Sebundar Telur Dadar

La vitá è dura, non so cosa potrei dire...


"Nah niki fungsine punya banyak saudara to, ada otomasisasi untuk berbagi," cerita bapak ke kami semua.

Teringat suatu obrolan di mobil pulang dari Klaten menuju Temanggung, ketika itu selepas takziyah ke keluarga mbah putri, kakak sulung beliau meninggal dunia. Tepat ketika abu Gunung Kelud sedang tebal-tebalnya.

Eyang ti dari Wonosobo (ipar), istri dari mendiang mbahdhe Slamet nyangoni satu lembar 20.000 untuk Dek Gibran, bungsu terkecil putra bapak ibu.

Seketika,

"Pak mangkeh berarti lima ribu lima ribu? Damel mbak bila, mas daffa, mbak hanun?"

Iya. Bahasa jawa krama yang diajarkan Bapak Ibu, yang penuh inggah inggih dan sopan santun. Rasanya saya merasa menjadi orang sangat beruntung menjadi bagian rakyat jawa yang berbahasa jawa, krama pula :)

Bapak langsung menimpali

"Nah niki fungsine punya banyak saudara to, ada otomasisasi untuk berbagi," cerita bapak ke kami semua.

Lalu Bapak menjawab Dek Gibran, "Nggih Gibran mboten popo seng paling katah, 7000 nopo pinten. Sisane saged dibagi ke mbak mas."

Obrolan di mobil lima tahun lalu itu selalu terngiang di hati saya. Sampai-sampai menjadi buah kebiasaan yang otomatis berusaha saya lakukan, entah ketika dilanggengkan rejekinya karena menang lomba atau apa pun yang Allah berikan.

Kehidupan sederhana yang paling arif yang Bapak Ibu ajarkan. Rasanya, saya merasa bersalah ke diri sendiri ketika nafsu saya sedang melambung dan malah berhedon ria. Seketika, pasti saya membayangkan Bapak Ibu makan apa di rumah? Atau adek-adek di perantauan makan apa?

Bukan sekedar itu,

Bahkan sehari-hari ketika kami masih sekolah dasar, tiap pagi Ibu kewalahan menyiapkan sarapan dan bekal ke sekolah. Berhubung kami sangat apa adanya, yang paling saya ingat Ibu sering masak satu atau dua telur dadar yang diberi parutan kelapa supaya lebih banyak dan besar. Lalu bisa kami bagi, telur itu untuk sarapan sekaligus untuk bekal kami berempat.

Ibuuuu... Rasanya di perantauan saya selalu ingin berteriak memanggil ibu dan pingin selalu bersujud penuh rasa terimakasih.

Kata Ibu, "Nggih sengaja ngeten niki Bil, ben ngenjing nek pun gede hidup susah mboten kaget."

Ingatan saya masih utuh mengingat kalimat sederhana Ibu.

Saya tidak habis pikir, Dek Gibran yang baru saja nyantri di Solo berusaha sekuat tenaga tidak jajan. Kata adek, "Eman-eman mbak uange, larang nek jajan, mesakke Bapak."

Nyasssssss. Saya serasa tersindir bukan main, saya disini bisa seenaknya tanpa rasa kasihan kalau mau jajan makanan kesukaan.

Sampai suatu hari Bapak mengirim screenshot chat beliau dengan Dek Gibran, "Niki kalimate adik Gibran sore niki marai ati grantes ning soyo dewasa berpikir," kata Bapak.

Ternyata adek juga bikin saya sesak, dia bilang ke Bapak supaya ndak usah beli-belikan barang biar uangnya bisa diawet-awet.


Itu sebabnya di tahun terakhir di Jogja setiap perpulangan saya lebih memilih untuk pulang ke rumah. Padahal dulu sebelum pergi ke Italia, pulang rasanya hanya melelahkan dan terlalu singkat.

Sekarang, rasanya ingin setiap Minggu pula. Berbagi cerita ke orang tua sebelum tidak sempat. Pesan Ibu lagi ke saya putri sulungnya yang selalu teringat,

"Bila nek pun sukses ampun lali adek-adek nggih."

Nggih bu, pak.

Semoga Bapak Ibu di rumah sehat selalu dan senantiasa dalam perlindungan Allah. Sehat-sehat Adek-Adek !

Vi amo amori miei.

Adinta.
1 Maret 2019

0 komentar