Sepekan di Petungkriyono: Menyisakan Mimpi



Januari, 2020

Aku masih terus berfikir ulang, mengapa setiap manusia dilahirkan di dunia ini, nasib-nasib mereka dan segala kesudahannya yang membuat tertawa, gelisah, haru, dan kesedihan.

Berita-berita sepekan kemarin dari televisi, berita, twitter, dan media lainnya mengabarkan perpecahan, pembunuhan anak ke ibu, korban tewas di banyak tempat di dunia, sampai ketegangan AS dan Iran yang membuat umat manusia di dunia ini gelisah bukan kepalang. Sudahlah, kita ingin hidup damai.

Sampai setiap bangun tidur pagi dan televisi di rumah induk semang kerap kali masih menyala, mengabarkan rudal-rudal yang diluncurkan negara-negara yang sedang bersekutu di dunia. Duh, bagaimana masa depan dunia nanti? Anak-anak kami nanti?

Percakapan di depan tungku perapian di rumah induk semang setiap pagi, sore, dan malam menjelang tidur selalu menyisakan mimpi-mimpi besar yang membuat hati saya bergetar, membuat jiwa saya melayang, bahwa masih ada harapan sampai nanti, sampai mati.

"Ya begini mbak, saya ingin anak saya sekolah agama dulu, kalaupun nanti dia ingin jadi model, penyanyi, atau pun seniman biarkan dia jadi anak yang berakhlak karimah. Punya karakter yang kuat," kata putri induk semang yang sudah beranak satu, bernama Fika. Ia yang mendongengi saya dan Farah perihal cerita turun termurun di Petungkriyono.

Melihat Olive, si kawan Fika yang mengaji kepada kami setiap ba'da maghrib membuat saya punya mimpi besar terhadapnya. Kelugasannya dan kecerdasannya menangkap sesuatu dibanding yang lainnya, hingga kesopanannya dalam bercengkerama dengan kami, membuat saya: Kamu pasti akan jadi seseorang Olive! Entah di Petungkriyono atau di luar sana. Semoga!

Mas Bambang yang begitu baiknya membuat saya banyak-banyak bersyukur, tangan kanannya yang diamputasi karena tersetrum listrik saat membenahi genteng di rumahnya tidak lantas membuatnya berhenti berharap dan berbuat baik. Tidak lantas membuatnya berhenti untuk menyemangati dirinya, bahkan secara tidak sadar, ia pun menyemangati saya. Terimakasih Mas Bambang, sudah jadi salah satu supir keren saya yang membawa kami sampai ke Dieng. Menyisir jalanan Petungkriyono sampai ke Dieng yang melewati jalanan keras batuan sebelum Gumelem.

Dunia ini fana, semua manusia percaya itu. Tapi mimpi tidak boleh fana, sampai nanti sampai mati, seperti kata Letto dalam judul lagunya.


Petungkriyono, 12 Januari 2020

0 komentar