Ramadan Kareem #1: Tarawih di Bawah Taburan Bintang Langit Bayan
2 April 2022—Puasa pertama di tahun ini dipenuhi dengan uji nyali yang bertubi.
Sejak sebelum kedatang ke
Lombok untuk Pelatihan Kader Paripurna Taruna Melati Utama, aku memutuskan
untuk menantang diri dengan ber-ramadan di sini sementara yang lain pulang
lebih dulu. Percakapan soal bagaimana menghabiskan Ramadan sebetulnya udah
terjadi beberapa bulan dengan seorang teman, “Kayaknya seru kalau Ramadan-nya
bisa di lain tempat!”
Dengan hati yang berusaha
legawa karena hape terpaksa harus ditidurkan sementara di tukang service di
Mataram, aku menenangkan diri dengan; aku pikir ini akan jadi awal Ramadan
yang tenang dengan tanpa internet sama sekali. Menjelang tarawih pertama
aku juga cukup gila, dengan melakukan pendakian ke Bukit Pergasingan di
Sembalun, kembali ke Mataram dengan beragam drama, dan malam tarawih dengan
tangisan kebingungan.
Subuh di Islamic Center
Tidur sebelum sahur pertama,
aku menginap di sekretariat PW IPM NTB di Jalan Anyelir. Tepat dekat pertigaan
menuju Islamic Center Mataram, tidur dengan badan kesakitan pasca mendaki dan
persiapan roti dan susu kotak untuk sahur. Aku berbagi dengan Mbak Ahimsa,
setelah sahur kami; aku, Yasir, Mas Mumtaz, Imam, dan Mbak Ahimsa memutuskan
salat subuh di Islamic Center yang gagah menjulang tinggi dengan arsitektur
yang menakjubkan, perpaduan antara Islam dan ikon-ikon khas Nusa Tenggara
Barat.
Langitnya cukup bikin menganga.
Gradasi biru, oren, ungu, putih, dan sayup-sayup langit pagi dengan angin yang
segar serta miskin polusi. Syukur pertama di awal puasa.
Dengan pagi yang gundah karena
belum kunjung menemukan service hape dan pikiran melayang kemana-mana karena di
sisi lain harus pergi ke Desa Bayan di Lombok Utara, aku lagi-lagi keliling
Mataram kota disusul Kak Rama di tempat service kedua, berakhir menunggu di
service ketiga sembari menunggu dan rapat via hape Mbak Ahimsa. Di tengah hari,
ternyata hapeku harus direlakan sebentar untuk dikorek-korek selama dua hari.
Lagi-lagi aku cukup kebingungan
dengan perasaan yang semakin ‘udah rela’ bismillah.
“Nggak papa, kamu tetep bisa ke
Bayan dulu, nanti kita cari cara buat WhatsApp,” meskipun dicoba setelah itu
dan hasilnya nihil. Me-yaudah-kan ke Bayan tanpa hape dan menerima kalau nggak
ada wifi sama sekali di Bayan.
Tarawih di bawah Taburan Bintang
Langit Bayan
Selepas berpamitan dan bakal
jadi peserta yang pulang paling akhir di tanggal 5 aku memutuskan tetap ke
Bayan diantar Bang Haris siang bolong di hari pertama Ramadan. Perasaan was-was
dan penasaran sebenernya gimana bentuk Desa Bayan dari dongeng Mas
Kendal salah seorang alumni di Antropologi yang turut serta di program UNESCO
untuk pendampingan di Desa Bayan. Katanya, desa ini kerap didatangi antropolog,
salah satunya van Baal tentang Pesta Alip Bayan. Selain itu, bukunya soal teori
kebudayaan jadi bacaan wajib mahasiswa antropologi UGM di tahun pertama.
Kami menyisir Gunung Sari,
salah satu susuk dari Gunung Rinjani. Bekas tanah longsor yang bikin merinding
serta pelebaran jalan yang bikin para monyet trauma, cerita Bang Haris di
motor. Deras dan gerimis hujan tetap kami terjang sampai bertemu di gerbang
menuju Desa Bayan yang pemandangannya cukup melegakan hati.
Rinjani, why are you so
pretty?
“Ini bakal jadi pemandangan
kamu Bil bayangin,” kata Bang Haris.
Sesampainya di Bayan aku turun
tepat di depan Masjid Kuno Bayan yang berusia 1400-an tahun dari jaman
Majapahit, di depannya ada Artshop dan Sanggar Tenun Fetung tempat Kak
Elin—seorang kenalan Mas Kendal. Tanpa babibu Bang Haris langsung pulang dan
aku diantar Kak Elin ke homestay milik sepupunya, Mas Efta. Kamar kecil
berbentuk rumah panggung tepat di sebelah rumah Mas Efta, dekat dengan Sanggar
Tenun Jajaq Bayan milik ibunya.
Mulanya aku cukup takut dan
merasa asing, tapi keramahan Mas Efta dan Mbak Sandra instrinya bikin aku nggak
merasa takut lagi. Ba’da maghrib aku betulan disuguh Sate Luluh Ikan Laut dan
Baduk disertai olahan Komak, makanan khas Bayan. Keramahan ini buat aku merasa
semakin berani, malamnya kami bebarengan ke masjid yang masih direnovasi dan
dipenuhi bambu, walhasil kami harus bawa tikar.
Langit di tarawih kedua buat
aku dan pertama untuk mereka betul-betul penuh syukur. Gemerlap bintangnya
nggak pernah bohong, aku salat di pelataran. Beradu dengan bahasa Bayan yang
nggak aku mengerti sama sekali, ramai dan renyah! Anak kecil bertebaran
dimana-mana! Sepulang tarawih, aku diajak ngobrol Mas Efta dan keluarganya
serta seorang Bibinya.
Aku bak didongengi miliaran
cerita keterbukaan Bayan, para antropolog yang datang silih berganti dari
Belanda dan Swedia, lalu arsitektur dari Jepang, pengunjung-pengunjung dari
Prancis, dan mahasiswa KKN yang betah berlama-lama serta mahasiswa yang
penelitian di sini. Dari cerita mereka, aku jadi merasakan buah kebaikan dan
keramahan dari Mas Kendal selama beliau singgah di sini, tanpa rentetan
kebaikan mungkin awal Ramadanku akan cukup menakutkan haha.
Banyak hal dari rekomendasi Mas
Efta yang akhirnya aku lakukan di hari kedua puasa!
Terima kasih semuanya, Nabila
nggak akan setegar ini melewati segenap roller coaster menjelang
Ramadan. Selamat berpuasa! Sampai jumpa di surga, aamiin!
Bayan, 3 April 2022
22.23 (asumsi-selama di Bayan
tanpa hape aku nggak bisa menengok jam sama sekali)
0 komentar