Dua Puluh Empat dan Satu Tahun yang Cepat
Satu tahun berlalu dan usia dua puluh tigaku tidak banyak merasakan ‘matahari’. Tidak seperti dua puluh dua usiaku di tahun dua ribu dua puluh satu.
Dua
puluh tiga usiaku banyak aku habiskan untuk tugas akhir tahun terakhir
perkuliahan, skripsi.
Dua
puluh tiga usiaku aku awali dengan perasaan yang berkecamuk, bergelut di ibu
kota dan penelitian yang terasa lama serta tak kunjung usai.
Satu
tahun yang lalu aku habiskan dengan bermalam di kos-an Tatyana bersama Dhira,
diisi dengan mencicip martabak asin dan manis serta ditemani playlist spotify
Tatyana yang mendeskripsikan banyak tentang Tatyana yang kukenal, lagu-lagu
berdasar bahasa latin dari Perancis, Italia, Spanyol dan lebih banyak lagi yang
tidak kuingat. Yang aku lakukan hanya bertanya beberapa yang
alunannya kusuka dan kuabadikan di spotify dengan judul playlist “memories
at kost an Titok”.
Dua puluh tigaku kemudian
berlanjut dengan 50 hari kuliah kerja yang nggak nyata-nyata amat yang
kusempilkan dengan pergi bermuktamar ke Surakarta dan serangkaian mengurus
seleksi pertukaran pelajar yang kuakali dengan sedemikian rupa. Dua puluh tigaku yang lalu memang diawali
dengan pergulatan hati, emosi, dan batin yang hampir memporak-porandakan aku
tapi pada perjalanannya ternyata Tuhan emang adil. Ia betulan memberikan
babak-babak yang menaik-turun-terbang-terjun-bebas sebagaimana kehidupan seharusnya berputar.
Di sepertiga awal aku perlahan
dipertemukan dengan kejutan-kejutan kecil. Diizinkan mengalami romansa asmara
sebagaimana gadis dan lelaki di usiaku, jungkir balik dengan relasi pertemanan,
dan menghadapi salah satu babak paling menentukan, yaitu mau-nggak-mau harus
jadi sarjana semut. Sebagaimana aspal yang nggak selalu mulus, pasti
berkelok, berlubang dan rusak di beberapa sisi. Nggak ada yang sempurna kan.
Dua
puluh tiga aku jalani dengan lebih berani dan percaya diri menghadapi apa yang
ada di depan mata, tanpa mengecilkan mimpi-mimpi yang sudah dibangun pelan-pelan. Petualanganku
di usia dua puluh tiga sebelum akhirnya dua puluh empat kujemput di hari ini,
disisipi dengan kejutan maha dahsyat dengan kedatangan Lena Sailer. Salah satu
sahabat AFS terbaikku yang mempersiapkan perjalanan ke Indonesia dan kami nanti
lima tahun lamanya.
Dua
minggu kuhabiskan sama Lena menjelajahi Jogja, Malang, Banyuwangi, dan Bali.
Menjejal kota, gunung, laut, dan pedesaan sampai tiada daya untuk berpetualang
lagi kecuali lima bulan setelahnya kuhabiskan rata-rata di depan laptop,
membaca sekian puluh jurnal dan menulis sekian ribu kata untuk skripsi yang
amat kusayangi. Sesekali berpetualang kecil-kecilan dengan seorang lelaki lucu nan rupawan ke banyak sisi ibu kota, sudut tengah dan barat pulau Jawa atau main lempar-lempar pertanyaan konyol sampai serius soal kehidupan.
Aaaaaa
terlampau banyak belum aku tulis di sini, tapi di satu tahun yang cepat ini aku
sedikit sekali membaca buku, jarang bertemu banyak orang, menuntaskan beberapa
hal yang sudah nggak banyak memberikan kenyamanan maupun yang memang aku nyaman
namun karena waktu harus segera kutuntaskan.
Namun
satu hal yang aku syukuri adalah diberi kesempatan menyayangi dan disayangi
dengan hati yang selalu terasa baru dan penuh setiap harinya, dipertemukan dengan
remaja-remaja muda lewat program pertukaran yang menggembirakan, yang memberi
nafas dan pengharapan masa depan yang lebih cerah.
Menjelang
dua puluh empat usiaku, aku jemput dengan petualangan bertemu gajah jinak
Tangkahan, menaiki pesawat hercules, hiruk pikuk Kota Medan yang besar, serentetan
kecerobohan seperti keblabasan kereta sampai Klaten, wisuda sarjana, merakit
puzzle menara eiffel dengan sejuknya Nawang Jagad, dan pulang dengan
sesungguhnya definisi pulang, ke Temanggung yang dinginnya nggak pernah bohong.
Terima
kasih dua puluh tiga serta segenap ha-hal baik yang mengiringi.
Temanggung, 1 September 2023
0 komentar