March and Everything in Between

Disclaimer: ini akan jadi serentetan sambatan yang mungkin menyebalkan, ya. 


Meskipun ada bentuk syukur tipis-tipis yang betulan dituliskan, bukan cuma numpang lewat.



Jarang sebetulnya aku niat-rela-ingin menuliskan sesuatu yang terjadi di suatu bulan atau semangat menulis buat menyambut bulan yang akan datang.


Tapi Maret kelewat keterlaluan. Nggak terhitung berapa banyak air mata yang aku keluarin, di sela-sela malam pendek yang jadi terasa panjang betulan. Brengsek emang semua ini, kataku di suatu malam.


Aku mengalami eskalasi emosi dan konflik bertubi yang datangnya tanpa permisi dan jauh dari prediksi. Mungkin banyak dari orang yang kenal aku atau sekedar tau aku—batu banget kamu Bil, halah kamu orang yang paling nggak bisa nangis kan Bil.


Salah besar.


Apa yang terlihat cuma ilusi sodara. Ternyata pernyataan seorang teman ini bisa berhasil aku cabik-cabik setelah melewati bulan Maret 2021. Kelewat kejam. Aku pikir—setelah melewati Februari yang juga betulan hecticnya, bulan Maret bakal lebih ramah—ternyata engga juga, ternyata jangan banyak berekspektasi itu nasihat yang harus dirawat setiap hari.


Menjelmakan serentetan peristiwa jadi bentuk syukur rasanya sulit banget. Kecuali satu hal. Kehadiran orang-orang tersayang di Jogjaaa istimewa, banyak juga kelapangan yang hadir di tengah kesempitan. Bisa dihitung jari—tapi menyelamatkan sekali.


Pergolakan, gejolak, serta turbulensi emosi yang terlewati betul-betul menghujam tajam. Merobek-robek daya pertahanan seorang nabiloski—melewati masa-masa (yang lagi-lagi) aku mempertanyakan eksistensi diriku sendiri, kenapa dunia kejam sekali.


Di tengah hidup yang sering nyebelin ini, di bulan Maret aku betulan bisa bengkak dan malu dilihat wajahnya di pagi hari kalau harus bertatap muka sama teman se-kos-an. Di antara sekian banyak identitas yang melekat—aku kadang merasa apa pantes aku ngeluh, tapi ternyata melewati bulan Maret, lagi-lagi buat aku belajar kalau menvalidasi diri sendiri yang memang lagi lemah itu nggak papa.


Mengakui, menikmati, melewati sampai akhirnya bangkit lagi itu—perlu terus dilatih.


Ketidaktunggalan identitas seorang "aku"— sebagai anak perempuan sulung, ketua himpunan, anak bapak-ibu, mahasiswa antropologi, seorang teman dari beberapa sahabat baik, dan yang terakhir—sebagai anak IPM, ternyata cukup mengoyak-oyak segala hal yang berkelindan dari pagi ke pagi.


Babak-babak yang Nabila Pelajari


Sebagai anak perempuan sulung—petuah Bapak yang dikirimkan setiap malam di grup keluarga maupun chat pribadi bikin aku luluh dan terkadang berkontemplasi malam-malam di tengah review mingguan ala antropologi yang nggak ada habisnya. Mendoakan kencang-kencang buat dua adikku yang masuk kuliah tahun ini, supaya mereka didekatkan pada kebermanfaatan dan dipertemukan dengan apa yang sesungguhnya mereka inginkan.


Sebagai mahasiswa antropologi—meskipun matkul semester ini nggak menarik-menarik amat setidaknya ada banyak yang aku syukuri dari observasi kecil-kecil an ala antro perkotaan atau kajian-kajian perihal etnografi di kelas-kelas lain.


Sebagai ketua himpunan—sesungguhnya ini juga terus menguras pikiran, tapi dengan ketersediaan Unge jadi ketua AnthroFest bikin aku menghembuskan nafas lebih tenang. Antusias menceritakan-mengkolaborasikan ide dan mimpi kita buat Antro, juga di sela-sela minum swahakava ciptaan Lord Abiyyi dan Bram. Dengan kehadiran Ade Putra sebagai wakilku serasa jadi es batu yang melepas dahaga di kala kepanasan. Terimakasih kamerad! 


Dan sebagai anak IPM—pertarungan yang sesungguhnya bikin aku nangis ribuan kali huhu. Mulai dari ketakutan bukan kepalang karena aku betulan dag dig dug jeder handle redaksi di tengah Muktamar yang perdana serta serba daring. Seluruh awak Lembaga Media PP IPM bikin aku terharu terus-terusan. Terlebih lagi, buat Brilliant, Inas, dan Vira—I thankyou! Karena kalian bersedia aku ajak lari kencang-kencang walaupun kadang aku loyo, i'm sorry:( but let's hand in hand together.


Di akhir bulan Maret yang serba mengejutkan juga bikin aku ingin berteriak kencang-kencang. 


Bicara soal kontestasi politik di IPM pasca mengamati beberapa arena pertarungan, Muktamar ketiga yang aku lewati ternyata betul-betul menyakitkan—kalau kata Golda memang sejatinya politik senantiasa dianggap sebagai tempat yang kotor dan selalu akan jadi pertumpahan darah bagi mereka yang memilih bertarung entah secara sengaja atau tidak saling melukai satu sama lain, atau bahkan melukai diri sendiri. Narasi yang nggak berjodoh dengan kompromi rasanya bikin aku yang bahkan bukan player juga turut merasakan maknyaas bukan kepalang.


Ini semua bukan cuma soal seberapa seru permainan berjalan. Lagi-lagi, mengutip kata Golda—rasanya nilai-nilai kuat yang tumbuh ataupun yang lahir dari rahim kultural—yang seharusnya mengakar kokoh dan menjulang tinggi justru menjadikan siapapun yang berada di luarnya sebagai anak tiri. Lantas, sesungguhnya apa yang diperjuangkan? 


Naasnya, semua ini juga belum kunjung menemukan jawaban yang memuaskan. Meskipun demikian, aku menasihati diriku sendiri untuk nggak lupa menahan pelan-pelan, mendoakan, dan memperjuangan yang setidaknya kita rasa "benar".


Walau aku tau, ini adalah salah satu hal yang paling rumit saat menjadi seseorang yang berproses menjadi dewasa. Maret yang nyebelin, makasih ya udah menuntun dan mengajarkan banyak hal serta memperkenalkan aku dengan lebih banyak orang. Menjadi lebih berani sekali lagi dan nggak lelah buat menghidupkannya berkali-kali.


Aku ingin berterimakasih yang aku yakin ini nggak akan pernah bisa membalas ketersediaan telinga dan hati sahabat-sahabat aku yang bersedia aku ganggu malam-malam buat nangis atau mendengarkan sambatan dan makian aku di sela-sela pertemuan.


Kalau aku ketemu kalian, mau aku peluk kencang-kencang.


Dan ini mungkin nggak penting, tapi amat sangat penting buat aku. Hehe. Terimakasih Carpenters—Top of the World betulan jadi lagu legenda Nabila di penghujung Maret—yang sekaligus bikin aku malu semalaman karena nyanyi kencang ngga beraturan sembari headset an dan bikin seisi ruangan nengok ke aku semua. Payahnya aku nggak sadar. Malu-maluin dasar.


Di tengah hidup yang serba mengejutkan dan hari-hari ke depan yang (mungkin) mendebarkan, jangan lupa, setiap pagi kita berhak merayakan sesuatu yang patut kita takhlukkan.



Selamat malam dan tidur nyenyak, ya.


nabiladinta

Temanggung, 4 April 2021

0 komentar