Pengelana Negeri

Tulisan ini juga di pos di
Pengelana Negeri-Maarif Muda

Mendidik adalah tanggung jawab setiap orang terdidik. Berarti juga, anak-anak yang tidak terdidik di Republik ini adalah ‘dosa’ setiap orang terdidik yang dimiliki di Republik ini. Anak-anak nusantara tidak berbeda. Mereka semua berpotensi. Mereka hanya dibedakan oleh keadaan.
-Anies Baswedan, Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI dan Pendiri Indonesia Mengajar-
Mengingat usia kemerdekaan Bangsa Indonesia yang sudah berjalan menuju 72 tahun serta perjuangan yang sudah tidak terhitung berapa tahun lamanya sejak kesadaran berbangsa satu Indonesia muncul. Indonesia masih harus terus berlanjut untuk terus berpredikat sebagai bangsa yang merdeka sampai kapan pun dengan tidak melupakan hakikatnya sebagai bangsa yang terdidik dan terpelajar.

Senyatanya pendidikan masih saja belum terurai dan tersemai dengan merata di seluruh penjuru republik. Hal ini yang terus menjadi keresahan saya sejak dalam pikiran, selayaknya seseorang yang mencintai bangsanya tapi masih terus melihat ketimpangan lalu geram untuk melakukan perubahan. Sehingga siapa saja yang sedang belajar dan selalu berusaha menjadi orang yang terdidik tidak melupakan hakikat dirinya untuk juga mendidik siapa pun yang belum terdidik di tanah kita sendiri, tanah dimana darah kita mengalir tanpa tepi. Belajar bukan hanya untuk bekerja atau menjadi sarjana. Melainkan untuk ikut mengubah jalannya sejarah.

Cita mulia dan pengharapan terhadap Indonesia mulai mengepul sejak saya memutuskan untuk merantau dari tanah kelahiran di Kota Tembakau menuju Kota Pelajar, Kota Yogyakarta. Ada pergeseran yang membuat saya berubah dalam cara berpikir dan memandang segala hal tentang dunia global dan Indonesia sendiri. Tentang bagaimana seharusnya sebagai seseorang yang terdidik dan terpelajar nantinya. Tentang bagaimana mengabdi dengan sebaik-baiknya untuk negeri. Tentang pendidikan yang menanam budaya pengetahuan sehingga mampu menghapus kekerasan, kebiadaban dan ketidakadilan. Kepergian saya keluar kota membuat saya semakin menyadari kecintaan terhadap kota kelahiran, terlebih lagi jika keluar Indonesia, serasa melihat Indonesia lebih utuh dan semakin gelisah melihat banyak ketimpangan serta keterbelakangan yang sangat. Jadilah saya seseorang yang berpindah tempat dari masyarakat desa ke kota yang secara tingkatan pendidikan sudah tidak diragukan lagi. Beberapa potret realita pendidikan akan saya ceritakan yang berangkat dimana saya mengirup udara segar Indonesia.

Hidup di Kota Pelajar terhitung menuju tahun kelima saya berpijak dan menimba ilmu, kota yang mengantarkan pada banyak perjalanan dan petualangan hidup. Kebetahan dan banyak romantisme yang sudah terbangun di Jogja tidak membuat saya berhenti untuk tetap mengenal Temanggung sebagai kota kelahiran. Ketika saya pulang kampung saya membawa kebahagiaan sekaligus menumpuk keresahan. Beberapa kali Bapak mengajak saya untuk melihat kondisi desa-desa di Temanggung, tujuannya supaya saya menyadari bagaimana masyarakat desa membangun hidup dan harapannya saya bisa menginspirasi anak-anak desa yang sudah memutuskan berhenti sekolah sejak lulus sekolah dasar atau menengah. Alasan mereka sederhana, untuk membantu orangtua berjibaku memenuhi nafkah keluarga. Tetapi apa secepat itu memutuskan berhenti dengan alasan yang sangat mulia ? Apakah seinstan itu untuk merasa cukup mengabdi pada keluarga dan tanah sendiri ? Banyak pertanyaan yang muncul ketika saya bertemu masyarakat desa. Secepat itu untuk beralih status dari yang masih bersekolah menjadi yang sudah berkeluarga. Banyak dari mereka yang melihat saya sudah cukup dibilang matang hanya karena usia simbolis 17 tahun, mereka beranggapan saya sudah pantas untuk berkeluarga, dengan guyonan diliputi pernyataan ketegasan Bapak saya selalu mengatakan, “Anakku masih mau pergi jauh kemana-mana”. Harapannya bisa terus menginspirasi.

Keresahan saya menguat sejak malam takbir 2016 lalu mendengar salah satu teman kecil saya sejak TK hingga SD tidak melanjutkan pendidikannya ke SMA, memilih untuk mengeruk batu dan pasir di sungai belakang rumahnya dan bekerja apa saja. Alasannya pun sama, membantu orang tua berjibaku memenuhi nafkah keluarga. Padahal melihat satu teman kampung saya yang lain dimana kami bertiga teman seangkatan juga sudah berhenti sekolah sejak pertengahan sekolah dasar. Kenyataan ini saja sudah membuat saya menangis dalam hati jauh sebelum perantauan saya ke Jogja.

Saya baru melihat segelintir, hanya dua kota di Indonesia tetapi saya tidak berhenti mendengar lewat media apapun tentang kondisi di luar kedua kota ini yang sama bahkan jauh lebih terbelakang. Tetapi saya tersenyum ketika masih ada anak di pedalaman yang rela bersusah payah menyeberang sungai untuk menuju kelas yang dirindukan setiap harinya, ketika Anies Baswedan mewujudkan cita mulianya untuk bangsa melalui Indonesia Mengajar, dan ketika banyak pelajar yang tidak berhenti beraksi melawan kesunyian negeri. Saya masih optimis, rasa optimis saya tanamkan sejak di pikiran saya sendiri, saya yang masih memimpikan masa depan lima benua nanti tetapi tetap tidak melupakan Indonesia, kembali dengan cita mulia, tidak sekedar angan namun turun tangan.

Sekolah bukan tempat yang menjamin sepenuhnya penghasilan ketika nanti bekerja melainkan tempat dimana mimpi dan keyakinan sedang dipertaruhkan.. Maka jika boleh saya berharap terhadap siapa saja yang membaca tulisan keci ini: belajar menjadi seorang terdidik yang melakukan petualangan sejak hari ini untuk menyadari dan menikmati betapa bahagianya bisa berjuang dan mengabdi pada negeri. Biarkan diri kita terlibat dalam rintangan karena memberanikan diri melakukan perubahan untuk memajukan Indonesia menuju bangsa yang semakin terdidik dan terpelajar. Mari beraksi bukan hanya berilusi, mari menyemai tanpa henti dengan sepenuh hati untuk masa depan negeri.

Lalu masih mau hanya berpangku tangan ?
Bagaimana Indonesia nantinya ?

 

0 komentar