Arah Pulang

Dua bulan lamanya nggak pulang ke rumah Temanggung bikin aku sedikit kehilangan arah. Di saat itu aku sampai di suatu masa kepingin ketemu teman-teman lamaku, teman-teman kecil pengisi ruang-ruang di masa lalu. 

Tanpa jedanya aktivitasku belakangan sedikit mirip dengan saran seorang kawan yang seperti peramal. Katanya di pertengahan 2021 aku lagi butuh bertemu atau berbincang dengan teman dekat dari masa laluku. Konteksnya berbeda tapi saran ini adalah kondisi yang sedang aku inginkan. 

Sebelum pulang yang aku bayangkan tidur bermalas-malasan meringkuk dalam selimut tebal di Temanggung yang berhawa dingin. Istirahat sepuasnya tanpa merasa berdosa ha-ha-ha. Ritual lainnya adalah mandi kembang macan kerah yang bahannya dibelikan Bapak Ibu di pasar. Orang bilang ngeri betul. Padahal ya dia cuma kembang biasa dicampur berbagai tumbuhan yang bawa aroma hangat, segar dan rileks pikiran. Biasanya kupetik daun pandan dan sirih di depan rumah supaya efeknya semakin magis di tubuhku yang lenyap dimakan aktivitas perkotaan.

Di hari berikutnya, aku sempatkan melepas kangen ke sepupu-sepupuku dan bertandang ke rumah budhe. Kadang nggak jelas tujuannya. Cuma kepingin ketemu dan ngobrol bareng di ruang tengah sambil nonton Trans TV yang punya serial maha ajaib nan bikin ngakak he-he-he.

Lalu,

Ada satu rutinitas maha besar wajibnya. Ketemu Mas Akmal, Mbak Nadia, Avicena, Mas Ubaid dan Mas Dhanu. Lingkaran pertemanan yang aneh ini punya komposisi lucu. Aku dan Avicena jelas nyempil di tengah jalan 10 tahun lalu. Ceritanya gimana, nanti panjang lagi haha. Meskipun nggak bisa ketemu semuanya, setidak-tidaknya aku bisa nyicil ketemu mereka.

Tema kemarin adalah sepenuhnya mendengarkan sambatan Avicena. Sarjana lulusan Yordania yang dibuat pusing bukan kepalang karena dirinya diduplikat di banyak tempat, rasa iba dan jiwa pengabdiannya sempurna ngalahin jutaan keluh kesahnya. Si tiba-tiba jadi guru di sebuah program khusus sebuah sekolah menengah pertama. Dan seabrek proyek roro jonggrang lain yang harus dihadapi Avicena ha-ha-ha.

Aku dan Mbak Nadia menanggapi dengan sedikit kasian tapi ketawa lucu serta mendukung penuh karena kami pikir ini betulan bakal jadi momentum besar buat Avicena. Di selipan sambatan Avicena dan drama murid-murid nakalnya, Mbak Nadia berbagi soal Festival Lembutan Bansari yang baru aja usai digarapnya. Sedangkan Mas Akmal yang lucu bin aneh sendiri suka nyeletuk hal-hal yang bikin aku, Mbak Nadia, dan Avicena gemas dan kompak merespon, "Raisoooo koyo ngono."

Diikuti alibi, emang harus ada orang kayak Mas Akmal.

Selepas fajar menyingsing dan beranjak dari salat maghrib kami bergerak ke Angkringan Ramidjan yang tempe mendoan bakarnya kurindukan. Ditemenin soto panas Ramidjan kami berlanjut ngobrol ngalor ngidul yang berjudul sambatan dan ghibah Ubaidillah si aneh kedua yang kebetulan lagi di Jogja. Dengan kesal disertai ketawa namun tanpa dendam kami apa adanya ghibahin dia wkwkw. Mas Dhanu nyusul belakangan pasca kulakan dagangan di luar kota. 

Malam itu aku sangat yakin kalau Avicena yang malang bakal menang, Mbak Nadia yang cerdas bakal bisa nonton Taylor Swift kalau dapat pekerjaan yang didambakan, Mas Dhanu bakal jadi pengusaha muda keren cabang Putihan dan Mas Akmal Ubaid akan senantiasa nyentrik sepanjang masa.

Aku nggak bisa ngebayangin hidup tanpa lingkaran pertemanan ini. Kemanapun jauh melangkah rasanya aku pingin selalu bisa duduk bareng, minimal di rumah Mas Akmal yang posisinya paling strategis. Meskipun Avicena harus melompat jauh dari Kerajaan Lungge he-he-he. Aku juga betah lama-lama update kehidupan sama Bapak Ibu mereka. Terlebih lagi orang tuaku, Avicena dan Akmal adalah sekawanan teman lama di masa lalu. Bapak Ibu Mas Ubaid yang ramah dan tetap menyempatkan ngobrol sambil menjahit serta Ibu Mas Akmal dan Ibuku yang kawan SMP di masa lalu dan suka cocok jadwal karaokean bareng. 

Sungguh, aku mau betah lama-lama di Temanggung asal ada mereka.

Temanggung, 1 September 2023

0 komentar