Moyang, Dalang, dan Wayang


To discover the routes of your roots teaches you "You're not a lonely drop in the ocean, but the entire ocean in drop." (Jalaludin Rumi)

To see how we all came together to discuss our ancestors, our regrets and our hopes for the future..


Menelusuri akar kekerabatan tentang siapa kita dan dari mana asal muasal buyut-buyut adalah perkara yang jadi topik favoritku buat mempertanyakan ke diriku sendiri atau memberundung ke bapak ibu dan pakde-pakdeku. Yang paling mengusik dan belum selesai pencariannya adalah tentang perjalanan Mbah kakungku sampai ke atas-atas. Yang terekam dalam memori, di akhir masa hidupnya, aku masih lumayan ingat sering dibonceng pakai ontel lawas beli bubur dan sekali diajak ke Malioboro menyisakan memori di mana aku yang menangis ketakutan karena ketemu orang India.

Mbah kakung ini seniman yang diandalkan banget, memori lain yang aku ingat adalah bau lem sewaktu bulan Ramadan di mana mbah kakung buat ayam jago raksasa yang kerangkanya beliau gambar sendiri di dinding luar rumah. Ayam jago raksasa ini jadi display desanya mbahku di takbir keliling tahunan di Parakan. 


Pencarian ini terus menghantui seiring dengan ketertarikanku dalam studi-studi antropologi tentang kekerabatan, lalu topik-topik diaspora yang dibumbui cerita-cerita perjalanan temen-temen buleku yang lahir dari dua orang tua beda negara-- atau satu temanku yang menemui masa krisis identitas karena kepindahannya sebagai seorang pengungsi ke Amerika. Ajaibnya, ternyata mereka sama-sama belajar antropologi di perkuliahannya masing-masing. Maka, aku rasa pilihanku untuk masuk antropologi ini tepat dengan harapan suatu hari nanti bisa membantuku nenyusun puzzle-puzzle yang berserakan tentang mbah kakungku dan moyangku.


Akan menjadi lebih ringkas sebagai aku yang nggak rumit-rumit amat memperkenalkan dari mana asalku karena bapak ibu berasal dari satu kecamatan yang sama. Akan jadi rumit ketika aku mulai beneran kepo sama siapa sebenarnya mbah kakung dan apa dibalik profesi serta hobinya jadi dalang, melakoni lakon wayang-wayang serta mendalami falsafah Jawa yang bahkan orang-orang di desa asalku sepakat menerima kalau memang mbah kakung lahir bukan dari orang biasa. Keahliannya dalam dunia seni, mengukir, membuat wayang kulit, jadi dalang sampai hotel-hotel bintang lima di ibu kota dan sempat aktif di Wayang Sriwedari Solo bareng ayahnya Didi Kempot. Cerita lain yang bikin aku bangga adalah mbah kakung ini murid langsung dari Ki Narto Sabdo, pencipta tembang Gambang Suling. 

Pakde Prab, yang dititis Mbah Kakung jadi dalang tapi akhirnya memilih jalan lain.


Kejadian-kejadian nggak biasa juga dialami Ibu dan pakde-pakdeku yang di masa kecil sampai remaja mereka sering diajak ziarah dari makam ke makam, sampai nggak terhitung udah berapa kali kata salah satu pakdeku, pakde yang seharusnya dititis jadi dalang penerus mbahku. Bahkan ya sampai jalan kaki dari mana gitu sampai di daerah pantai selatan dan nginep di goa tempat sembunyinya Pangeran Diponegoro dulu. Sebagai salah satu cucunya, aku beneran jadi menerka-nerka dulu buyut-buyutku ini sebenernya siapa.


Moyang, Dalang, dan Wayang


Pada suatu cerita lain, ada kabar yang sampai kalau buyutku adalah keturuan Gagak Handoko, makamnya masih sering diziarahi di Purworejo. Beliau salah satu senopatinya Pangeran Diponegoro. Salah satu keturunan dari Gagak Handoko ini diminta jadi bupati di Purworejo tapi menolak mentah-mentah karena kalau jadi bupati mau nggak mau harus patuh sama Belanda. Akhirnya si buyut melarikan diri ke Kandangan, Temanggung. Makamnya juga masih ada di sana, dan mbah kakung sering ziarah ke sana sama putra-putrinya. 


Segala cerita tentang mbah kakung masih berusaha aku ingat baik-baik sampai kepergiannya ke Jakarta untuk bergabung di Wayang Orang Bharata. Dua dari empat pakdeku diajak ke sana dan turut belajar kesenian lainnya termasuk bela diri. Konon, salah satu pakdeku juga belajar ilmu di Banten dan bisa tahan banting bahkan ditusuk pedang pun nggak luka. Apa nggak gila? Semakin menjadi kekepoanku karena dua pakdeku ini jadi prajurit di film Wiro Sableng yang rutin tayang di indosiar semasa aku playgroup sampai TK. Aku dan sepupu-sepupuku sering nonton bareng, pas adegan pakdeku meninggal, sepupuku beneran nangis coba, haha kan akting. Tapi waktu itu aku juga percaya-percaya aja, hehe. Namanya juga anak kecil.


Aku jadi semakin percaya, kalau ada darah nggak biasa yang mengalir di keluargaku. Aku masih kebingungan gimana cara menelusurinya. 


Kata Seorang Bapak di Petungkriyono, Pekalongan


Entah gimana bisa, aku dipertemukan dengan Pak Beno salah satu guru SD di Desa Tlogohendro, Petungkriyono tempat aku tinggal semasa Tim Penelitian Lapangan (TPL) Antropologi Januari awal tahun lalu. Beliau terlihat sangat memahami sejarah Jawa, babad dalam (jelek) dan luar (baik). Begitu aku tanya siapa Gagak Handoko, beliau agak kaget. Pak Beno lalu cerita, "Mungkin ada hubungannya dengan Bendi Mataram mbak, Nyi Ageng Serang, Nyi Bagelen, Kediri Sepuh, Jayabaya atau Airlangga."


"Kalau memang benar panjenengan keturunannya Gagak Handoko, wah hebat-hebat itu buyut Anda."


Pada 30 Januari lalu, Pak Beno juga tiba-tiba menghubungi aku via whatsapp, katanya begini, "Yen makame leluhur jenengan (Gagak Handoko) ten Lowano Purworejo mbak, Gagak Handoko (Bende Mataram) niku Senopati Mataram Kota Gede, tempate sekitar kidule 1/3an maron arah Purworejo, sing sepuh Sunan Geseng ten ngasinan Magelang."


Sepulang dari Petungkriyono, aku kemudian cerita ke ibu. Kata ibu, ya mungkin aja, salah satu buyut kita dulu juga salah satu pendiri Merpati Putih. Maka jangan heran kalau pakde-pakde memang ada yang punya kemampuan bela diri. Begitu pun aku, yang punya ketertarikan meskipun ya nggak jago-jago amat, hehe. Aku nggak berhenti kagum sama apa yang udah dijalani sama kedua pakdeku, sewaktu mereka menyeriusi main film, bahkan beberapa kali di sinetron dan jadi tokoh yang jago bela diri, bergabung di kelompok padepokan. Suatu waktu, aku sempat nggak sengaja menonton pakdeku di TV sambil akting meringis. Spontan habis itu aku semangat sekali ke rumah pakde.

Pakde Dono, yang pernah main di film Wiro Sableng. Sembari mengais rejeki, pakde sekarang coba hias-hias pakai "mote" Mbah Kakung

Perjalanan dan Pertanyaan


Hari-hari bertumbuhnya aku nggak lepas dari pertanyaan-pertanyaan yang hobi aku ajukan ke keluargaku. Mas-mas sepupuku juga sempat menelusuri, menghubungkan dengan cerita-cerita yang Mbah Kakung tuturkan ke ibu dan pakde-pakde. Bapaknya Mbah Kakung yang nggak lain adalah buyut pertamaku ini namanya Mbah Nitiwigeno. Kata Pak Beno, artinya adalah  'kudu mangan' atau 'harus makan'.


Lebaran kemarin, ibu dan pakde cerita kalau sewaktu Mbah Kakung remaja sempat jalan melewati hutan-hutan buat pulang ke rumah dan tiba-tiba ketemu harimau. Anak-anaknya disuruh minggir sebentar, lalu Mbah Nitiwigeno mendekati harimau dan tiba-tiba harimaunya pergi. Sesakti itu kah buyutku?


Sungguh, aku beneran ingin tau. Semampunya aku mengorek informasi dan menyusun puzzle yang aku tau bakal sulit sampai menemukan kata 'utuh'.


Sayang seribu sayang, dulu Mbah Kakung punya gamelan lengkap dan sering bikin wayang. Tapi hanya tersisa satu wayang dan dua meja ukiran yang dihias dengan lukisan wayang Mbah Kakung, dilapisi kaca di atasnya. Sisanya dijual, karena memang butuh uang. Sepeninggalan Mbah Kakung, beberapa dukun yang masih jadi kerabat kami meminta warisan-warisan buku atau apa pun yang mungkin ditinggalkan tapi pakdeku menyembunyikan takut nanti jadi syirik. Padahal aku beneran mau baca buku-buku Mbah kakung, katanya juga ada buku ramalan Jayabaya. Tapi sayang seribu sayang, sengaja dihilangkan pakde.


Ohya, mbahku ini mungkin memang punya kemampuan seperti dukun-dukun Jawa lainnya tapi memilih untuk tidak menjadikan itu sebagai mata pencaharian karena memang nggak berambisi mencari kekayaan. Mbah Kakung juga bisa jadi seperti pawang hujan, tapi kalau pun Mbah Kakung bisa itu semua hanya beliau lakukan untuk menolong orang, bukan atas nama kekayaan.


Barangkali, semoga kalau aku punya rejeki aku pingin menyusuri atau napak tilas ke tempat-tempat Mbah Kakung pernah berkarya dulu, Wayang Sriwedari di Solo, Bharata di Jakarta dan segala hal yang aku tau di mana tempatnya. Yang menginspirasi dan turut menguatkanku adalah project seorang youtuber Nadir Nahdi tentang #findingnenek, menelusuri sampai ke Jawa. Neneknya seorang Jawa yang semasa penjajahan pergi ke Afrika dan akhirnya menikah dengan kakek Nadir. 


Beberapa cuplikan dari kata-kata maupun caption-caption Nadir, salah satunya begini,


"People are dying, and they take with them history and wisdom and culture. People like me and you and I’m sure some of your readers are still navigating who we are, and we’re starting to question what we’re going to teach our own kids, what part of our cultural heritage is important for us to hold on to, and naturally some things will be left behind."


Semoga di mana pun aku, kamu, dan kalian semua berada, siapa pun yang masih terus mempertanyakan dan ingin menjawab segala kegusaran akan keingintahuan yang mendalam ini segera 'mencari' dan 'menemukan'. Karena lahirnya kita di dunia ini bukan tanpa alasan, darah yang mengalir di tubuh kita ini bukan hanya atas campuran bapak ibu semata, tapi juga ribuan manusia sebelum kita. Di mana akar kekerabatan terus mengulir dan menjadi denyut nadi kita sendiri. Selamat berjalan dan menemukan :)


Last words,


It was more like we come from very complex backgrounds of movement, migration, and it’s put us in a situation where you’re navigating multiple identities at once, that we didn’t have the space to fully explore our identities in that same way.


It’s all about sincerity of intention. So I think if you sincerely make an intention — everything starts with an intention — then things will open up for you


Thankyou,
Salam kangen untuk buyut-buyutkuđź–¤
Terimakasih udah jadi perantara atas kelahiran perempuan Jawa yang banyak polah ini.


Temanggung, 19 Juli 2020

0 komentar