A note about returning home
“I would return to Temanggung and feel again a sense of belonging that I never felt elsewhere except Belluno, to reconnecting with my relatives. Bringing my Temanggung ways with me whenever I made homeplace sustained my ties to home...” (taken from belonging bell hooks)
Ramadan tahun ini cukup nano-nano dengan beragam caranya
Pertama kalinya mudik ramai lagi setelah dua tahun dihujam pandemi
Pertama kalinya aku melewati Ramadan di delapan kota
Pertama kalinya bukber sama temen-temen AFS Italia
Kedua kalinya i’tikaf di masjid
Kesekian kalinya diuji kesabaran
Ada banyak-banyak rupa baru dengan lebih sedikitnya bukber yang mulai aku kurangi dari Ramadan tahun lalu. Setelah melalui kesendirian di Ramadan empat tahun lalu, yang cuma ditemenin keluarga Maroko Benaly dan Aljazair Meraga--di tahun 2019 aku cukup banyak kontemplasi dan meramu ulang beberapa ritual kehidupan.
Mungkin kesannya berlebihan, tapi seriusan berbagai relasi yang terjalin dalam bentuk apapun cukup aku renungkan secara mendalam setelah kepulanganku dari Italia.
Termasuk di Ramadan dan Idul Fitri kali ini.
Mulainya memasuki ritme kehidupan baru dengan reconnecting lives melalui beragam interaksi bikin aku sedikit ngos-ngosan tapi berkat diingatkan Savina soal banyak urusan hidup yang aku luput di akhir Ramadan sambil sedikit mbrambangi di tengah malam dan Savina yang masih terbangun dini hari dari Beppu, Jepang.
Di Ramadan tahun ini aku cukup melewati fase banyak deg-deg an, was-was, dan khawatir soal banyak hal. Sebab-sebab itu yang mungkin bikin aku harus putar halauan lagi buat menenangkan diri, karena secara nggak sadar adalah faktor deg-deg anku selalu berurusan dengan orang lain. Artinya, secara nggak sadar pula aku ‘menggantungkan’ ketenanganku ke mereka.
Tapi ada satu kalimat Savina yang bikin aku jadi nggak peduli lagi,
“Coba deh Nab kamu ganti source of happiness kamu, yang awalnya karena orang lain, cari cara supaya kamu bisa tenang ya karena dirimu sendiri. You can do so many things but do you need to do that? Hidup tuh pelan-pelan Nab,” kata Savina penuh penekanan.
Kebergantungan ini yang mungkin bikin aku nggak merasa tenang. Di akhir Ramadan, di sela-sela doa panjang sepertiga malam aku banyak memohon ampun dan berdoa supaya dilapangkan hatinya. Tarik nafas dan berhenti sejenak kalau ada satu dua hal yang cukup menguji kesabaran, apalagi kalau berhubungan sama orang lain.
Dibonusi udara Temanggung yang dingin dan kesegaran aroma pagi yang semakin jarang aku dapetin karena mondar-mandiri kesana kemari. Diberi hadiah ketemu banyak saudara yang apa adanya nan sederhana. Diberi bonus ramainya (lagi) Parakan dengan takbiran yang sama megahnya kayak tahun-tahun sebelum pandemi. Diberi kesempatan terhubung kembali ke keluarga mbah kakung mbah putri dari Bapak maupun Ibu.
Sebelum catatan ini ditutup, ada sebait lagu dari Holaspica-Waktunya Pulang yang baru banget direkomendasikan seorang teman di hari terakhir Ramadan,
Saatnya untuk pulang
Titip salam bagi yang tertinggal
Saatnya untuk pulang
Ingin peluk dia yang tertinggal melewati
Semoga, Kita semua diberkahi sama Yang Maha Kuasa dan diberi kelapangan hati sampai nanti. Sampai jumpa!
Temanggung, 3 Mei 2022 | 2 Syawal 1443 H
0 komentar