Januari: Di Persimpangan Jalan



Hari-hari di bulan Januari dilalui dengan sedikit melihat layar laptop. Bulan permulaan yang sekaligus jadi permulaan pergantian fase Nabila yang mulanya nggak bisa lepas dari urusan duniawi di dunia pertemuan daring—menjadi Nabila yang berhasil uninstall zoom untuk beberapa pekan.

Menuliskan Januari di Februari yang cukup membingungkan, buat aku sedikit kesulitan mereka ulang kejadian-kejadian seru yang sebetulnya cukup membahagiakan, melegakan, dan menenangkan serta super duper menguras hati. Bertemu dan melakukan perjalanan lagi bersama Fadhi dan Oyi—di Italia empat tahun lalu kami sempat plesir di liburan paskah semasa pertukaran pelajar. Kali ini, nggak ada Izza tapi ada Shintya dan Jason yang turut jadi satu tim perjalanan. Sayang seribu saying beberapa teman kami membatalkan ikut.

Menyapa Kamal di Tegal

Motifnya sederhana, kami sepakat berjumpa di Tegal dan kembali ke Jakarta bersama. Kami pingin ziarah ke makam almarhum teman kami, Kamal Syueb—sekaligus silaturahmi ke keluarga Kamal. Aku yang mudah terenyuh begini jelas nggak kuat menahan air mata sewaktu liat Abi Kamal dari jendela mobil sesampai di depan rumah Kamal yang nggak jauh dari pusat Kota Tegal. Terlebih lagi, sewaktu Mama Kamal keluar menyapa kami dengan linangan air mata yang bikin suasana bertambah haru biru.

“Maafin Kamal ya,” sambil berusaha sekuat tenaga menyapa kami.

Kunjungan ke rumah Kamal ini cukup ironis, kami bisa ketawa menceritakan kisah-kisah lucu almarhum Kamal, tapi sesekali aku melihat Oyi yang matanya berlinang selepas dia ketawa. Sore hari ditemani mendungnya Tegal kami ke makam Kamal. Spontan kami nggak bisa menahan air mata dan hening seketika. Rasanya ini aneh, pertemanan di AFS yang terbiasa LDR begini bikin kami sulit menyadari dan meyakini bahwa Kamal bener-bener udah pergi secara mengagetkan akibat kecelakan di Tol Cipali Juni 2020 lalu. Kita kangen Mal.

Abi Kamal menceritakan siapa saja yang berjajar di sana, masih keluarga besar Kamal. Kamal ini keturunan Arab jadi masih tinggal di Kampung Arab. Sepulang dari makam Kamal, kami pulang ke rumah Kamal dan harus menunggu hujan reda. Kami disuguh brownies, tahu goreng, buavita, dan disambut hangat dengan teh poci tegal yang diseduhkan langsung sama Abi Kamal. Sementara kami ngobrol dan tertawa lepas sama empat sepupu Kamal dan adik bungsu Kamal Ading yang baru kelas satu SD dan lucu sekali.

Beberapa kali Kamal menceritakan soal Ading, meskipun aku nggak begitu dekat dengan Kamal—tapi Kamal ini menyisakan kesan-kesan yang baik karena Kamal adalah sosok pribadi yang ramah dan lucu.

Malamnya kami pamit pulang dan istirahat sebentar di homestay. Kata Fadhi, “Yok besok jalan-jalan biar kita nggak sedih doang,” walhasil malam itu kami googling penginapan murah di Cirebon. Menyempatkan keluar makan Sate Ayam Tegal di dekat alun-alun. Nggak lupa sepulang dari makan, kami menghabiskan malam buat berbagi cerita kesana-kemari, main kartu remi yang agak bikin ngakak berkali-kali.

Soto Taucho dan Kuningan

Paginya, kami bergegas pamitan ke rumah Kamal. Abi Kamal menceritakan kisah hidup Kamal di mata teman, guru, dan keluarga semasa almarhum masih hidup. Betapa lucunya Kamal yang punya mimpi transplantasi rambut di Turki serta segenap keambisan Kamal dibumbui sosok tangguh nan mandiri sejak Kamal SD sampai les persiapan kuliah yang mengharuskan Kamal mondar-mandir Tegal-Semarang seminggu sekali. Kami juga bersyukur menceritakan liburan terakhir Kamal ke Mesir sebelum meninggal, alhamdulillah ya Mal.

Sebelum beranjak ke Cirebon, keluarga Kamal mempersiapkan oleh-oleh teh poci dan gula batu serta brownies dan tahu aci khas Tegal. Wah, keluargamu sungguh baik dan hangat, Mal!

Beruntungnya aku punya teman perjalanan yang suka kulineran. Kami menyempatkan makan soto taucho di depan Klenteng Tegal. Soto yang khas dan nggak pernah kami temui dimanapun. Rasa tauchonya nancap dan segar di tengah siang bolong yang cukup terik. Meskipun nggak dipungkiri kalau 25K untuk harga semangkuk soto cukup melambung di kantong.  

         

Akibat beberapa urusan dunia perdaringan, sesampainya di Tegal kami memutuskan istirahat di AirBnB yang udah kami pesan. Malamnya menyempatkan makan Nasi Jinggo yang juga cukup melambung di kantong, tapi rasa lauknya yang dibaluri aroma rempah yang pas bikin kami nggak cukup menyesal. Paginya, jam setengah 5 di saat Cirebon masih gelap kami tancap gas ke Kuningan. Niatnya mau lihat sunrise di Sukageuri View Rasanya eksklusif karena betulan cuma kami tanpa ada orang lain.

                                


Buat aku sendiri, aku cukup bersyukur diberi kesempatan liat Gunung Ciremai dan segenap lautan awan serta deretan pegunungan yang punya nuansa beda dari pegunungan lainnya. Kami berlanjut ke Curug Putri yang satu kilometer dari area view sunrise. Lagi-lagi cuma kami dan airnya bener-bener jernih! Nggak lama setelah itu kami beranjak pulang ke Jakarta dan mampir dulu di Jatiwaringin rumah Shintya. Mama dan Papa Shintya bikin kami betah dan disuguhi Kopi Susu Pandan, Shintya’s parents is the role model whom I wanna be in the future!

Persoalan kopi susu pandan dan teh poci ini kata Jason sama Fadhi akibat respon Nabila yang kepedean dan kurang sopan hahaha. Pasalnya, ya kalau ada kebaikan dari orangtua teman ya kali ditolak? Berujung dengan aku harus balik ke Pamulang dan diburu waktu presentasi serta Fadhi yang jadi kebirit-birit agak ngebut di Tol Bekasi menuju Gandaria ditemenin Oyi yang juga jadi ikut riweh. Hari itu diakhiri dengan sesi presentasi sore Tandem-seminar yang cukup membagongkan.

Cerita Januari belum selesai!

Temanggung, 15 Februari 2022

 

0 komentar