Ramadan Kareem #2 : Mengintip Deretan Rumah Adat di Senaru Lombok Utara

3 April 2022Puasa kedua, masih di Bayan! 

“Sahurnya nanti di sini mbak,” kata Mas Efta sebelum tidur.

“Mbak nanti boleh minta tolong dibanguninkah karena saya nggak bisa alarm nggak ada hape,” permohonanku ke Mbak Sandra istri Mas Efta.

“Iya mbak nanti saya bangunin,” jawab Mbak Sandra ramah sekali.

Naik ke kamarku yang di bangunan panggung langsung bergegas tidur, nggak kerasa dipanggil sahur Mas Efta aku langsung kebangun dan sahur di rumah mereka, masih dengan edisi per-sate-an Bayan. Mbak Sandra ini nggak pernah luput sama buah, jadi aku super duper cocok :)

__

Setelah matahari agak muncul aku memutuskan jalan kaki pagi ke arah timur. Seger bukan kepalang, sawah hijau melintang dan terasering serta hamparan Rinjani di sisi selatan buat aku semakin bersyukur. Beruntungnya aku masih bawa kamera mirrorless meskipun tanpa hape. Melintasi jalanan naik turun menuju arah matahari pagi, akhirnya aku memutuskan putar balik dan menuju ke atas, ke arah selatan tepat Gunung Rinjani jadi pemandangan di depan mata.

Mungkin satu jam lebih aku jalan kaki pagi.

Setelah kembali dan mandi pagi aku jalan kaki ke utara menuju Masjid Kuno Bayan, disapa Ibu pemilik Sanggar Tenun Fetung yang juga masih sanak dari Kak Elin, “Pakaikan dia kain Elin, boleh sana kalau mau pakai kain,” Kak Elin ambilkan aku kain tenun bermotif kotak-kotak khas Bayan. Masjid Kuno ini betulan kuno, berbahan batu, alang-alang, kayu, bambu, dan segenap bahan lain yang mungkin aku nggak paham menjelaskan.

Berada agak atas di area tanah yang tinggi dan dikelilingi beberapa makam tetua/kyai adat sepertinya. Tepat menghadap ke timur aku bisa menikmati terasering persawahan Bayan. Di hari kedua atau ketiga masjid ini sebenernya bakal dipakai tarawih, tapi khusus untuk kyai-kyai atau keturunan khusus bukan untuk masyarakat umum. Sayang seribu sayang.

Selepas berkeliling masjid kuno aku ke sanggar untuk ngeliat Ibu, Kak Elin, dan dua orang perempuan lain menenun. Ternyata aktivitas menenun betul-betul dikerjakan setiap hari oleh sebagian perempuan Bayan. Sebetulnya dari dulu, tapi memang kehadiran Artshop ini baru muncul di 2004—saat Ibu kebingungan ketika ada orang pengen beli tapi pembuat tenunnya bersebaran.

Kak Elin ajak ke Senaru, daerah di mana masih ada sekumpulan rumah adat.

Mengintip Rumah-Rumah Adat di Senaru

Dibonceng Kak Elin, jalanan cukup berkelok ke Senaru, di sisi sebelah timur atau kiriku deretan perbukitan hijau keliatan super duper seger.

This is a blessing.

Baru pertama kali di hidupku datang langsung ke pemukiman rumah adat di Indonesia serta nggak pernah melakukan list khusus mana yang akan dikunjungi. Kata Kak Elin, ini termasuk yang nggak begitu ketat karena ada yang lebih ketat—salah satunya adalah harus banget pakai kain tanpa tambahan pernak-pernik apapun. Areanya nggak begitu lebar, tapi setiap rumah pasti punya beruduk atau semacam gubug atau saung dan kandang hewan. Di dalamnya, cuma ada satu ruangan luas, tempat tidur, dapur, dan lain-lain semuanya bercampur.

Kak Elin masih semangat ajak aku liat kebun kopi. Ternyata di area agak atas lagi dari kebun yang sekaligus ada warungnya itu kita bisa liat air terjun! Sebelum gempa di sana ada kolam, tapi karena gempa hebat tahun 2018, lembah yang di bawah dekat air terjun ikut longsor. In that time, I only live with calm and peace, thank you Kak Elin.

Ketenangan: Resep Hidup Ala Raden Gedarip

Sepulang dari Senaru dan duduk-duduk di beruduk depan sanggar aku ketemu pendaki dari Jawa Timur. Tiga orang mas-masnya cukup kaget pas aku sapa pakai bahasa Jawa serta makin kaget sewaktu tau aku nggak bawa hape, mereka beli kain dan salah seorang masnya menyayangkan aku yang nggak menyempatkan naik Rinjani. Nggih pripun maleh mas hahaha.

“Jadi ketemu kakek,” tanya Kak Elin. Wah jelas jadi dong kak! Aku diantar ke tempat kakek—akrabnya disamap Bapuk di sini. Bapuk ini berpengalaman sekali dan keliling kemana-mana berkat persahabatnya dengan seorang antropolog dari Swedia, bahkan Bapuk sampai bisa bahasa Swedia dan sempat tiga bulan di sana. Membantu sidang, katanya kalau di Swedia harus mendatangkan native yang diteliti. Bapuk keren banget! Ini bikin aku makin bersyukur belajar antropologi; it teaches us how to be human and to save our life in peace. We are all brothers after all, no matter what.

Kalau kata adik kandung Bapuk yang tinggal dekat rumah Mas Efta, “Ngobrol aja sama kakek pakai bahasa Inggris dia bisa walaupun lulusan SD kakek udah kemana-mana,” cerita Bibi yang juga baik hati sekali. Aku berasa dirumat jadi cucunya.

Di usia senja beliau masih segar, “Resepnya apa Bapuk?”

“Ketenangan,” jawab Bapuk sederhana. Bapuk juga cerita kalau Bayan memang sangat terbuka dengan para peneliti bahkan memuji ilmu antropologi yang sangat detail. Bapuk juga menceritakan beberapa tradisi di Bayan serta mengatakan kalau rumah adat di Bayan ini tahan gempa sampai-sampai arsitek dari Jepang dan mahasiswa dari ITB datang ke Bayan. Keheranan.

Bapuk kelihatan kelelahan jadi aku persilakan kalau Bapuk memang lelah biar istirahat dulu.

Sekembalinya dari Bapuk aku mampir Sanggar Jajaq Bayan, tempat ibu Mas Efta. Diberi kesempatan buat dipakaikan pakaian adat ala Bayan, ramah betul ibu ini. selepas tau Bang Haris nggak bisa jemput hari itu, aku memutuskan istirahat dan mengumpulkan amunisi menikmati sore.

Buka Puasa Ala Bayan dan Tarawih Bareng Widya

“Buka puasanya nanti di sini mbak,” ajak Mas Efta.

Aku bergegas mengiyakan dan pamit sebentar keliling Bayan di sore hari. Aku menuju arah selatan, kea rah kerumunan di perempatan, tempat Bibi juga menjual makanan, “Sini duduk sini dulu,” ajak Bibi. Selang berapa menit kemudian aku mampir ke Sanggar Tenun Fetung Bayan dan beli beberapa tas tenun kecil untuk Dek Hanun dan Ibu, diberi diskon banyak sama Ibu pemilik. It is just wow!

Pulang menjelang berbuka dan disuguh es kelapa muda campur susu sekaligus bakwan jagung ala Lombok yang enaknya nggak usah diragukan lagi serta sate lilit yang nggigit parah. Mbak Sandra juga buatkan salad! Menjelang salat tarawih aku menuju masjid sama Sesa dan sepupu perempuannya sambil bawa tikar.

Di masjid, Widya merapat di sebelahku. Widya ini tuna rungu jadi kami berkomunikasi dengan isyarat dan senyum. Di sela salat, Widya pegang tangan kiriku yang terpasang cincin handmade dari Dayu. Widya kelihatan suka! Dengan senang hati aku kasih ke Widya dan dia senyum kegirangan, beberapa kali kita berdua tengok ke atas langit liat bintang-bintang yang cerah meskipun siang sempat hujan. Kata Mas Efta, “Mas Kendal kalau kesini pasti cari Widya.”

Malam itu ditutup dengan duduk-duduk di beruduk sama seorang nenek dan Bibi, disusul Mas Efta dan Sesa. Bibi tiba-tiba masuk ke rumah dan keluar bawa dua buah makanan cemilan berbahan kelapa dan manis, makanan khas Bayan untuk aku.

Lamat-lamat aku coba menyimak percakapan mereka yang nggak bisa aku pahami sama sekali haha, tapi sekali waktu Bibi menyempatkan menanyakan aku beberapa hal, soal cuaca di rumahku, Jogja, dan Sembalun.

“Besok kesini lagi ya kapan-kapan, salam untuk Mas Kendal.”

Siap grak! Terima kasih Bayan, dua malam penuh anugerah, ketenangan, dan penerimaan.

 

Pamulang, 6 April 2022

Siang – 22.27 WIB

 

0 komentar