If You Were Me, What Will You Do ?



“It is better to walk around and defend yourself with your prepared equipment as long as you're with Allah.. Rather than you walk with many of your friends but they're actually really keen to hurt you upon your journey bcs they see what you don't see in which those what they saw first is the thing that will benefit you.” -Savinaaw-

Bercerita Masa Lalu

Beberapa waktu sejak tulisan terakhir saya tiga bulan lebih lalu, saya bungkam. Tangan, hati dan pikiran saya serasa kikuk. Atas terkaan saya, mungkin ini karena empat bulan ini dan seterusnya akan berjalan ke depan saya masih merasa butuh menyetel kembali frekuensi hidup saya di negeri saya sendiri. Tentunya, lima bulan lebih lagi ‘setelan’ ini akan melaju lagi masuk ke tempat yang berbeda, dunia perkuliahan yang di semogakan.

Dunia itu yang sekarang sedang saya khawatirkan dan saya usahakan menyusun dengan baik mimpi-mimpi saya. Tapi tak apalah, saya sedang ingin membicarakan masa sekarang bukan kekhawatiran dunia yang belum sampai itu.

Lalu bagaimana berjalannya penyetelan saya sejauh ini ?

Mungkin kalau saya memilih mengeluh karena kerinduan saya tentang Italia ke setiap orang yang saya temui, mereka akan bosan mendengarnya. Tapi toh tanpa saya bercerita, kawan-kawan terdekat saya yang melihat bagaimana kerinduan yang semacam ini kerap kali membuat saya benar-benar cemas dan menangis tersedu. Saya pikir, daripada menangisnya saya ini alih-alih hanya akan membuat sia-sia lebih baik saya haturkan kepada Yang Maha Memberi Hidup di setiap sujud saya.

Penyetelan ini sungguh bukan perkara mudah, ruang tempat hembusan nafas saya sepersekian detik setiap waktunya banyak saya habiskan di Kota Jogja.

Bercerita tentang Jogja juga tersambung tentang bagaimana saya kembali belajar mencintai Jogja di setiap sudutnya. Eh, Jogja sudah lama saya cintai tapi kalo yang ini semacam ingin mendetail lagi menikmati setiap sudutnya, hehe. Saya tergerak lagi menulis karena kawan saya, Hidanul Achwan yang sejak setahun lebih lalu berhijrah ke Mesir untuk belajar.

“Kangen tulisanmu. Tulisanmu macet lama puol. Terlalu banyak yang bisa dibacakan dan diceritakan sebetulnya, take and give. I hope kita bisa bertukar cerita dan pikiran di media dan tempat yang efekttiifff, Aku butuh cerita dan perjalanan-perjalanan orang lain. Makanya aku berharap bisa baca tulisanmu. See you on top bils!” katanya penuh harap lewat pesan WhatsApp yang dihubungkan satelit di langit melintasi jarak dan waktu, Jogja dan Kairo.

Saya menyadari, menggerakkan tangan buat menulis bukan hanya perkara mood dan tidak mood, tapi harus ada impuls-impuls lain yang saya harapkan mampu memicu saya buat mensinkronkan perkara-perkara yang sulit diceritakan lewat suara. Setelah banyak perjalanan dan perpindahan tempat yang beberapa kali saya lalui, muncul kegelisahan tersendiri. Ada hal-hal yang tidak selesai kalau cuma saya pikirkan.

Sebagai akibat entah dari kesulitan saya menyetel frekuensi hidup saya di Jogja, banyak kali saya mencari cela supaya bisa keluar dan menghirup nafas di lain kota. Sampai-sampai ada kawan baru yang dulu berlabel ‘adek kelas’ haha, berfikir agak ngaco yang diceritakan ke kawan lain, “Mbak Nabila ngga betah po di angkatan kita, kok sering-sering pergi.”

Atau celotehan lainnya begini, “Perasaan dulu Mbak Nabila taat dan ngga pernah ngelanggar, kok sekarang sering banget ngelanggar.”

Saya tersenyum simpul, padahal dalam hati saya tertawa keras, hahaha. Bukan, bukan, bukan soal kalian tidak mengenakan kawan :), tapi sering pergi-pergi memang tabiat saya sejak dulu. Kalian sangat menyenangkan dan baik hati, masih mau menerima saya di angkatan kalian dan mungkin berusaha sekuat tenaga menjadikan saya seorang ‘teman’, bukan lagi ‘kakak kelas’. Meskipun masih terasanya saya tetap kakak kelas kalian. Tapi kalau siapa pun dari kalian mungkin baca tulisan ini, saya santai kok malah seneng banget kalo pakenya ‘aku’ bukan ‘saya’ kalau lagi sama Ulima Nabila Adinta.

Nah, thats why

Penyetelan frekuensi saya yang sekarang ini ber-title ‘down grade’ ke orang-orang sekitar saya. Setelah berhasil melewati 10 bulan di Italia yang berusaha menghadirkan ‘eksistensi’ di tengah segerombolan manusia asing yang bahasanya pun harus saya pelajari dari nol. Ketika itu saya seperti diminta oleh alam untuk menunjukkan grade saya yang seorang perempuan dari negara berkembang juga berkemajuan di tengah kehidupan negara maju, Italia.

Saat kembali, down grade yang saya ceritakan tadi menantang saya untuk menghadirkan diri saya yang ‘biasa-biasa aja kok saya mah’ di tengah orang-orang yang selalu sibuk berfikir kalau saya itu ‘tinggi’, “Wah dia kan habis pulang dari Italia, udah dulu ke Amerika terus ke Italia,” dan kalimat pujian lainnya yang justru itu ujian dari langit buat saya. Yang justru serasa jadi tabir di antara saya dan mereka, nah itu titik poinnya.

Saya harus tetap optimis dan bertingkah sesederhana mungkin untuk menembus tabir-tabir atas spekulasi dan ekspektasi orang-orang terhadap diri saya atas apa yang saya lakukan. Tentunya itu terjadi secara tidak langsung bukan ?

Ada orang-orang yang selalu menjadi pusat bertanya saya dari beberapa tahun lalu, salah satunya Ustadzah Nur Hasanah. Dulunya beliau musyrifah saya dua tahun di asrama dari kelas 7-8 tsanawiyah. Berganti, sekarang beliau jadi pamong asrama adek saya. Saya mampir ke asrama Ustadzah Nur.

Singkat cerita, beliau menyampaikan kekhawatirannya atas diri saya. Takut kalau saya jadi liberal haha, takut karena kelihatannya saya berubah drastis dari dulu yang ustadzah kenal. Saya mah ketawa aja ya, lalu saya menceritakan pergolakan batin atas perjalanan-perjalanan saya selama ini. Hasil obrolan itu, ustadzah berniat ngajak saya nongkrong suatu saat, hehe. Tapi belum kelakon.

“Bagi ustadzah ke luar negeri itu ya peluang aja, yang penting itu akhlaknya. Kalo akhlaknya menurun ya dia ngga ada hasil apa-apa dong,” ujar ustadzah santai ke saya sambal bercanda, haha.

Pulang dan kembali itu ternyata bukan sesuatu yang hanya ‘sederhana’, ada nilai-nilai yang kita bawa dan temukan. Sebenernya, yak arena berbeda tempat aja. Tetapi kalau dalam jangka waktu yang lama, bisa jadi beberapa hal terlihat kacau haha.

Kalau yang saya rasakan sekarang, sebagian besar dari saya dari awal serasa sudah menolak kembali ke kehidupan asrama. Tapi itu sebuah keharusan, sayangnya. Sebenernya juga, saya pikir saya masih tergolong ‘biasa saja’, tapi karena mungkin watak kawan-kawan baru saya berbeda cara penolakannya. Saya bisa dibilang, suka banget mencuri-curi keluar asrama sampe malam. Asli, cuma pingin maen aja kok.

Sedikit dari diri saya juga menolak untuk berontak kok, tapi itu sedikit aja. Dua kali saya diloloskan Wakil Direktur III untuk ke luar kota, ikut kerja tim yang baru saja saya ikuti sejak September awal. Pertama kali, saya ke Sidoarjo. Motif lainnya sih juga biar bisa ketemu kawan akrab saya, Savina Returnee AFS Jepang yang belum ketemu face to face. Kalau saya nggak ‘ngeyel’ mungkin saya pasrah karena ngga dibolehin. Tapi walhasil bisa juga kan. Dalih yang bunyinya begini, “Sudah kelas 12 Nabila udah dicukupin melalang buananya,” sudah sejak lama saya tolak di alam bawah sadar saya.

Apa salahnya coba ? Asal tetep bertanggung jawab ?

Kali kedua, saya berhasil menembus izin buat ke Jakarta ikut acara ASEAN- IPR Youth Conference di Sheraton Grand Hotel di kawasan elit Gandaria City. Lagi-lagi saya butuh ‘eyel-eyelan’ dulu buat meloloskan diri saya, gold chance ini berhasil bikin saya bisa ketemu AFS friends lainnya di Jakarta; Fadhi, Maysa, Gandhi, Farah, Shella, dan Shintya. Beuh, it was one of the best day after exchange. Berbagi cerita dan bercandaan tantangan-tantangan as exchange students. Hadiah kecilnya, dapet foto gratis dari photo booth yang disediain waktu exhibition. Intinya sih, selain dapet relasi baru saya diuntungkan karena pas apesnya lagi kantong kering, Yang di Atas kasih kasa pintu rejeki ngga terduga.

Setelah kawan-kawan baca sekilas cerita saya, entah mungkin kalian berpresepsi lain tentang diri saya sebelum dan sesudah ke Italia. Tapi memang itu lahir dari banyak pergolakan batin yang saya lewatin. Pertemanan saya berjalan sangat dinamis, banyak juga yang mungkin di luar ekspektasi saya. Terkadang saya jadi lebih suka go alone karena bisa nikmatin me-time, tapi kadang saya juga mikir, “sometime I'm thinking, "gapapa apa ngga sih kalo sering sendiri begini kalo jalan (?) Apa aku kudu reach some people that will take a lots of my time (?)”

Tiba-tiba kata-kata Savina jadi bikin saya merasa “ngga papa” setelah dia kirim super words melalui WhatsApp,

 “It is better to walk around and defend yourself with your prepared equipment as long as you're with Allah.. Rather than you walk with many of your friends but they're actually really keen to hurt you upon your journey bcs they see what you don't see in which those what they saw first is the thing that will benefit you.”

Awww thank you Savina, it’s make me realize. Lastly, I’d like to say thank you to Mirza and Thariq, yang baik hati dan tidak sombong mau nemenin Nabila bikin quality times,  yang jelas kami bertiga sejak dulu hamper satu frekuensi :)

 It was life changing, so life has changed me. Tapi ada satu pertanyaan yang selalu bikin resah di diri saya, kadang juga saya tanyakan ke orang lain,

If you were me, what will you do ?


Salam Ciao !
Temanggung-Yogyakarta, 9 – 14 November 2018

Ulima Nabila Adinta




0 komentar