Kota Tua Kopi Ampenan dan Sate Bulayak di Akhir Maret

27 Maret 2022—Hari-hari awal di Taruna Melati Utama (TMU) IPM terasa agak melelahkan, setelah sekian lama nggak mengikuti pelatihan luring aku cukup kehabisan energi. Setelah dipikir aku cukup kuat berada di sebuah ruang pelatihan 15-25 orang. Lebih dari itu aku merasa cukup ngos-ngosan untuk berkenalan dan ngobrol dengan banyak orang, terlebih lagi TMU berjumlah 36 peserta.
Dua hari awal juga terasa cukup berat karena aku nggak dapat amunisi minum kopi hitam. Sialnya, adanya cuma kopi kapal api yang jelas auto tertolak masuk ke perutku. Mulut, tenggorokan, dan perutku cukup sensitif sama minuman sachet yang beredar di mana-mana. 
Maka, ada sebuah ide muncul dari Kak Rama buat go-food kopi atau sekedar keluar sebentar beli kopi. Beruntungnya di hari keempat alias hari Minggu Mas Jundul mengumumkan kalau kita punya free time sampai materi setelah Isya’. Aku yang sayang banget kalau menghabiskan siang dengan tidur, memutuskan untuk keluar dari siang sementara yang lain istirahat. Kebetulan selaras dengan ide ngopi. 
Kita berdua sepakat di dekat gerbang depan kalau pergi ke Kota Tua Kopi di Ampenan agaknya bakal jadi pilihan yang pas. Imajinasiku sekaligus menunggu matahari lebih bersahabat buat jalan kaki sore di pesisir Ampenan. Maka, kami nge-go car ke Ampenan yang berjarak 4-5 kilometer dari lokasi TMU. 
Kopi Kota Tua yang bergaya arsitektur kuno ini terbagi jadi dua sisi, kita pilih masuk dan duduk di bagian utama ber-AC. Aku pilih long black coffee, sedangkan Kak Rama pilih signature dari kedai kopinya yang rasanya espresso manual bercampur mint. Sialnya dari kita nggak ada yang ingat nama kopinya huhu. Buat cemilan, kita beli nugget tapi jamur crispy tetap kepesen karena si mbak baristanya salah input.
Di sela menunggu sore, percakapan soal TMU dan beragam lika-likunya banyak muncul sekaligus sedikit kebingungan rencana-rencana menghabiskan waktu setelah TMU selesai.  
“Eh udah agak reda panasnya, yuk keluar jalan kaki,” kataku.

Sore Hari Menyisir Ampenan

Menyisir Ampenan yang lengang dan sepi di jalan utama yang cukup luas ditemenin gaya bangunan kuno yang bercat cerah warna-warni nggak menghilangkan suasana tuanya. “Sepi banget ya Ampenan,” kalimat ini terbantahkan sewaktu kita semakin dekat ke area pantai. Wow rame banget!
Bau asap bakaran serta penjual cilok yang berjajar sungguh nggak bikin aku kepingin beli apa-apa karena kenyang ngemil di Kopi Tua. Bahkan tawaran Kak Rama beli cilok aku tolak dengan, “Kak Rama aja deh aku kenyang.” Akhirnya nggak jadi. Ramainya pusat jajanan bikin aku pingin menyisir ke sebelah kanan menuju bangunan PLN dan berlanjut deretan kapal-kapal perahu nelayan warna putih. Berpadu sama langit dan gumpalan awan putih yang cerah.  
Matahari di laut juga cukup terik menerpa wajah yang siap-siap tenggelam.
Di sela bersantai ria dan sedikit foto-foto beri aku ruang buat bernafas lebih lega dan diam beberapa saat. Lepas dan bebas. Nggak tau kenapa ide random kalau jalan juga suka tiba-tiba random datang. Makan sate bulayak! Setelah googling kita memutuskan buat jalan kaki ke sate bulayak di Ampenan, menyisir perkampungan yang cukup ramai penduduk dan bangunan-bangun yang pendek. 
Lagi-lagi aku merasa cukup beruntung karena ketemu dinding bermurah tepat di bagian sudutnya untuk sekedar berfoto sebentar. Hal lain yang bikin makin unik adalah tanda nama jalan yang mengkolaborasikan tiga nama, nama latin, arab, dan aksara Lombok atau mungkin Sasak (?) Jalanan kampung yang bukan pusat suatu tempat justru lebih aku gemari karena bertegur sapa langsung sama warga lokal. Naasnya sampai di jalanan besar kita di-prank google. Nggak ada sate bulayak sama sekali, setelah pikir ulang. Kami memutuskan ke daerah Udaya di waktu langit yang semakin redup dan jalan yang macet.
Bertemu gocar di perempatan kecil dan luas di tengah. Kita berdua nggak berekspektasi tinggi karena cukup ngerasain bulayak aja udah seneng walaupun mungkin bukan yang terenak. Ternyata bener, yang enak ada di daerah cakranegara. Jalan siang-sore-malam ditutup dengan sate bulayak yang mungkin dan sekali lahap di mulut. Aku cukup ngantuk di perjalanan pulang.
I thank you for having such a one fine day without putting this agenda to my bucket-list in Lombok. Moreover amids the crowded schedule during TMU. And ya, thank you Kak Rama!
Pamulang, 10 April 2022
12.51 WIB



0 komentar