Pulau Pinang Malaysia



DAY ONE OF RAMADHAN, KEDAH – PULAU PINANG ON THE ROAD

Sejak semalam yang kami berdua, aku dan Umma sholat tarawih 23 rakaat dan juga ikut ber-qunud. Awalnya kami bingung mau 11 rakaat seperti biasanya atau tetap mengikuti imam, ya sudahlah kata Umma, “ikut ibu aja, besok kita 11 aja tapi.” Haha okedee Um. Bismillah, dengan nahan kantuk yang ketahan banget demi malam pertama Ramadhan Mubarrok di Negeri Jiran yang ngga boleh terlepas begitu saja. Kami tarawih di Masjid Ar Rahman, awalnya karena kami terlalu lama bersiap mau sholat di rumah tapi demi jamaah di masjid kami tetap ikut Pak Lung Suhaimi ke masjid, harus naik mobil.

Usai tarawih kami nak diajak makan kwetiau. Allahu sudah banyak rumah makan yang kami putari tapi kalau nggak penuh, tutup atau habis. Kami keliling semakin jauh dari rumah dengan perut yang kok bisa laper lagi dan ngantuk super. Ibu dan Pak Lung memperlihatkan Bank khusus tabungan haji, Dinas Kesehatan, lalu ketika tiba di kawasan yang katanya banyak kaum Buddha beliau menceritakan kalau di Malaysia orang Islam semuanya berjilbab kalau tak pakai jilbab berarti dia jelas bukan islam, beda kan ya dengan Indonesia ? Pada akhirnya cari kwetiau sampe larut ngga ketemu, nyari burger juga engga. Kita pun minum susu milo dan sandwich sederhana di rumah. Batinku, hal itu kayaknya akan jadi rutinitas kami lepas tarawih.

Sholat shubuh pun tak mau kami lewatkan kalau hanya menghamba di rumah, sholatlah kami di Masjid Ar Rahman, selalu ramai. Sehari kedatangan kami, kami mulai membaca ‘how the Malaysia Culture, there is always the different one’ kaan dengan Indonesia. Pagi kami hanya bisa cuci baju dengan banyak resah sewaktu kembali nimbrung di grup Pasukan MHI, semuanya berkabar ria sudah bisa mengajar HARFUN, membuat jadwal di panti, Kawan Sabah yang tak kunjung dapat kepastian, Wardah Klan yang sibuk di Rumah Perlindungan, Kawan Pahang yang pusing-pusing mulu. The feeling of ‘iri’ kami muncul seketika, karena kami masih duduk di rumah. Kami berfikir ulang, tetap bisa produktif kok. Kami masih punya Al Qur’an dan penunjang buat menggoreskan pena supaya setidaknya tetap bisa berbagi kebahagiaan dengan explore journal.

Sampai waktu kami berkabar dengan Sabrina di Kuantan, ada ide terbesit muncul buat izin ke Pak Lung Suhaimi dan Mak Lung, “Boleh tak kami keliling sekitar kampung ?”. “Boleh laa, apa mau naek motor,” balasku seketika menunjukkan kesanggupanku buat naek motor, mencoba meyakinkan kalau biasanya kami di Indonesia juga pun berpusing-pusing dengan motor. Umma langsung kegirangan. Kami segera bekemas.

Aku pun keluar, Pak Lung sudah mempersiapkan motornya. Waduuh kok besar dan berat begini, ada keranjang di bagian bawah stang. Bisalah dicoba, aku memasang wajah yakin supaya Pak Lung tidak khawatir. Kami ngga akan jatuh kok Pak Lung, take it slow. Kami mengarah ke arah kanan, karena kiri adalah jalan arah kami datang kemarin dan jalan menuju masjid. Melaju terus ke kanan, banyak rumah ala semacam di Upin Ipin yang biasa kami lihat sebagai gambaran Malaysia (sederhananya).



Melaju terus dan ada papan KOLEJ KEDA 100 meter ke kiri, jelas kami pilih kiri. Ternyata emang ada sekolah disitu. Rasa-rasanya emang harus berhenti dulu, aku terus bawa Tas gratis dari Jurnalisme Maarif di Jogja kemarin. Pingin aja mem-branding-kan Indonesia dari hal yang sesederhana itu haha. Kampung itu cukup hening, melaju terus ke atas dan ada taman bermain sedihnya ada kucing yang super nyebelin, karena jujur ‘Phobia Kucing Sangat’. Kami berfoto ria di bagian-bagian yang menunjukkan identitas kawasan itu.



Kami berlanjut ke arah bawah, di jalan sebelum persimpangan kami bertemu Pak Lung, ‘ngga jatuh kan Pak Lung,’ itu yang rasanya pingin tak teriakin biar Pak Lung dengar haha. Dari tadi jalan yang ke kiri akhirnya kami lewati, di kanan jalan saat kami melaju serentak kami berteriak, “MARALINER !”. Jadi Maraliner adalah merk bus yang mengantar kami sejauh KL-Kedah. Ternyata mentok sudah jalan besar, belum berani gas lagi. Balik lah kami akhirnya, ke arah jalan menuju rumah. Tapi kami berbelok jalan-jalan kecil di kanan dan kiri.




KAMPUNG CHARUK KUDONG

Menyisir Kampung Charuk Kudong. Jalannya ya tanah dan banyak pohon di sekitar. Kalau meghadap atas adalah bukit-bukit. Ada anak kampung yang sedang berkumpul di semacam pos kamling juga ada. Kami juga mencoba yang ada tulisan sumber air, ternyata bendungan. Warna mesinnya juga sama seperti di Indonesia, biru tapi disini lebih tua. Ada dua lelaki yang juga bertambat, agak takut. “Putar balik yuk Bil,” kata Umma, “Kita masih keliatan kaya orang Malaysia kan Um,”jawabku. “iya tapi kalau kita diajak cakap Melayu kan nggak bisa.” Allaahuu Malik, eh iya Umma.

Kami juga lewat makam di Kampung ini, “Makamnya sesuai syari’at banget ya Bil. Nggak ada kotakan yang berlebihan macam di Indonesia.”

Kami cukup heran dengan kesederhanaan masyarakat di sini. Rumah-rumahnya tampak biasa saja dari luar, tapi kalau sudah masuk ke dalam. Bagusss banget. Setiap rumah hampir punya mobil rata-rata dua. Rumahnya sederhana sekali, tapi kategori menengah ke atas, dugaan kami. Ada satu rumah yang menarik perhatianku, singgahlah sekejap dengan Umma. Hal yang penting, mengabadikan momen.

Umma pun mengabadikan kawasan momen dengan lensa sederhana gadget nya.


BUKA PERTAMA DI PULAU PINANG




Akhirnya kami balik rumah. Pak Lung dan Mak Lung tampak sudah rapi, ada Kak Sarah juga yang sedang bersiap. Kami disuruh cepat-cepat berkemas, kami akan ke rumah mertua kata Mak Lung. Sayangnya Kak Sarah hendak kerja atau ada tugas apa lah kurang paham. Kami pun hanya berempat.

Aku kira hanya sekejap. Ternyata cukup lama hampir 1,5 jam menuju Pulau Pinang. Tapi waktu ashar kami beranjak dulu untuk sholat di Masjid Jamek Kuala Ketil. Setelah itu langsung berlanjut melaju. Sesampainya di perbatasan Kedah-Pinang Pak Lung memberi tau kami. Aku jadi ingat sewaktu naik Maraliner, disini memang kawasan Pecinan. Saat tiba di daerah toko dan penjual takjil, kami berdua dan Mak Lung turun. Membeli takjil, syukur sekali sumpah. Terus Mak Lung hendak beli tempat makan plastik di toko alat-alat semacam Progo kalau di Jogja. Butuh 10 tempat saja beliau.



Beberapa saat kemudian terus melaju dan sampailah kami di rumah mertua, di tengah kampung dan sekitarnya juga ada pesantren. Rumah mertua kalau bagi Mak Lung tapi Rumah Nenek kalau bagi kami berdua. Ternyata bibi dan beberapa orang keluarga sedang sibuk mempersiapkan buka. Bibi sedang menggoreng kue ubi. Ada nenek, yang aku tanya ke Mak Lung harus panggil apa, kalau di KL dipanggil Nenek tapi kalau disini “Tuk” , begitu katanya.

Mereka semua sooo welcoming sekali dengan kami. Kami benar diperlakukan seperti duo keponakan Mak Cik Siti dan duo cucu Tuk Biah. Sedang ada Kak Yanti yang sedang meracik minum dengan daun Pudina katanya, ada di Medan saja kata Kak Yanti. Tapi aku kira itu daun mint, dan ternyata benar saja Pudina adalah nama lain mint, hmm. Ternyata Kak Yanti dari Solo sudah tak bisa cakap bahasa Jawa karena sejak 9 tahun sudah di Malaysia dan terakhir ke Indonesia pada tahun 2010, sekarang belum dapat izin dari suami untuk berkunjung lagi.



Makanan-makanan berbuka tersusun rapi di meja yang ada kayu putarnya. Ada semangka, ubi gandum, martabak Malaysia, teh hangat, saus kacang dan banyak lagi. Barangkali kawan MHI yang lain tidak merasakan berada di tengah keluarga kecil Melayu semacam ini. Bagian ini yang menjadi poin rasa syukur kami.

Sholat maghrib aku sebagai imam sedang imam tarawih adalah rumah. Kami yang muslimah sholat di rumah sedang Pak Lung ada Pak Cik lainnya pergi ke masjid. Rasanya benar-benar tidak menyangka berada di tengah keluarga Melayu. Kampung-kampung di Malaysia terususn rapi. Rumah Nenek pun sederhana tapi rapi sangat.

Selepas tadarrus ba’da tarawih kami harus pulang. Rasanya sedih, kapan lagi bisa berkunjung. Kami meminta untuk berfoto bersama. Nenek titip salam untuk keluarga. Kami diajarkan panggilan-panggilan di bahasa Malaysia, antara KL dan Pinang pun berbeda, Kedah bahasanya lebih baku.



Mak Cik Siti yang baik hati dan tetap kelihatan masih muda padahal sudah berusia 50 ke atas. Kami disuruh memanggil beliau Nenek, aku bilang, “Tapi Mak Cik masih kelihatan muda,” Mak Cik kegirangan, “Wah , nanti kite belanja-belanja, makan-makan” haha selepas dapat pujian. Beliau kasih kami angpau 20 RM, wah lumayan bangeeet. Berasa emang beliau sudah tante super kami. Kami berpelukan dan harus berputus hubungan (sebutan di bahasa Malaysia).

Kami tertidur pulas di mobil. Pak Lung dan Mak Lung masih sempat membelikan kami kopi untuk diseduh sebelum tidur. Benar kan ini akan jadi rutinitas sebelum tidur kami.

Ada satu keresahan kami hingga saat ini, sebelum kami bertemu Majelis tempat dimana kami bisa berbagi ilmu kami belum tenang. Menyisakan pengharapan banyak di sisa Ramadhan ini.


Jurnal ini masih terus berlanjut ya, tentang Kedah dan segala penghamparannya :)


Salam Kawan
Kedah, 01.28 WM



3 Ramadhan 1438 H
29 Mei 2017 M

0 komentar