A note to start december
Dear all,
Nggak kerasa ya
kita semua, aku, kamu, mereka, dan siapa pun di belahan dunia manapun sedang
bersama-sama memasuki arena pertarungan 2020 di episode paling akhir.
Sebenernya, aku cukup risih dengan cuitan semua orang yang rasanya begitu mendramatisir
berakhirnya 2020—yang ohya ngga boleh begitu Nabila, mungkin mereka
memang merasakan masa sulit yang rasanya masih akan sulit dilewati untuk
sekedar membayangkan tahun pageblug ini belum kunjung berakhir di 2020.
Kalau boleh
kubilang, sebenernya di setiap episode tahunan selalu ada masa sulit, renyah,
receh yang dilalui seorang aku. Ngga bisa dibandingkan secara sejajar karena
seiring bergerak maju, aku pikir aku seperti sedang menaiki tangga berliku dan
mengalami eskalasi tertentu. Trauma, sakit hati, beruntung, kecewa, jatuh,
cemburu, lelah, senang semuanya toh pahit asam manisnya hidup yang kalau
dinikmati akan berujung pada syukur tanpa henti.
Di penghujung
tahun yang belum ujung ini, aku pernah mencoba menghitung orang-orang yang kukenali
dan kumasukkan dalam putaran circle yang paling kusayangi—berujung aku
ngga sanggup menghitung karena ternyata aku memang dikelilingi orang-orang yang
betul tulus dan mendukung setiap gerak langkah Nabiladinta tanpa henti.
Walaupun kadang juga masih bingung sendiri, kemana aku kudu sambat dan
bercerita yang berujung ya inginnya orang-orang itu saja, hehe.
Di episode saling
menjaga jarak yang tanpa kita duga semua ini, ternyata buat aku mengalami
turbulensi emosi yang tidak terdefinisikan, sampai perlu kugiatkan lagi menulis
refleksi supaya aku semakin mengerti diriku sendiri, sebenernya apa yang aku
rasakan. Tahun ini aku juga merasakan tahap mengalami—mengalami secara
mendalam kepada siapa aku seharusnya bercerita dan mengeluhkan, bahkan kadang
menangisi hal-hal yang telah lalu. Menyesali.
Yang setelah
kupikir ulang kembali, sesungguhnya aku nggak perlu menyesali karena kalau aku ngga
mengalami hal ini mana mungkin aku berani memutuskan dan memilih.
Di sore yang
ditemani hujan deras tanpa henti ini rasanya sumuk sekali.
Tubuhku yang
meracau sejak bangun fajar kemarin rasanya sedang protes bertubi, belum lagi
disokong sama periode bulanannya perempuan. Wah semakin menjadi, setelah
kuingat kembali, sepertinya ini periode sakit Nabiladinta yang kedua kali di
tahun ini—ambruk seambruk-ambruknya. Kadang aku menaruh curiga pada siklus
tubuhku yang jarang sekali mengalami sakit fisik yang kalau tiba-tiba drop
tanpa permisi dan ketok pintu terlebih dulu, tanpa gejala.
Soalnya, perasaan
kemarin baik-baik aja, makanku teratur. Tapi yasudahlah, mungkin memang ini
waktunya rehat.
Dear hormones,
please behave ya?
Semua orang di
dunia ini mungkin sedang mengalami fase yang sama-sama sulitnya, makan sulit,
pergi ke luar takut, diam di rumah juga bosan. Bertatap di layar juga sama-sama
membosankannya, semuanya serba sulit. Terlebih lagi kalau kuamati teman-temanku
yang mulai merangsek kesana kemari dan mengeluarkan keluhan mujarabnya lewat
twitter yang jadi hiasan timeline-ku sehari-hari.
Betul-betul
turbulensi emosi yang tidak bisa kita pungkiri.
Belum lagi, satu
bulan lalu—saat sama seperti hari-hari ini, aku yang sedang di tahap menstruasi
harus menghadapi kampanye pencalonan himpunan yang brengsek sekali, menguras
emosi dan energiku berkali-kali. Masa bulanan perempuan ini yang kadang buat
aku bertanya sendiri, kenapa semakin gede semakin ngga karuan aja rasanya?
Maka aku turut
mengasihani teman-temanku yang sampai harus bedrest setiap kali datang bulan.
Mendukung RUU yang berpihak kepada perempuan, ternyata memang tidak semudah ini
ferguso menjadi perempuan, apalagi kalau sudah dewasa. Sesuatu yang
sesungguhnya hanya berproses di dekat rahim, ternyata mengoyak-oyak seluruh
tubuh dan membuat kami—perempuan ini, hanya ingin tiduran saja di kasur.
Tapi
sesungguhnya, aku ingin mengucapkan terimakasih bertubi kepada teman-teman
laki-lakiku yang tetap berusaha ‘mendengarkan’ serta ‘mengerti’ kami para
perempuan ini. Aku bisa menulis begini, karena rasanya tubuhku semakin
menjadi-jadi setengah tahun belakangan ini, masih berusaha bernegosiasi dengan
periode ini.
Terlebih lagi,
setelah dua semester ini bertemu Mbak Suzie, dosen spesialis gender yang
terlihat amat lihai dan selalu apa adanya dalam mengajarkan sesuatu, buat aku
bikin puyeng sendiri karena melihat dan merasakan ketimpangan gender yang
terjadi di sekitar ini justru buat semakin nggak berdaya. Studi gender yang
ngga jauh-jauh dari kata-kata maskulinitas, seksualitas, feminitas, dan banyak
lagi pokoknya buat aku berefleksi setiap saat. Ternyata memang ketimpangan ini
terjadi di segala lini sodara-sodara. Bukan masalah kamu atau aku feminis atau
patriarkis, tapi ketidakadilan memang masih terjadi.
Sampai-sampai di
sela menahan sakit yang mengoyak perutku, sembari ber-vidcall ria sama Tasya,
aku bilang, “Pokoknya ya Tas besok kalau aku punya pasangan aku mau kita
sama-sama sepakat bentuk peran gender yang mau kita bagi dan alami tu kayak
gimana.”
Aku dan Tasya
yang mungkin punya pengalaman yang beda sama-sama sepakat bahwa di balik sama
atau bedanya pengalaman kita, sama-sama melihat kalau ketimpangan itu masih
ada. Intinya mah kita bertekad kalau kita harus mandiri ya jadi perempuan, jadi
manusia. Stand up for ourselves is our duty no matter what.
Walaupun juga ada
beberapa hal yang aku ngga sepakat dengan perkataan Mbak Suzie, tapi
terimakasih ya Mbak Suzie sudah membuka pemikiran dan relung hati Nabiladinta
lebar-lebar. Sesungguhnya Nabila pingin banget ngobrol sama Mbak Suzie empat
mata dari hati-hati gimana seharusnya kita bersikap melihat kegemasan dan
ketimpangan yang kian hari kian bikin aku ingin nangis sendiri. Konsekuensi
ilmu pengetahuan ya Mbak? Semakin tau semakin sedih.
Catatan awal
Desember yang random ini semoga tuntas mencairkan keruwetan Nabiladinta,
terimakasih semua.
Hati-hati sama
hujan, ya? Jangan sampai sakit.
withlove <3
Temanggung, 1
Desember 2020
0 komentar