“Besok aku mau ndaki ke bukit yang di Sembalun,” sahut Nabhan Mudrik di Sabtu sore (26/03).“Hah kapan? Mau ikut!!!”
Ajakan pendakian adalah sebuah ajakan yang nggak mungkin aku tolak, sekalipun aku bakal jadi perempuan seorang diri di tengah lingkaran teman-teman laki-laki. Kalau gunung mungkin aku masih mikir beberapa kali karena butuh sekian hari untuk persiapan supaya nggak sok tahu sama diri sendiri dan menantang alam seenaknya, haha.
Tapi beda cerita kalau bukit, bahkan sekalipun itu harus besok atau malam itu berangkat nggak ada kata lain selain “GAS!”
***
Ide Nabhan Mudrik ini harus diakui kalau betulan gila. Pasalnya setelah terkuras energi dan pikiran dengan jam tidur yang berantakan selama 8 hari PKPTMU IPM bisa dibilang ini cukup nekat. Belum lagi di hari terakhir, kita serombongan besar plesir ke beberapa tempat dari pagi sampai jam 8 malam.
Di sehari sebelum keberangkatan, aku masih jadi kandidat perempuan seorang diri setelah Mardiana membatalkan. Ternyata di beberapa jam sebelum keberangkatan, Mbak Ahimsa memutuskan gabung lengkap dengan Yasir dan Mas Mumtaz. Jadi kita kontingen DIY menyepakati ide gila Nabhan, Bang Haris jadi komandan pemandu jalan (well, he’s warlok wkwk). Pasukan lain yang kok bisa juga oke-oke aja adalah; Kak Rama, Azmi, Bang Syahid, dan Imam Wahyudi.
Sebenernya aku cukup ragu karena malam sebelumnya aku lembur UTS Etnografi Asia Barat sampai subuh, tidur nggak cukup, pagi rapat tim penelitian, dan langsung ikut rombongan plesir. Maka, aku coba mencuri-curi waktu tidur di perjalanan menuju Sembalun.
GEMERLAP BINTANG SEMBALUN
Jam 11 malam kita berangkat, mampir Anyelir untuk sedikit makan kudapan buat amunisi sebelum mendaki. Setelah itu aku nggak tau lagi kabar imajinasiku melayang di alam tidur. Ternyata kira-kira jam 2 dini hari, di tengah jalan berkelok dan naik turun disertai Mas Nabhan yang salah kopling memicu Mbak Ahimsa beradu sama perutnya. Sontak kita semua kaget dan berhenti dulu.
|
credit to Nabhan Mudrik |
|
credit to Mukhtara Rama |
Memberikan jeda nafas sementara ke Mbak Ahimsa. Aku cukup khawatir kalau Mbak Ahimsa akan nggak kuat tapi ada kalimat Mas Nabhan yang bikin apapun yang terjadi di perjalanan ini jadi sebuah kerelaan, “Nggak papa Ahimsa. Nanti liat kondisi kalau misal nggak kuat yasudah diikhlaskan,” aku yang sebenernya khawatir dan syukurnya sedia fresh care dan minyak kayu putih bisa sedikit membantu menghangatkan amukan perut Mbak Ahimsa.
Angin malam Sembalun yang cukup menusuk dan membangunkan di tengah serbuan kantuk yang nggak karuan ternyata beri jeda yang cukup bikin syukur setengah mati, bintang di atas pemberhentian kita luar biasa terang dan berkilau! Gawai Mas Nabhan dan Kak Rama berhasil mengabadikan langit epik Sembalun, it was just wow bro! Thankyou!
TITIK NOL MENUJU SERIBU
Sesampainya di titik awal yang mungkin nggak bisa dibilang basecamp karena tepat berada di tengah ladang atau persawahan petani, kita semua bersiap. Masih di bawah, pemandangan deretan pegunungan Rinjani di Sembalun memang nggak kaleng-kaleng. Jadi sedih kalau masih suka menyia-nyiakan pagi huhu. Di persiapan yang apa adanya, aku pakai sepatu ukura 40 lebih milik Bang Haris :) dengan celana coklat favorit dan baju hitam lapangan antro yang biasa aku pakai kalau melakukan aktivitas olahraga.
Kita yang serba apa adanya ini berdoa melingkar dan menghitung waktu perjalanan.
Mulanya aku di tiga terakhir, tapi ternyata aku nggak cukup kuat mindset, pindah ke ketiga di depan, di belakang Yasir dan Bang Haris. Di perjalanan naik, aku menerapkan resep-resep kawan se-perpendakian sebelumnya, “Jalannya zig zag Bil biar enak.” Aku juga lebih banyak diam karena bicara bisa mengeluarkan nafas yang bikin kerasa energi makin habis. Belum lagi harus sedikit tahan nafas kalau ketemu ranjau alias tai kerbau yang berseliweran di sepanjang perjalanan.
Di tengah perjalanan, Azmi nggak berhenti video-call-an haha, bisa-bisanya sementara aku memilih diam dan fokus jalan. Bahkan dia sembari ngerokok, sewaktu dia nyalain lagu Pamungkas aku bilang, “Azmi tolong matiin aja bisa nggak? Aku jadi pusing,” kataku ke Azmi. Jujur, suara ini betulan nge-distrak fokusku mendaki karena aku cukup tau diri dengan keterbatasan kaki dan energiku. Awalnya Yasir sering kasih notifikasi kita udah berada di berapa ribu kaki tapi Mas Nabhan bilang cukup nggak usah dihitungin.
|
credit to Nabhan Mudrik |
Dari atas, di sela jeda istirahat aku masih nggak nyangka liat hamparan Rinjani dan sekitarnya disertai bintang yang terang benderang, di langit sebelah timur tepat di bintang paling terang katanya itu planet Venus! Dengan adanya sinyal yang oke, aku coba unduh aplikasi stellarium buat liat posisi rasi dan bintang dari gawai. Pertama kali aku pakai setahun lalu waktu climbing di pinggir Pantai Siung dua hari.This is a magic! Why are you so pretty, sky?
“Eh itu di arah matahari terbit laut bukan sih?” kata Mbak Ahimsa
“Nah iya makanya yuk bisa sampai atas pas sunrise biar kita bisa liat,” balas Mas Nabhan.
Aku yang tetap berdoa bisa sampai atas tepat waktu tapi juga tetap nggak memaksakan diri. Kalau lelah ya harus rehat, tarik nafas. Respon Bang Haris setiap kita tanya kurang berapa jauh, untungnya jawaban dia nggak pernah bikin aku berekspektasi tinggi bahwa “kurang sebentar lagi” yang kadang sering di-prank bukit atau gundukan-gundukan di rute naik.
Sekitar jam 05.30 WITA yang mana belum seterang di area WIB kalau mau coba dibandingkan, kita sampai tepat waktu sunrise! Belum lama setelah adzan subuh. Dengan alas kain Bali yang aku bawa kita salat bergantian menghadap ke lautan awan di sisi barat. I just couldn’t be more grateful….
Bentangan pemandangan di H-1 Ramadan ini jadi ide gila yang bisa dicapai dengan 10 orang-orang gila IPM dari Temanggung, Lampung, Banten, Palembang, Jogja, Lombok, dan Kalimantan Timur. Di tengah kegilaan ini juga ada kebodohan terselubung, kita bawa kompor tapi lupa bawa nesting. Kedua, waktu belanja di indomaret semalam, bisa-bisanya aku pilih pop mie yang super duper hot. Untungnya Imam dan Kak Rama mau berbaik hati dan sukarela ambil jatah pop mie pedas. Semoga perut kalian nggak bereaksi di jalan turun, doaku diam-diam.
|
pose tiduran & berantakan, credit to Nabhan Mudrik |
|
credit to Mukhtara Rama |
Beruntungnya, ada rombongan lain yang bisa kita pinjam sebentar nestingnya untuk masak air. Kata mereka, 2,5 jam termasuk cepat sekali buat sampai atas, biasanya mereka lebih santai dengan waktu pendakian 3-4 jam. This is a second WOW! Mataku nggak bisa bohong, aku sempatnya tidur di tanah sembari berjemur matahari, walaupun ya tetap dinginnya menusuk. Bangun-bangun justru kepanasan diterpa terik yang semakin terang.
Sebuah keisengan yang hakiki di sela dongengan Mas Nabhan kalau Rinjani sebenernya jauh lebih raksasa dari yang sekarang akibat letusan paling dahsyat 10 ribu tahun terakhir, aku menghitung ada berapa kubah masjid–emang betulan istimewa Lombok ini betul-betul representasi 1000 masjid. Bahkan lebih kalau data statistiknya, menurut fakta dari mulut Bang Haris.
***
Di jam 8 lebih kita memutuskan untuk turun dengan pikiran yang cukup mager karena “perjalanan turun membutuhkan berkali lipat kesabaran daripada sewaktu naik”–sepatu Bang Haris yang aku pakai cukup licin sampai beberapa kali tergelincir untung nggak sampai nggelinding. Jalan juga licin karena didominasi tanah dan malam sempat hujan, rasanya perjalanan turun lebih lama karena hampir tiga jam. Ternyata rombongan selain Mas Nabhan, Imam, dan Yasir memilih jalur yang lebih panjang di salah satu persimpangan.
Well, perjalanan turun juga lebih kerasa gerah karena pagi menjelang siang. Serunya, bisa lihat lebih detail pergantian vegetasi di perbukitan–minim pohon sampai padat tumbuhan dan semak belukar yang bikin hawa lebih meneduhkan. Naasnya, kurang dari satu kilometer sebelum sampai di mobil dan menyeberang sungai, hujan turun dan bikin kita basah kuyup. Perubahan cuaca yang ekstrem ini bikin aku cukup berkata amin tapi kadang juga nggak ingin, hahaha.
Kita berteduh di Sembalun serta nggak lupa bersih diri dan makan siang, lalu menyisir utara Lombok yang diterpa matahari terik nan cukup panas. Sebelum ke Mataram, di sore hari kita mampir area Pantai Senggigi yang ada konservasi penyu. Aroma ikan bakar mengundang kita buat menyantap ikan bakar! Meskipun harus diakui memoriku soal makan ikan bakar cukup hilang karena kepusinganku akibat hape yang tiba-tiba mati disertai kebuntuan beruntut mengurus deadline submission serta dibumbui drama lupa minta letter of enrollment dari fakultas.
Untung ada Mbak Ahimsa, sesama anak FIB yang punya kontak-kontak karyawan dekanat FIB UGM. Waktu itu aku rasanya mau menyerah dan berpasrah tapi Mbak Ahimsa dan Kak Rama masih semangat membantu dan jauh lebih optimis ketimbang aku yang bilang, “Yaudahlah kalau memang bukan takdirnya,” lalu dibalas oleh mereka, “Kalau takdirnya gimana?”
Kalimat ini bikin aku charged sedikit, kabar fakultas yang nggak kunjung pasti bikin aku cukup frustasi, tapi ajaibnya tiba-tiba Mbak Ahimsa bilang dan mendekat ke bibir pantai, “Bil you know what Bapaknya balas pakai apa?” Ternyata suratnya betulan dikirim via whatsApp di waktu mepet kantor tutup:) terima kasih Pak Wakhid, mau sungkem ribuan kali huhu. Hari itu cukup roller coaster tapi jadi sebuah pelajaran; ada sesuatu di luar kendali kita, maka cukup nikmati dengan lapang dada meskipun sulitnya setengah mati.
Pamulang-Bekasi, 12-15 April 2022
13.52 WIB