yang datang dan pergi
Selamat Tahun Baru!
Bagi sebagian orang tahun baru jadi momentum yang spesial dengan perayaan sederhana maupun hura-hura menjelang pergantian hari. Beberapa tahun belakangan aku merayakan tahun baru dengan bakar-bakaran bersama teman atau keluarga besar, tahun ini hanya dengan Lena yang akhirnya kita menemukan spot di sebuah kafe untuk melihat deretan kembang api dari atas Bukit Campuhan, Ubud.
Datangnya Lena ke Indonesia bikin aku bisa tiba-tiba sedikit menangis ketika punya kesempatan sendirian. Masih belum menyangka kalau pertemanan kami bisa sedemikian hebat kuatnya. Di sisi lain, setahun ke belakang aku merasa mengalami turbulensi kritis atas relasi pertemanan maupun romansa asmara yang patah tumbuh hilang berganti. Merasa kesepian di tengah keramaian.
Seorang yang super duper extroverted seperti aku ini punya daya selam pertemanan yang tinggi, aku merasa nggak papa untuk repot lebih dulu, menghubungi ini dan itu, mengajak kesana kemari, dan dengan rela mengatur sebuah pertemuan ramai sejak SD sampai sekarang. Sampai Ibu juga ikutan heran, tapi beliau juga mendukung dengan turut mau repot kalau banyak teman datang ke rumah.
Segala daya upaya yang tinggi ini menjadikan aku yang ternyata tidak cukup mempersiapkan sebuah ‘kekecewaan’ kalau mungkin ini bisa banget untuk datang tanpa ketuk pintu. Bahkan tanpa tau sebab pastinya.
Terlebih lagi, setahun belakangan yang di mata banyak orang nggak akan bisa mengira aku lagi di kota mana dan sedang melakukan apa, membuat sebagian banyak teman jarang mengabarkan momentum-momentum spesial mereka. Padahal aku akan sangat berupaya turut datang, merayakan, dan menyelemati. Aku bisa menghabiskan waktu berhari-hari dan bertanya-tanya kenapa ini bisa begini dan begitu, mengulik-ulik sebab kesalahanku yang mungkin aku perbuat, naasnya berujung menyakiti dan membebani diri sendiri. Di titik ini selain belajar merawat pertemanan, ternyata aku belum cukup belajar merawat kewarasan diri sendiri dengan sedikit bodo amat.
Banyak kejadian yang bikin aku merasa apa iya ini mungkin aku yang jahat ya, nggak bisa menjadi teman yang baik untuk mereka. Di saat ngerasa seperti ini, di sebuah warung dimsum di Blok M seorang sahabat jauh yang udah nggak aku temuin selama empat tahun bilang, 'enggak boleh gitu Nabila kamu ini orangnya baik banget, kamu nggak pantes disakitin, kita harus berani bikin boundaries jangan mau selalu nerima bare minimum.' Kalau inget percakapan ini rasanya tertohok, sosok sahabat perempuan tertangguh ini sungguh menguatkan aku buat semakin berani mengaudit pertemanan.
Sedikit keterlepasan dengan bertahan di sebuah kota dalam waktu yang lama membuat aku semakin belajar meng-audit-pertemanan kalau bahasa Mbak Ayu Kartika Dewi. Ia menyarankan untuk melakukan listing down 10 orang yang kita rasa berinteraksi secara intimate di kehidupan sehari-hari, mana yang membuat kita baik vs buruk tentang diri sendiri Sedangkan kalau kata sepasang suami istri di sebuah podcast CurhatBabu tentang pertemanan abadi, kita tidak bisa benar-benar memperhatikan semua orang, kita punya keterjangkauan untuk memperhatikan 5-8 orang di hidup kita. Kelak mungkin kalau kita udah berkeluarga, mungkin keterjangkauan kita ya hanya kepada pasangan dan anak-anak kita, keluarga inti.
Kedua perbincangan tersebut cukup menguatkan kalau sebagai manusia kita punya limit. Pada akhirnya aku mensyukuri kebiasaanku yang sejak merantau dan hidup di asrama SMP-SMA nggak menggantungkan ke orang lain, merasa nggak papa melakukan semuanya sendiri tanpa melupakan dengan tetap merawat teman-teman baik. Merasa nggak papa untuk selalu menyediakan me-time kalau suatu waktu ini memang dibutuhkan.
Mobilisasi yang tinggi di tahun 2022 bikin aku cukup mengerti siapa yang benar-benar dekat, bahkan di masa turbulensi emosi yang gunjang-gunjing serta bikin KRL kebanjiran tangisan aku selepas seharian berkeliling ibu kota di paruh kedua tahun lalu, aku merasa bersyukur karena satu dua orang dari teman baikku selalu menyediakan telinga untuk mendengar. Bersedia aku telpon tengah malam supaya bisa tidur tenang atau pagi hari sebelum beranjak ke ibu kota. Menjaga kestabilan dan menjalani hari-hari yang berat dengan lapang dada.
Merasa kesepian di antara hiruk pikuk ibu kota rasanya sesak. Meyakinkan diri kalau masih ada teman-teman yang nggak enggan bilang, 'kalau ada apa-apa bilang ya Bil, kan ada aku dan yang lain'.
Aku juga cukup bersyukur, meskipun kita pernah atau sedang dekat dengan seseorang, menjalani hari dengan percaya pada diri sendiri nggak lantas membuat kita terlihat sangat rapuh ketika suatu saat ia pergi. Tentu di waktu sendiri, dulu aku cukup nyaman menjalaninya tapi ketika berubah menjadi sendiri lagi, pernahnya mengalami sharing comfort zone nggak lantas bisa menjadikan kita kuat seperti semua.
Di paruh kedua 2022, mungkin aku cukup mengecewakan-dikecewakan oleh beberapa teman baik yang nggak aku sangka bisa berbuat sedemikian rupa. Lantas berupaya memperbaiki tapi pintunya rasanya udah terkunci sangat kencang, nggak ada cara lain selain berpasrah dan berserah. Mendoakan yang terbaik, kata seorang teman 'sebaik-baik pertemanan adalah saling mendoakan, mendoakan adalah cara mencintai paling sederhana, mendoakan adalah cara mencintai paling rahasia'.
Mengalami kecewa yang sangat berat dan membawa kepada mimpi-mimpi buruk, nggak jarang aku ingin mengutuk dan berbalas. Namun kemudian seorang teman lain mengingatkan kalau tugas kita hanyalah berbuat baik, nggak boleh membalas dengan kejahatan serupa. Pesan ini sama persis seperti yang dikatakan Bapak Ibu sembilan tahun silam. Pada akhirnya yang aku lakukan adalah mengendalikan ekspektasi dan membatasi tanpa membencinya sembari berdoa semoga di sebuah kesempatan kita bisa membicarakannya baik-baik.
Kalaupun nggak bisa kembali seperti semula. Hidup kita toh nggak selalu berada poros yang sama, people come and go. Di balik semua yang aku alami di 2022 ke belakang, sudah sepatutnya juga aku mengucapkan mohon maaf sebesar-besarnya, kalau mungkin kita nggak bisa sedekat dulu lagi, nggak papa. Doa terbaik untuk kalian, dan untuk teman-teman yang pernah dan akan berbagi ruang denganku kemarin dan di kemudian hari secara singkat maupun panjang semoga kita bisa tetap berbagi kebahagiaan sesedikit apapun itu, ya!
Lalu, pada sebuah perputaran tertentu di sepertiga dari tahun 2022, aku merasakan dipertemukan kembali dengan hal-hal baik. Buah dari masa lalu yang mungkin nggak akan kita sangka. Reconnecting lives, buatku, selalu jadi dua kata magis yang bergulir serta punya daya yang menguatkan. Menyayangi, percaya, dan berharap seperlunya. Dalam sebuah obrolan panjang via whatsapp call di suatu malam yang rasanya nggak ingin aku akhiri, dengan jujur dan sepenuh hati aku mengamini kalau sebagai seorang manusia kita nggak hanya butuh tempat bercerita, tapi juga tempat menyimpan cerita. Yang dalam kurun waktu lain, kita nggak kesulitan menceritakan ulang secara kronologis dari awal.
Semoga setiap kita bisa punya kesempatan ditemani oleh seseorang yang baik dan tulus, baik itu teman maupun pasangan kita. Tentunya, nggak semua akan berjalan selalu mulus, tapi semoga di setiap pergantian babak kehidupan, baik dari bergantinya musim maupun tahun kita selalu dikuatkan untuk menghadapi dengan lapang dada serta merawat pertemanan dengan sebaik-baiknya.
Terima kasih buat setiap one call away Nabila. I owe & love you all wholeheartedly. Hopefully we can always cross-path together on earth. Engaging all those emotions is a beautiful thing. We need other people, we need to create our own safe space.
You're gonna lose friends and you're gonna make friends. And it's okay 👌
Gilimanuk-Situbondo, 6 Januari 2022
0 komentar