Nabiloski De Pellegrini

 hati nurani rakyat yang rindu

akan kemerdekaan,

keadilan, dan

kemakmuran

lahir batin

-Usmar Ismail


18 April 2022—Salah satu wishlist tempat yang ingin dikunjungi Nabila sejak Januari tahun ini adalah Dia.lo.gue, sebuah art space yang bertempat di Kemang, Jakarta Selatan. Banyak orang suka tanya, “Kok kamu nemu-nemu aja sih Bil tempat-tempat kayak gitu?”

Ya aku beneran cari dong, haha. Sesederhana menemukan story unik dari seorang teman di instagram, lalu stalking sendiri supaya lebih tau detail tempat sekaligus pameran yang dihelat. Kalau kata Mbak Nadhifah, “Orang-orang suka nanya, kalau kita tau ya karena beneran cari dong, kalau nggak nyari gimana mau tau kan?” 


Aku menyepakati ujaran Mbak Nadhifah karena kami serupa tapi tak sama.

______


Sejak nggak sengaja dipertemukan sama toko lucu Grammars di Cihapit Bandung aku mulai kenal Irama Nusantara dan pameran mendiang Usmar Ismail di Dia.lo.gue ini melemparkan ingatan Nabiladinta ke tipikal musik lama ala Irama Nusantara yang kalau di mahakarya-mahakarya film Usmar Ismail, lagu-lagu juga jadi komponen penting, as ost! Kunjungan buat reward kecil sebelum pulang kampung.


Perjalanan ke Kemang ini juga nggak dilalui dengan naik KRL, aku dan Kak Rama bertolak dari Pamulang ke MRT Lebak Bulus dengan naik motor. Naik MRT yang ketiga kalinya ini dilalui dengan mata yang cukup ngantuk. Seharusnya kami turun di Stasiun Haji Nawi, tapi karena agak ngide sedikit–kami blablas sampai ke Stasiun Setiabudi. Bisa ngadem sebentar dan menikmati kereta (agak) cepat Jakarta. 


Enak juga ya yang tinggalnya dekat di salah satu stasiun MRT dan kerjanya juga demikian, sayangnya kecepatan dan keefisienan ini juga setimpal dengan living cost yang juga mahal.


Dari Stasiun MRT Haji Nawi, lokasi Dia.lo.gue cuma terpaut 3 kilometer. Kalau lagi nggak puasa, mungkin kami nggak mager untuk jalan kaki, hehe. Sayang seribu sayang ini puasa, kami harus hemat energi. 


Dia.lo.gue bergaya klasik sederhana yang nggak neko-neko, dari jalan depan kami masuk ke ruang kotak Dia.lo.gue dan disambut gerai butik Sejauh Mata Memandang di sebelah kiri dan masuk ke depan sedikit lalu ke arah kiri untuk masuk ke area pameran. Sebagai penikmat pameran yang nggak ngerti-ngerti amat soal seni dan kuratorial, aku yang awam ini cukup menikmati ruang yang diracik sedemikian rupa oleh para kurator. Dinding panjang yang menyodorkan linimasa kehidupan Usmar Ismail disertai ilustrasi yang sederhana sama sekali bikin aku nggak bosen untuk baca pelan-pelan. Bahkan genap dibumbui perjumpaan dan pernikahan Usmar Ismail dengan sang pujaan hati, Sonya Hermien Sanawi.


Belum lagi segenap kompilasi kata-kata yang meskipun dikeluarkan puluhan tahun lalu tapi masih terasa relevan. 


Meja kaca panjang di tengah yang memuat arsip catatan film-film yang disutradarai Usmar Ismail disertai poster-poster kuno dan foto-foto lawas kehidupan mendiang aku sisir dan tatap satu persatu. Ciamik! Film-film inovatif dan di luar batas yang diracik Mbak Usmar ini bikin aku begidik ngeri dan kepingin sekali nonton Tiga Dara, atau minimal Ini Kisah Tiga Dara yang di-remake Nia Dinata.


Yang bikin pameran ini semakin HORE adalah sejuknya ruangan diiringi backsound ost film Usmar Ismail yang di-aransemen ulang oleh Deredia, Alsant Nababan, Danilla Riyadi, Aimee Saras, Monita Tahalea, dan segenap penyanyi lain. Kami juga bisa sekilas mencicip dengar kompilasi potongan-potongan film Usmar Ismail di salah satu sudut pameran di ruang persegi panjang kecil.


Menyimak anak-anak dan keponakannya menceritakan mendiang Usmar Ismail yang sangat amat berkemajuan pada masanya. 


___


Selain art space yang rindang dan teduh baik di tengah hiruk pikuk Jakarta yang pepat dan padat, Dia.lo.gue bisa menghadirkan ‘ruang’ yang bisa bikin bernafas, bahkan dialog riang di halaman luar, di bawah pohon besar, lebat, dan rindang.


Berkat pameran Usmar Ismail aku jadi merogoh spotify dan iseng-iseng dengerin aransemen ost film Tiga Dara yang tayang di tahun 1957, lagunya asik, renyah, dan bikin gembira! Maka, nggak salah kalau lagu pujaanku jatuh ke “Lagu Gembira”! Boleh coba dengerin, ya.


Satu hari padat dan bermakna ini disisipi buka bersama bareng 5/18 la squadra italiana dan ditutup dengan MRT di malam hari yang sebenernya bikin betah lama-lama cuma sayangnya kami naik kereta terakhir, yang kalau nekat muter sampai Setiabudi lagi minimal, tamat riwayatnya buat balik Temanggung keesokan harinya. Anyway, thankyou everyone. Would love to visit or to only sit in Dia.lo.gue one day (again).


Yogyakarta-Magelang, 27 April 2022

22.34


----bonus arsip foto ciamik--- 

                                                  




















14-15 April 2022—Salah satu resolusi Ramadan tahun ini adalah berbuka dengan sebanyak-banyaknya orang tapi bukan "buka bersama" seperti biasanya, melainkan dalam kuantitas yang lebih sedikit. Kepergianku ke Tangerang Selatan juga bukan tanpa sebab, aku mengagendakan kesini sebab ada tanggungan tugas mini riset etnografi dari kelas Praktik Penelitian Etnografi. 


Tugas yang mungkin abstrak bagi khalayak di luar masyarakat antropologi, bahkan bagi Shintya sewaktu aku minta izin datang dan wawancara orang tuanya yang tinggal di Pondok Melati, Bekasi. “Abstrak banget Bil tugasmu, itu nggak pernah ada di FK,” katanya keheranan.


Sembari menunggu kedua orang tua Shintya pulang dari roadtrip ke Sumatera akhirnya di minggu kedua April Shintya kasih kabar, “Nabb mama papaku udah di rumah yaaww,” chat Shintya di hari kepergianku ke Bogor. Maka, aku memutuskan buat berkunjung ke rumah Shintya di hari Kamis ke Jum’at. Tante Lestarie yang murah hati serta baik sekali bahkan membolehkan buat menginap di rumahnya.


Setelah cukup kebingungan cari cara ke Bekasi–yang cukup jauh dari stasiun, akhirnya aku disaranin Kak Rama buat naik transjakarta dari Tip Top Ciputat lalu berganti di feeder busway Pondok Pinang. Tapi akibat terlambat, aku dibantu Bang Anceng dan seorang Bapak supir busway nebeng ke halte koneksi Selapa, sebelum Pondok Pinang, “Pilih yang 7A pokoknya inget 7A, ya!” kata mereka cukup menghimbau. Walhasil aku menjejali Jakarta dari Ciputat ke Terminal Kampung Rambutan dengan kepadatan jalanan Jakarta yang ramai.

____


Sesampainya di Kampung Rambutan dan menggojek ke rumah Shintya aku disambut hangat Tante Lestarie dan dipersilakan istirahat di kamar Shintya, “Istirahat dulu Nabila, di sini cepat kerasa capek,” kata Om Yashinto. Segar bugar setelah istirahat satu jam, aku dan Tante Lestarie mengobrol kesana kemari di ruang tamu. Soal perjalanan road trip-nya yang dinikmati hampir sebulan. Sampai nggak kerasa kalau udah adzan maghrib, kebetulan Tante Lestarie lagi nggak puasa, “Maaf ya Nabila tante lagi nggak puasa sekarang,” eh nggak papa kataku, walaupun demikian Tante menyiapkan buka puasaku dengan sangat hangat.


“Itu dimakan dulu jenang biji salak sama tante bikin teh panas,” kata Tante Lestarie.


Obrolanku sampai betulan nggak kerasa, terjeda sebentar karena makan malam sate dan tongseng kesukaan Om Yashinto. Bahkan makan malam kami juga tetep ngobrol, pindah ke ruang makan. Orang tua Shintya memang luar biasa hebat, bahkan tante tetap menjalankan puasa walaupun sendirian. Sampai kami berdua baru selesai ngobrol menjelang tengah malam, aku sempat nulis data harian dulu sebelum tidur. Tiba-tiba di luar ramai, ternyata sepupu Shintya dateng selepas merayakan ulang tahun salah satu sepupunya.


Niat hati aku udah pasang alarm, ternyata tante bangunin sahur aku lebih dulu dan aku dimasakin telur dadar yang padat, panas, renyah, dan enak! Makasih tante! Padahal tante lagi nggak puasa.


Uniknya, keesokan harinya aku nggak engeh kalau ada tanggal merah Jum’at Agung. Siang bolong sekitar jam 13, aku denger khutbah–kupikir ini khutbah salat Jum’at kok nggak kelar-kelar, ternyata Om Yashinto lagi khusyuk khidmat berdoa sembari dengerin khutbah Jum’at Agung dari televisi. Sedangkan tante duduk nunggu di kursi. What a peaceful day at Shintya’s house and how lucky I am! Sayangnya Shintya masih di Malang.


Rasanya Ramadanku lebih berwarna, sebelum pulang di sore hari ponakan tante, kakak, dan kedua cucunya dateng ke rumah buat buka puasa bareng. Terima kasih banyak Shintya, aku bisa ketemu dua keluarga besar kamu secara nggak sengaja di kunjungan yang super duper singkat dua hari kurang. 


Sore itu aku bergegas ke Bintara Jaya, ke rumah Mbak Ifa dan Mas Dede serta nengok ponakan ideologis si cantik Bia! Menjejali Bekasi yang padat serta panas nggak karuan padahal udah sore. Apesnya lagi harus keliling komplek beberapa kali karena titik maps yang salah, aduh Bapak gojek huhu. Dari Mbak Ifa dan Mas Dede kami recap sedikit beberapa hal dan aku yang curhat soal betapa melelahkannya di lembaga media PP IPM, rasanya kepingin kalau seniornya di PP IPM mereka lagi.


Si Bia kecil tidur cepat, aku dan Mas Dede salat tarawih di RS Pondok Kopi. Well, sebenernya itu PKU cuma kalau di Jakarta beda nama hehe. Sedikit recap perjalanan tiga hari di Bekasi ini cukup jadi cerita yang unik dan pastinya unforgettable moment di Ramadan kali ini. Sedikit menjauh dari keramaian dan hiruk pikuk bukber yang ramai sekali dan sedikit melompat kesana kemari buat bertemu, ngobrol, dan reconnecting lives!


Temanggung, 22 April 2022 21.54 WIB


11-13 April 2022—Ketiba-tibaanku ke Bogor seminggu lalu bukan tanpa alasan, diminta dengan sangat mendadak di tengah malam yang disertai ngantuk oleh telpon dari Kang Hilal, baginda Sekjend PP IPM–yang nyebelinnya setengah mati, tapi harus aku akui kalau sebagai seorang teman Kang Hilal ini adalah sosok yang lain.

“Hah Senin ini banget? Hari ini banget? Mager banget ke Bogor sendirian….” rajukku ke Kang Hilal.

“Nah gimana kalau sembari kamu nunggu kabar Bekasi ke Bogor sampai Rabu?”

Ajakan ini sungguh bikin kaget, tapi aku coba terima dengan cukup lapang dada. Pergi ke Bogor sendirian bukan masalah sebenernya dengan riwayat seorang Nabila yang juga sering tiba-tiba pindah kesana kemari dadakan dan super cepat. Membayangkan berjam-jam di KRL dan berpindah naik gojek beberapa kali jadi bayangan yang agak menyebalkan di pikiranku.

Malam itu juga aku cari tau beberapa rute dan cara ke Bogor via KRL.

___


Aku beranjak ke Bogor di siang yang mendung dan berujung tertimpa basah air hujan menuju Stasiun Sudimara. Transit dan harus berganti stasiun adalah sesuatu yang sebenernya aku hindari dengan sangat, kecuali perjalanannya nggak sendiri. Kata seorang ibu-ibu aku naik kereta yang berujung di Stasiun Nambo, setelah kucek aku bisa turun di Stasiun Cibinong. Apesnya, siang menuju sore adalah jam-jam yang padat. Akibatnya, aku nggak kebagian kursi sama sekali. Baru bisa duduk sewaktu hampir sampai di Stasiun Depok.


Stasiun Cibinong yang kecil dan cukup ramai serta harus antre panjang buat keluar semakin bikin aku cukup malas karena selain sesak, hujan gerimis nan awet turun. Kemalasan tersebut bikin aku memilih pesan gocar buat menembus kurang lebih 10 kilometer sampai di Bigland Sentul Hotel. Biasanya aku cukup semangat menjejali kota baru, apalagi daerah Jawa Barat yang hampir luput dari kamus perjalanan Nabila.


Seenggaknya aku bisa membayangkan hal manis seperti tidur di kasur empuk hotel dan makan sahur serta berbuka dengan beragam pilihan makanan hotel. Ini cukup menenangkan di tengah beberapa hal yang masih kacau di pikiran.


Bigland Sentul, sore hari.


Ternyata beberapa acara kementerian bersamaan di sini, salah duanya Kemenag dan Kemendikbud. Jadilah hotel cukup ramai dan restoran di lantai bawah mulai sesak orang-orang kebingungan cari tempat duduk. Rebahan dan tiduran dulu adalah pilihan yang cukup pas. Roomate aku dateng beberapa saat kemudian, Teh Nunu! Dari IPPNU. Nampaknya kami berdua juga jadi peserta termuda. Kami berkenalan lalu beranjak ke bawah, kebingungan memilih menu buka puasa mana yang bakal disantap.


Dua Ramadan terakhir ini aku cukup pemilih dan belajar merasa cukup untuk makan di buka puasa. Jadi aku ambil cukup sedikit tapi beragam dan tanpa melupakan menu buah. Kami berdua satu meja sama jajaran bapak-bapak kemenag yang terlihat cukup lahap makan. Ada lagi seorang Bapak yang menyempatkan vidcall sama putrinya, sesederhana berbagi, "Ayah buka pakai apa?"


______


Acara di Kemenag ini rasanya cukup memaksa dibuat tiga hari. Seharusnya bisa dibuat satu hari, tapi ya namanya kementerian. Pembukaan yang cuma sebentar di malam hari bikin aku bergegas tidur, sahur tetap di bawah. Setelah salat subuh, demi naik ke rooftop lantai 7 aku sengaja nahan ngantuk. Bagi aku momen bisa menikmati pagi itu sebuah pilihan sulit antara melawan kantuk dan disambut pemandangan yang unexpected! 


Ternyata masih ditutup, setelah membujuk resepsionis akhirnya pintu bisa dibuka sebelum jam enam. Yang ada hanya pemandangan perbukitan padat merayap perumahan di bawahnya dan jalan tol yang super panjang dan riuh ramai kendaraan pagi, baik motor maupun truk dan bus-bus besar. Syukurnya, gradasi dan garis langit yang bercampur asap, warna ungu, oren, dan biru sedikit jadi hidangan mata yang cukup melegakan. Meskipun kami terlewat sedikit waktu pas sunrise.


Seharian kami menikmati materi-materi dari bapak sampai yang muda-mudi perihal sosial media, digital, dan seperintilan yang sebenernya sudah sering aku dengar di banyak forum lain. Beragamnya OKP yang didominasi orang-orang yang lebih tua dari aku (agak jauh) jadi bikin aku bertahan dengan sekuat tenaga menahan mata ngantuk. 


Malam ditutup dengan penutupan yang sangat cepat (?) Bukannya harusnya selesai besoknya (?) Ya beginilah kami yang datang cukup menandatangani beberapa administrasi dan bersiap check out di hari ketiga. Membayangkan pulang dengan panas yang terik bikin aku semakin pingin leha-leha dulu serta mencicil satu tanggungan UTS di hari Rabu dari kelas Mas Made.


Glad to know kalau aku salah pilih stasiun, Stasiun Cibinong baru datang keretanya sejam kemudian yang terpaksa aku harus menuju rumah Kak Abid buat bukber sendirian dan Kak Fatiha berangkat lebih dulu. Nebeng kereta menuju Nambo lebih dulu daripada nunggu panas-panas di Stasiun Cibinong. Dua jam, bukan maen. 


Ashar baru sampai di rumah Kak Abid. Sampai larut malam aku habiskan di rumah Kak Abid bareng teman-teman IPM dan Shahia si kecil yang manis sekali.


Terima kasih, lantai lima Sentul! Juga Kang Hilal, teman sekaligus Sekjend IPM tercinta yang cukup ngeselin tapi mau gimanapun juga tetep jadi teman Nabila dari 2015.


Temanggung, 20-22 April 2022

10.05 WIB

“Besok aku mau ndaki ke bukit yang di Sembalun,” sahut Nabhan Mudrik di Sabtu sore (26/03).

“Hah kapan? Mau ikut!!!” 

Ajakan pendakian adalah sebuah ajakan yang nggak mungkin aku tolak, sekalipun aku bakal jadi perempuan seorang diri di tengah lingkaran teman-teman laki-laki. Kalau gunung mungkin aku masih mikir beberapa kali karena butuh sekian hari untuk persiapan supaya nggak sok tahu sama diri sendiri dan menantang alam seenaknya, haha.

Tapi beda cerita kalau bukit, bahkan sekalipun itu harus besok atau malam itu berangkat nggak ada kata lain selain “GAS!”

***

Ide Nabhan Mudrik ini harus diakui kalau betulan gila. Pasalnya setelah terkuras energi dan pikiran dengan jam tidur yang berantakan selama 8 hari PKPTMU IPM bisa dibilang ini cukup nekat. Belum lagi di hari terakhir, kita serombongan besar plesir ke beberapa tempat dari pagi sampai jam 8 malam.

Di sehari sebelum keberangkatan, aku masih jadi kandidat perempuan seorang diri setelah Mardiana membatalkan. Ternyata di beberapa jam sebelum keberangkatan, Mbak Ahimsa memutuskan gabung lengkap dengan Yasir dan Mas Mumtaz. Jadi kita kontingen DIY menyepakati ide gila Nabhan, Bang Haris jadi komandan pemandu jalan (well, he’s warlok wkwk). Pasukan lain yang kok bisa juga oke-oke aja adalah; Kak Rama, Azmi, Bang Syahid, dan Imam Wahyudi.

Sebenernya aku cukup ragu karena malam sebelumnya aku lembur UTS Etnografi Asia Barat sampai subuh, tidur nggak cukup, pagi rapat tim penelitian, dan langsung ikut rombongan plesir. Maka, aku coba mencuri-curi waktu tidur di perjalanan menuju Sembalun.

GEMERLAP BINTANG SEMBALUN

Jam 11 malam kita berangkat, mampir Anyelir untuk sedikit makan kudapan buat amunisi sebelum mendaki. Setelah itu aku nggak tau lagi kabar imajinasiku melayang di alam tidur. Ternyata kira-kira jam 2 dini hari, di tengah jalan berkelok dan naik turun disertai Mas Nabhan yang salah kopling memicu Mbak Ahimsa beradu sama perutnya. Sontak kita semua kaget dan berhenti dulu.

credit to Nabhan Mudrik

credit to Mukhtara Rama

Memberikan jeda nafas sementara ke Mbak Ahimsa. Aku cukup khawatir kalau Mbak Ahimsa akan nggak kuat tapi ada kalimat Mas Nabhan yang bikin apapun yang terjadi di perjalanan ini jadi sebuah kerelaan, “Nggak papa Ahimsa. Nanti liat kondisi kalau misal nggak kuat yasudah diikhlaskan,” aku yang sebenernya khawatir dan syukurnya sedia fresh care dan minyak kayu putih bisa sedikit membantu menghangatkan amukan perut Mbak Ahimsa. 

Angin malam Sembalun yang cukup menusuk dan membangunkan di tengah serbuan kantuk yang nggak karuan ternyata beri jeda yang cukup bikin syukur setengah mati, bintang di atas pemberhentian kita luar biasa terang dan berkilau! Gawai Mas Nabhan dan Kak Rama berhasil mengabadikan langit epik Sembalun, it was just wow bro! Thankyou! 

TITIK NOL MENUJU SERIBU

Sesampainya di titik awal yang mungkin nggak bisa dibilang basecamp karena tepat berada di tengah ladang atau persawahan petani, kita semua bersiap. Masih di bawah, pemandangan deretan pegunungan Rinjani di Sembalun memang nggak kaleng-kaleng. Jadi sedih kalau masih suka menyia-nyiakan pagi huhu. Di persiapan yang apa adanya, aku pakai sepatu ukura 40 lebih milik Bang Haris :) dengan celana coklat favorit dan baju hitam lapangan antro yang biasa aku pakai kalau melakukan aktivitas olahraga. 

Kita yang serba apa adanya ini berdoa melingkar dan menghitung waktu perjalanan.

Mulanya aku di tiga terakhir, tapi ternyata aku nggak cukup kuat mindset, pindah ke ketiga di depan, di belakang Yasir dan Bang Haris. Di perjalanan naik, aku menerapkan resep-resep kawan se-perpendakian sebelumnya, “Jalannya zig zag Bil biar enak.” Aku juga lebih banyak diam karena bicara bisa mengeluarkan nafas yang bikin kerasa energi makin habis. Belum lagi harus sedikit tahan nafas kalau ketemu ranjau alias tai kerbau yang berseliweran di sepanjang perjalanan.

Di tengah perjalanan, Azmi nggak berhenti video-call-an haha, bisa-bisanya sementara aku memilih diam dan fokus jalan. Bahkan dia sembari ngerokok, sewaktu dia nyalain lagu Pamungkas aku bilang, “Azmi tolong matiin aja bisa nggak? Aku jadi pusing,” kataku ke Azmi. Jujur, suara ini betulan nge-distrak fokusku mendaki karena aku cukup tau diri dengan keterbatasan kaki dan energiku. Awalnya Yasir sering kasih notifikasi kita udah berada di berapa ribu kaki tapi Mas Nabhan bilang cukup nggak usah dihitungin.

credit to Nabhan Mudrik
Dari atas, di sela jeda istirahat aku masih nggak nyangka liat hamparan Rinjani dan sekitarnya disertai bintang yang terang benderang, di langit sebelah timur tepat di bintang paling terang katanya itu planet Venus! Dengan adanya sinyal yang oke, aku coba unduh aplikasi stellarium buat liat posisi rasi dan bintang dari gawai. Pertama kali aku pakai setahun lalu waktu climbing di pinggir Pantai Siung dua hari.

This is a magic! Why are you so pretty, sky? 

“Eh itu di arah matahari terbit laut bukan sih?” kata Mbak Ahimsa

“Nah iya makanya yuk bisa sampai atas pas sunrise biar kita bisa liat,” balas Mas Nabhan.

Aku yang tetap berdoa bisa sampai atas tepat waktu tapi juga tetap nggak memaksakan diri. Kalau lelah ya harus rehat, tarik nafas. Respon Bang Haris setiap kita tanya kurang berapa jauh, untungnya jawaban dia nggak pernah bikin aku berekspektasi tinggi bahwa “kurang sebentar lagi” yang kadang sering di-prank bukit atau gundukan-gundukan di rute naik. 

Sekitar jam 05.30 WITA yang mana belum seterang di area WIB kalau mau coba dibandingkan, kita sampai tepat waktu sunrise! Belum lama setelah adzan subuh. Dengan alas kain Bali yang aku bawa kita salat bergantian menghadap ke lautan awan di sisi barat. I just couldn’t be more grateful…. 

Bentangan pemandangan di H-1 Ramadan ini jadi ide gila yang bisa dicapai dengan 10 orang-orang gila IPM dari Temanggung, Lampung, Banten, Palembang, Jogja, Lombok, dan Kalimantan Timur. Di tengah kegilaan ini juga ada kebodohan terselubung, kita bawa kompor tapi lupa bawa nesting. Kedua, waktu belanja di indomaret semalam, bisa-bisanya aku pilih pop mie yang super duper hot. Untungnya Imam dan Kak Rama mau berbaik hati dan sukarela ambil jatah pop mie pedas. Semoga perut kalian nggak bereaksi di jalan turun, doaku diam-diam. 

pose tiduran & berantakan, credit to Nabhan Mudrik

credit to Mukhtara Rama

Beruntungnya, ada rombongan lain yang bisa kita pinjam sebentar nestingnya untuk masak air. Kata mereka, 2,5 jam termasuk cepat sekali buat sampai atas, biasanya mereka lebih santai dengan waktu pendakian 3-4 jam. This is a second WOW! Mataku nggak bisa bohong, aku sempatnya tidur di tanah sembari berjemur matahari, walaupun ya tetap dinginnya menusuk. Bangun-bangun justru kepanasan diterpa terik yang semakin terang.


Sebuah keisengan yang hakiki di sela dongengan Mas Nabhan kalau Rinjani sebenernya jauh lebih raksasa dari yang sekarang akibat letusan paling dahsyat 10 ribu tahun terakhir, aku menghitung ada berapa kubah masjid–emang betulan istimewa Lombok ini betul-betul representasi 1000 masjid. Bahkan lebih kalau data statistiknya, menurut fakta dari mulut Bang Haris. 

*** 

Di jam 8 lebih kita memutuskan untuk turun dengan pikiran yang cukup mager karena “perjalanan turun membutuhkan berkali lipat kesabaran daripada sewaktu naik”–sepatu Bang Haris yang aku pakai cukup licin sampai beberapa kali tergelincir untung nggak sampai nggelinding. Jalan juga licin karena didominasi tanah dan malam sempat hujan, rasanya perjalanan turun lebih lama karena hampir tiga jam. Ternyata rombongan selain Mas Nabhan, Imam, dan Yasir memilih jalur yang lebih panjang di salah satu persimpangan.

Well, perjalanan turun juga lebih kerasa gerah karena pagi menjelang siang. Serunya, bisa lihat lebih detail pergantian vegetasi di perbukitan–minim pohon sampai padat tumbuhan dan semak belukar yang bikin hawa lebih meneduhkan. Naasnya, kurang dari satu kilometer sebelum sampai di mobil dan menyeberang sungai, hujan turun dan bikin kita basah kuyup. Perubahan cuaca yang ekstrem ini bikin aku cukup berkata amin tapi kadang juga nggak ingin, hahaha. 

Kita berteduh di Sembalun serta nggak lupa bersih diri dan makan siang, lalu menyisir utara Lombok yang diterpa matahari terik nan cukup panas. Sebelum ke Mataram, di sore hari kita mampir area Pantai Senggigi yang ada konservasi penyu. Aroma ikan bakar mengundang kita buat menyantap ikan bakar! Meskipun harus diakui memoriku soal makan ikan bakar cukup hilang karena kepusinganku akibat hape yang tiba-tiba mati disertai kebuntuan beruntut mengurus deadline submission serta dibumbui drama lupa minta letter of enrollment dari fakultas.  

Untung ada Mbak Ahimsa, sesama anak FIB yang punya kontak-kontak karyawan dekanat FIB UGM. Waktu itu aku rasanya mau menyerah dan berpasrah tapi Mbak Ahimsa dan Kak Rama masih semangat membantu dan jauh lebih optimis ketimbang aku yang bilang, “Yaudahlah kalau memang bukan takdirnya,” lalu dibalas oleh mereka, “Kalau takdirnya gimana?”

Kalimat ini bikin aku charged sedikit, kabar fakultas yang nggak kunjung pasti bikin aku cukup frustasi, tapi ajaibnya tiba-tiba Mbak Ahimsa bilang dan mendekat ke bibir pantai, “Bil you know what Bapaknya balas pakai apa?” Ternyata suratnya betulan dikirim via whatsApp di waktu mepet kantor tutup:) terima kasih Pak Wakhid, mau sungkem ribuan kali huhu. Hari itu cukup roller coaster tapi jadi sebuah pelajaran; ada sesuatu di luar kendali kita, maka cukup nikmati dengan lapang dada meskipun sulitnya setengah mati.

Pamulang-Bekasi, 12-15 April 2022
13.52 WIB

27 Maret 2022—Hari-hari awal di Taruna Melati Utama (TMU) IPM terasa agak melelahkan, setelah sekian lama nggak mengikuti pelatihan luring aku cukup kehabisan energi. Setelah dipikir aku cukup kuat berada di sebuah ruang pelatihan 15-25 orang. Lebih dari itu aku merasa cukup ngos-ngosan untuk berkenalan dan ngobrol dengan banyak orang, terlebih lagi TMU berjumlah 36 peserta.
Dua hari awal juga terasa cukup berat karena aku nggak dapat amunisi minum kopi hitam. Sialnya, adanya cuma kopi kapal api yang jelas auto tertolak masuk ke perutku. Mulut, tenggorokan, dan perutku cukup sensitif sama minuman sachet yang beredar di mana-mana. 
Maka, ada sebuah ide muncul dari Kak Rama buat go-food kopi atau sekedar keluar sebentar beli kopi. Beruntungnya di hari keempat alias hari Minggu Mas Jundul mengumumkan kalau kita punya free time sampai materi setelah Isya’. Aku yang sayang banget kalau menghabiskan siang dengan tidur, memutuskan untuk keluar dari siang sementara yang lain istirahat. Kebetulan selaras dengan ide ngopi. 
Kita berdua sepakat di dekat gerbang depan kalau pergi ke Kota Tua Kopi di Ampenan agaknya bakal jadi pilihan yang pas. Imajinasiku sekaligus menunggu matahari lebih bersahabat buat jalan kaki sore di pesisir Ampenan. Maka, kami nge-go car ke Ampenan yang berjarak 4-5 kilometer dari lokasi TMU. 
Kopi Kota Tua yang bergaya arsitektur kuno ini terbagi jadi dua sisi, kita pilih masuk dan duduk di bagian utama ber-AC. Aku pilih long black coffee, sedangkan Kak Rama pilih signature dari kedai kopinya yang rasanya espresso manual bercampur mint. Sialnya dari kita nggak ada yang ingat nama kopinya huhu. Buat cemilan, kita beli nugget tapi jamur crispy tetap kepesen karena si mbak baristanya salah input.
Di sela menunggu sore, percakapan soal TMU dan beragam lika-likunya banyak muncul sekaligus sedikit kebingungan rencana-rencana menghabiskan waktu setelah TMU selesai.  
“Eh udah agak reda panasnya, yuk keluar jalan kaki,” kataku.

Sore Hari Menyisir Ampenan

Menyisir Ampenan yang lengang dan sepi di jalan utama yang cukup luas ditemenin gaya bangunan kuno yang bercat cerah warna-warni nggak menghilangkan suasana tuanya. “Sepi banget ya Ampenan,” kalimat ini terbantahkan sewaktu kita semakin dekat ke area pantai. Wow rame banget!
Bau asap bakaran serta penjual cilok yang berjajar sungguh nggak bikin aku kepingin beli apa-apa karena kenyang ngemil di Kopi Tua. Bahkan tawaran Kak Rama beli cilok aku tolak dengan, “Kak Rama aja deh aku kenyang.” Akhirnya nggak jadi. Ramainya pusat jajanan bikin aku pingin menyisir ke sebelah kanan menuju bangunan PLN dan berlanjut deretan kapal-kapal perahu nelayan warna putih. Berpadu sama langit dan gumpalan awan putih yang cerah.  
Matahari di laut juga cukup terik menerpa wajah yang siap-siap tenggelam.
Di sela bersantai ria dan sedikit foto-foto beri aku ruang buat bernafas lebih lega dan diam beberapa saat. Lepas dan bebas. Nggak tau kenapa ide random kalau jalan juga suka tiba-tiba random datang. Makan sate bulayak! Setelah googling kita memutuskan buat jalan kaki ke sate bulayak di Ampenan, menyisir perkampungan yang cukup ramai penduduk dan bangunan-bangun yang pendek. 
Lagi-lagi aku merasa cukup beruntung karena ketemu dinding bermurah tepat di bagian sudutnya untuk sekedar berfoto sebentar. Hal lain yang bikin makin unik adalah tanda nama jalan yang mengkolaborasikan tiga nama, nama latin, arab, dan aksara Lombok atau mungkin Sasak (?) Jalanan kampung yang bukan pusat suatu tempat justru lebih aku gemari karena bertegur sapa langsung sama warga lokal. Naasnya sampai di jalanan besar kita di-prank google. Nggak ada sate bulayak sama sekali, setelah pikir ulang. Kami memutuskan ke daerah Udaya di waktu langit yang semakin redup dan jalan yang macet.
Bertemu gocar di perempatan kecil dan luas di tengah. Kita berdua nggak berekspektasi tinggi karena cukup ngerasain bulayak aja udah seneng walaupun mungkin bukan yang terenak. Ternyata bener, yang enak ada di daerah cakranegara. Jalan siang-sore-malam ditutup dengan sate bulayak yang mungkin dan sekali lahap di mulut. Aku cukup ngantuk di perjalanan pulang.
I thank you for having such a one fine day without putting this agenda to my bucket-list in Lombok. Moreover amids the crowded schedule during TMU. And ya, thank you Kak Rama!
Pamulang, 10 April 2022
12.51 WIB


                       

                    

                    

                               


                      























Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

Cari Blog Ini

POPULAR POSTS

  • Hari-Hari di Pamulang (3)
  • 2024: a magic of ordinary days
  • Tentang Bisa Punya Waktu Tanpa Libur
  • pagi yang aneh

Categories

AFS Italy 2017-2018 Self Talk Hijrah Malaysia Ramadhan di Italia
Diberdayakan oleh Blogger.

Blog Archive

  • April 2025 (1)
  • Desember 2024 (1)
  • Juni 2024 (5)
  • Januari 2024 (1)
  • Desember 2023 (1)
  • September 2023 (1)
  • Agustus 2023 (3)
  • Februari 2023 (1)
  • Januari 2023 (1)
  • Desember 2022 (1)
  • November 2022 (1)
  • September 2022 (1)
  • Agustus 2022 (3)
  • Mei 2022 (3)
  • April 2022 (10)
  • Februari 2022 (1)
  • Desember 2021 (2)
  • November 2021 (1)
  • Oktober 2021 (2)
  • September 2021 (1)
  • Agustus 2021 (2)
  • Juli 2021 (3)
  • Juni 2021 (2)
  • Mei 2021 (1)
  • April 2021 (2)
  • Januari 2021 (2)
  • Desember 2020 (2)
  • November 2020 (1)
  • Oktober 2020 (11)
  • September 2020 (1)
  • Agustus 2020 (2)
  • Juli 2020 (2)
  • Juni 2020 (1)
  • Mei 2020 (19)
  • April 2020 (7)
  • Maret 2020 (2)
  • Januari 2020 (1)
  • Oktober 2019 (1)
  • September 2019 (1)
  • Agustus 2019 (1)
  • Juli 2019 (1)
  • Mei 2019 (1)
  • Maret 2019 (1)
  • Februari 2019 (2)
  • Januari 2019 (1)
  • November 2018 (1)
  • Agustus 2018 (1)
  • Mei 2018 (2)
  • April 2018 (4)
  • Maret 2018 (4)
  • Februari 2018 (5)
  • Januari 2018 (7)
  • Desember 2017 (9)
  • November 2017 (6)
  • Oktober 2017 (6)
  • September 2017 (7)
  • Agustus 2017 (2)
  • Juni 2017 (12)
  • Mei 2017 (11)
  • April 2017 (6)
  • Maret 2017 (3)
  • Februari 2017 (4)
  • Januari 2017 (2)
  • Desember 2016 (5)
  • November 2016 (6)
  • Oktober 2016 (6)
  • September 2016 (5)
  • Agustus 2016 (1)
  • Juli 2016 (1)
  • Juni 2016 (6)
  • April 2016 (2)
  • Februari 2016 (1)
  • Januari 2016 (2)
  • Desember 2015 (1)
  • November 2015 (3)
  • Agustus 2015 (1)
  • Juli 2015 (1)
  • Juni 2015 (4)
  • Mei 2015 (1)
  • April 2015 (2)
  • Februari 2015 (6)
  • Januari 2015 (3)
  • Desember 2014 (4)
  • November 2014 (14)
  • Oktober 2014 (2)
  • Agustus 2014 (3)
  • Juni 2014 (12)

Designed By OddThemes | Distributed By Blogger Templates