Jatuh Cinta
Catatan 25 Desember, 2016 5:41
Seseorang yg ingin bangun cinta, selayaknya mengalami jatuh lebih dulu. Sakit, berdebar2, cemburu (mungkin), berharap, dll. Maka ketika jatuh cinta, nikmati saja. Jangan terburu-buru membangun cinta sebelum engkau merasakan betapa menantantangnya jatuh cinta.
Betapa sepakatnya aku sama kata-kata Yu Rahmi yang bertengger rapi di salah satu feed instagram beliau sekitar empat tahun-an lalu. Yu Rahmi memposting foto rombongan PII Jogbes yang aku turut ikut di dalamnya. Buat aku, Yu Rahmi dan Kang Neo, suaminya, para instruktur Batra PII delapan tahun lalu jadi inspirasiku. Aku menitipkan kado hasil iuranku dan Avicena, salah seorang teman Batra-ku. Satu-satunya di lokal/kelasku mungkin yang masih awet berteman sampai sekarang, ha ha ha.
Aku mungkin belum merasakan sakit berlebih perihal jatuh bangunnya mencintai seseorang, tapi boleh sama-sama sepakat kalau urusan berdebar, cemburu, dan berharap bercampur dan kadang amat sangat menyesakkan.
Kalau kata Alya, salah seorang sahabat SD-ku dua malam lalu bilang, "Wah Bil nek koe durung patah hati atau loro sak loro-lorone koe durung urip"
Ha ha ha aku cuma ketawa.
Kalau kata Gibran, di malam yang sama, "Rasane ke piye yo nek tangi turu lebar putus cinta ki koyo bingung. Nyesek sampai ke ulu ati, dunia koyo mandeg."
Aku sepakat, jadi kadang ada lelahnya kalau jatuh cinta, memang butuh merasakan "jatuh" jadi bukan cuma dimabuk cinta semata. Topik ini amat sangat relate untuk kita-kita masa awal 20 tahun-an yang mungkin merasakan patah tumbuh hilang berganti. Sampai ada kata Alya yang cukup buat "oh gitu ternyata",
"Bil kalo aku pernah baca, jadi ada tiga macam jatuh cinta yg bakal kita alami, satu, yang sungguhan bikin kita seneng terus, dua, yang kita secinta itu tapi rasanya berdarah-darah sakit kecewa nah tapi ini yang justru bikin kita tumbuh, yang terakhir, yang dia orangnya yang jadi selama ini kita cari, ya ini orangnya."
Deg.
Buat jumlah orangnya mungkin setiap orang beda-beda. Tapi aku juga pernah dengar Mbak Iklima Manda beberapa tahun lalu bilang begini,
"Kita tu maksimal bisa suka yang bener-bener suka, cinta gitu ke lima orang."
Aku banyak sepakatnya sama kata-kata mereka semua. Sebenernya aku bukan perempuan yang amat mudah baper atau amat mudah menyukai seseorang, karena ya menurutku jatuh cinta adalah proses sakral yang sama sekali nggak bisa dihakimi hukum alam, semesta maupun manusia. Tumbuhnya alami, kadang nggak bisa kita minta datang atau pergi sesuka ria.
Aku jadi mengingat salah satu jawabanku yang terlampau mengada-ada dua tahun lalu di sentral kota Belluno. Suatu siang di musim semi, niatnya aku mau jalan-jalan sambil menunggu bis pulang ke rumah yang datang sejam lagi. Tiba-tiba ada seorang Afrika dan temannya yang menyapaku, "Assalamu'alaikum."
Aku agak ketakutan jadi kupercepat langkah, tetap aja dia berusaha sekuat tenaga aku jawab. Akhirnya aku ngobrol pakai bahasa italia setelah aku tanya bisa atau nggak. "Aku dari Nigeria, jelas aku bisa karena udah di sini empat tahun."
Tapi anehnya dia tetep kekeh pakai bahasa inggris, aku tanya muslim atau bukan malah dijawab dia menghargai perbedaan, agama dan lain-lain. Nggak mengiyakan. Gemes banget, berdalih sekuat tenaga biar aku mau diajak ngobrol. Akhirnya batal jalan-jalanku ke toko baju. Dia minta di tempat yang sepi, jelas aku minta di bangku taman sentral yang jelas ramai. Tinggal dia dan aku, temannya pergi. Aneh bin ajaib sekali ini orang, aku juga kurang hati-hati.
Mulai memaksa nanya rumah di mana, asal dari negara mana, eh berujung minta nomer telpon dengan alasan mau berteman. Emang situ pikir sini nggak mikir ya, bisa kasih nomer seenaknya. Aneh super.
"Do you want to be my girlfriend?"
Like hey dudeeee, who are you! Aku mulai jawab kasar bernada tinggi. Dia masih maksa, untung nggak menyentuh fisik. Oh ya anyway, aku juga mengaku punya pacar di Indonesia, padahal sebenernya nggak kok. Hehe
"Loh kan pacarmu di Indonesia, nggak ada di sini. Dia nggak bakal tau."
Eneg sekali.
"Eh kamu pikir kamu siapa. Aku cuma mau satu dan aku orangnya setia! Ciao cazzo"
Aku sungguhan berkata kasar dan pergi secepat mungkin. Dia jadi linglung di bangku taman sambil nyari temannya. Aku mengada-ngada jawabnya karena mengaku punya pacar tapi ya masak bisa serendah itu menyepelekan rasa suka atau hubungan, bisa seenaknya diduakan.
Maka, sungguh aku nggak mau main-main karena ini adalah proses sakral dan hati yang bermain sembari menyisipkan doa-doa penuh pengharapan. Pengalaman itu aku ingat selalu dan jawabanku yang suka bikin ketawa sendiri kalau diingat-ingat sekarang.
Di epilog tulisan ini, aku ingin menyisipkan syair Kahlil Gibran yang dicomot dari karyanya "Sayap-sayap Patah".
Cinta adalah satu-satunya kebebasan di dunia karena cinta adalah gairah yang tidak dapat dihalangi oleh hukum manusia dan fenomena alam.
Selamat menikmati jatuh bangun patah tumbuh hilang berganti!
Solo-Yogyakarta, 4-8 Agustus 2020
0 komentar