Bira bisa jadi inspirasi buatku pun kawan-kawan yang lain. Dengan segala cara mereka tidak pernah berhenti memberdayakan apa yang bisa diberdayakan. Mengudarakan islam yang rahmatan lil alamin dan menjadi kader yang menyejukkan. Dimana dan kapan pun itu, karna kemanusiaan dan islam tidak memiliki sekat untuk diluaskan, tidak memiliki tendensi untuk dibatasi.
Melebur dalam banyak warna, banyak ras dan kau akan menyadari, "the world is as marvelous as you make it"
12.40 WA
Salam Kawan,
Sik Kedah
12 Ramadhan 1438 H
0 komentar