Dimulai dari kelas Metode Penelitian Etnografi (MPE) di semester empat, sekitar bulan Maret 2021. Dasar kebingungan yang aku pikir patut direnungkan mendalam di mana titik kecil di dunia antropologi yang bisa aku dalami dengan teliti dan setiti. Sampai pada akhirnya secara setengah sadar aku memutuskan buat mengorek-orek isu pengungsi di Indonesia.
Sempat ingin mundur tapi salah seorang admin RDI-UREF bilang, “Abstrak kamu bagus, sayang kalau mundur, nggak papa kalau yang ditampilkan sementara preliminary findings.” Kata-kata ini semakin menguatkan aku untuk setidaknya mencoba meskipun harus latihan berkali-kali speaking karena bahasa Inggrisku yang belepotan setelah sekian lama nggak praktek.
—
Pengalaman singkat konferensi daring sampai bertemu semester enam ini mengantarkan pada kelas Migrasi dan Diaspora yang diampu Mbak Ica selaku dosen antropologi yang disertasinya mengulik kehidupan pengungsi di Jakarta dan Bogor, lalu Mbak Ica dan Mbak Elan berkolaborasi melakukan riset payung yang harus mengajak mahasiswa sebagai asisten peneliti. Kolaborasi ini secara garis besar bernama “Refugee Health Project Indonesia”.
Doa-doa Nabila seperti dikabulkan perlahan setelah pencarian satu tahun lebih, syukur sekaligus sayang seribu sayang mahasiswa yang mendaftar hanyalah aku seorang. Sebab teman-teman terlanjur mengambil KKN Periode II. Dengan segala perenungan dan dialog dengan beberapa teman dekat, aku memantapkan diri untuk terlibat dalam riset payung ini.
Petualangan di Jakarta terlihat menyeramkan sekaligus mendebarkan, pasti juga banyak kejutan!
Riset payung yang berkonteks makro ini menyebabkan aku harus mondar-mandir ke beberapa titik di Jakarta dan Tangerang Selatan. Ini sungguh melelahkan, pasalnya setiap kantor dinas kesehatan yang disinggahi mengharuskan aku datang beberapa kali untuk memastikan urusan birokrasi dan perizinan riset lancar. Di sela itu, pertengahan Agustus Mbak Ica datang ke Jakarta sebelum berangkat ke Amerika Serikat di permulaan September.
Di tengah perjalanan kami selama tiga hari ke banyak titik di Jakarta mulai dari rumah sakit, kementerian, puskesmas, dan lokasi pameran RDI-UREF di Cilandak, sampai rumah salah seorang Refugee Representative dari Sudan di Ciputat, Mbak Ica berpesan beberapa hal.
“Sekarang kan udah turun lapangan beneran Bil bukan latihan lagi, kita harus cari strategi. Ngurus surat begini emang lama dan mungkin berbulan-bulan. Nah sementara itu kamu bisa main ke komunitas-komunitas dulu buat PDKT sama pengungsi.”
Selain itu, selepas wawancara Mbak Ica mengajak refleksi, “Gimana setelah dua hari ini apa yang kamu lihat Bil? Nggak papa namanya juga masih belajar, nanti bisa kamu perdalam lagi kalau S2 atau S3, beda-beda kan perspektifnya kalau dari pihak pengambil kebijakan, NGO, dan mungkin pengungsinya itu sendiri. Tapi kita bisa lihat kalau sebenernya aspirasi pengungsi dan pemerintah mungkin sama; resettlement.”
Perjalanan riset payung ini buat aku mencerna perlahan arena yang nggak hanya hitam putih di lapangan serta mengelola asumsi dari hari ke hari perihal isu kesehatan pengungsi. Nggak jarang aku merasa sangat lelah setelah melakukan wawancara satu kali dalam sehari ditambah dengan perjalanan Tangerang Selatan-Jakarta yang direplika berhari-hari. “Memang gini kalau di Jakarta multisite, kita nggak bisa tinggal, bisanya dilaju setiap hari.”
Aku merasa sangat kecil dan kemudian menyadari kalau field yang aku pelajari selama ini sama sekali bukan arena yang mudah. Merasa rentan dan lemah, butuh keterampilan berteman lintas suku, etnis, dan ras yang baik. Setelah Mbak Ica pulang di akhir Agustus, aku melakukan semuanya seorang diri sampai permulaan Oktober. Tentunya, diselingi beberapa kegiatan organisasi di Jakarta.
—
Pertemuan demi pertemuan dan upaya mendekati beberapa informan ini cukup menguras energi dan waktu. Bertambah kondisi heartbreaking yang seringkali hinggap dan harus dengan sigap aku lupakan sementara ketika harus wawancara. Memberi waktu kesedihan pada porsi dan waktu yang pas, supaya tetap bisa beranjak dan menjalani rutinitas. Sangat sulit, setiap waktu aku bertanya-tanya, 'how could I survive for doing this research while this heartbreaking hits me so hard every second?'.
Pasalnya pekerjaan riset adalah juga pekerjaan mencocokkan waktu, jelas beribu kali berbeda dengan pekerjaan kantoran from eight to five dengan rutinitas yang sama. Tidak jarang aku menangis di kereta, di perjalanan pulang, membayangkan betapa lelahnya kehabisan imajinasi dan strategi wawancara serta merasa ‘apa iya aku mendapatkan data hari ini?’. Banyak momen di mana mungkin aku merasa jadi manusia gagal. Meyakinkan diri untuk tetap bertahan sampai semua ini benar-benar selesai. Beberapa kali penolakan dan dicurigai berbagai macam rupa.
“Thousand people behind you asking the same question, but still, there is no solution, you only write,” kata seorang informan di sebuah kafe kecil ibu kota yang cukup bikin dada sesak dan mempertanyakan diri sendiri.
Sampai kata Caca dari antropologi 2018 mengikis kesendirian seorang Nabila, “It’s okaaayy, every step you’re taking in your research (even if it’s full of waiting) is relevant and will take you to somewhere with more clarity kokk. Kamu keren banget udah sampai di sini dan berani untuk ngambil riset dengan area besar dengan isu yang sensitif, and I bet this topic is very important for you. Fieldworks are lonely and full of waiting.”
“A lil tip is that: find a peer, yang seumuran atau yang lebih tua, yang bisa kamu jadiin tempat untuk vent dan minta nasihat… masih berat, but it gets less lonelies when you know someone understands your position dan bersedia untuk ngedengerin cerita-cerita kamu.”
Terima kasih banyak ya Caca!
Percakapan itu jadi semacam mantra ketika aku menjejali Kalibata City, Bassura City, RSUD Tarakan, puskesmas-puskesmas, pemukiman pengungsi di Kalideres, klinik gigi di Green Lake City, dinas-dinas kesehatan, dan beberapa titik riset lainnya. Riset ini sungguh mengajak aku buat melihat ibukota dari sisi lain, dari ketidakberdayaan dan kerentanan kehidupan pengungsi terkait hak hidup mereka sebagai seorang manusia yang bertahun-tahun menunggu kepastian resettlement di negara tujuan atau third country.
Memetakan banyak informasi dan cerita kesedihan demi kesedihan yang berserakan di kepala dan hati membuat aku untuk belajar memposisikan diri; sebagai seorang manusia, perempuan, dan peneliti. Di sisi lain, nggak jarang pula aku disuguhi dengan kehangatan dan kudapan Afghanistan yang berjejak di lidah dan jiwa. Sungguh melelahkan tapi bikin semakin ketagihan! Meskipun sulit, penuh kesendirian dan ketidakpastian di tengah hiruk pikuk ibu kota, setidaknya ada banyak hal yang meyakinkan seorang Nabila bahwa pencarian dan perjalanan ini akan terus berlanjut sampai kapanpun.
Petualangan di Jakarta kemarin adalah periode yang menumbuhkan, membesarkan, dan meneguhkan jiwa. Semoga setiap kita diberi kekuatan buat terus berjalan dan menemukan. Sampai tulisan ini ditulis, mohon banyak sekali doa dan kasih sayang teman-teman semoga aku kuat jiwa dan raga buat menulis skripsi sampai akhir, ya!
Sleman, 26 November 2022
16.25 WIB
__
a series of pictures: