Nabiloski De Pellegrini

Days I feel like a human being, while other days I feel more like a sound. The song moving through the city like a widow, Ocean Vuong.

Bulan ini dimulai dan diakhiri dengan tidak merayakan apapun. Suatu malam yang membosankan, aku menelpon seorang teman, “Kok rasanya nggak ada apa-apa ya di bulan ini?”

“Betul Bil. Bosan,” jawabnya datar.

Teman aku ini langsung berselancar di laman twitter dan menge-tweet perasaan serupa: bosan. Betapa membosankannya bulan ini yang diisi dengan kepenatan mengerjarkan ujian, berhadapan dengan ribuan huruf di depan mata. Bergegas meminta sang penatap layar segera menyelesaikan segudang final paper yang semua bertenggat di akhir bulan.

Naasnya topik-topik di semester ini nggak begitu buat aku pingin dan bertahan baca banyak literatur. Biasa aja.

Aku nggak mengalami turbulensi emosi yang berarti, nggak ada air mata yang keluar, melainkan mendengarkan tangisan beberapa orang teman yang lagi mengencangkan ikat pinggang menuju roller coaster yang semoga nggak bikin kamu tegang ya. Pesan yang mungkin sama-sama membosankan dan biasa aja dari Nabila: nggak papa, mungkin ini pergantian fase yang perlu kamu kenali biar soft landing.

Everything is slow down. Aku memilih untuk menjadi seseorang yang biasa-biasa aja. Maka, bulan Juni betulan berjalan seperti hikayat medioker pada umumnya.

Bangun, merayakan pagi, menjalani aktivitas normal, makan buah, mengurangi gula, makan sayur, memasak, mencuci, dan ragam aktivitas yang juga biasa-biasa aja. Satu pengalaman yang cukup bikin bad day seharian di bulan Juni adalah: ketilang di Gejayan. Huh. Setelah mengalami bentuk syukur yang harusnya bisa bikin good day: beli cat air warna-warni baru.

Maafin aku ya Nadila, first day kamu di Jogja berjalan dengan tidak menyenangkan. Apes. Sebab aku dengan bodohnya bertekad kokoh kuat nyusulin Hanif supaya nggak ketinggalan padahal jelas-jelas lampu bangjo udah berganti merah.

Selain itu, hujan yang datang nggak tepat waktu buat aku nggak menikmati aroma petrikor—padahal ya padahal, biasanya aku jadi salah seorang yang merindukan aroma petrikor kalau hujan nggak kunjung datang. Sayangnya, alam yang alarm-nya semakin nggak karuan ini justru bikin sesak, bikin ingin segera menyudahi hari dan nyenyak tidur di kasur kos-an.

Sementara bulan yang slow ini berjalan, aku nggak lupa memperbaharui deretan playlist spotify-ku. Lagi-lagi, seperti biasanya—menjelang ujian lagu-lagu Sufjan Stevens berada di garda terdepan. Ada satu lagu yang dijodohkan spotify secara random kepada Nabila, Clay Pigeons-Michael Cera, dan diracuni Rarak secara sengaja lewat album Lin-Manuel Miranda yang judul playlist-nya Hamilton Broadway, “Kamu harus liat musikalnya Bil!!!!”

Well noted darling.

Barangkali pesan yang paling tepat untuk menyambut Juli adalah dari sepenggal lirik Clay Pigeons, “…..Change the shape that I’m in, and get back in the game, and start playin’ again…might go to somewhere that I’ve never been.”

Doakan aku menyudahi bulan Juni dengan bahagia dan menyelasikan segenap ide tulisan ini dengan baik ya, karena Nabiloski De Pellegrini nggak sabar menyambut segenap perjalanan di bulan Juli!

Temanggung, 28 Juni 2021

"Eh ini lagunya bagus banget punta George Ezra.. Budapest," kata Oase di suatu Jumat pagi di halaman hijau menghampar madrasah.

Mungkin lima tahun lalu.

Selepas semalam suntuk kami diminta energinya berkali-kali, tapi juga (semoga) diberikan dengan sepenuh hati. 

Kami lagi duduk-duduk istirahat menunggu instruksi MOB Taruna Melati I IPM Mu'allimaat. Duduk leyeh-leyeh sembari dengerin lagu George Ezra yang judulnya Budapest itu, sesuai request Oase.

Sejak pagi itu aku inget lagunya dengan sangat dan terekam dengan amat di relung hati dan pikiran. Kalau bukan karena pagi itu aku denger lagu George Ezra dari Oase, mungkin aku nggak akan pernah bermimpi atau tanpa sengaja menyelipkan doa ingin ke Budapest.

Saking penasarannya, di kala senggang yang jedanya dicuri-curi di tengah jadi anak madrasah, aku pergi ke warnet dan berselancar ria ke YouTube dengerin lagu itu.

Sejak saat itu di tahun 2016 ternyata tanpa sengaja, betulan tanpa sengaja, aku diam-diam menyelipkan doa ingin ke Budapest. Ibu kota sebuah negara di Eropa Timur yang pernah dikuasai Turki Usmani.

---

Doa emang penuh siasat.

Kita nggak akan pernah tau, bagian mana yang bisa kita sebut doa, barangkali imajinasi, ucapan tanpa sengaja lamat-lamat jadi jalan menuju takdir tak terduga.

Dan itu nyata adanya.

Di penghujung musim panas tahun 2017, setibanya di kelas 4C Linguistico Liceo Statale Renier Belluno, Italia. Masa-masa menegangkan dan bertaburan jutaan rasa yang nggak bisa dideskripsikan ternyata Tuhan Maha Baik;

"Besok kita bakal ada school trip ke Budapest Nabila," kata salah seorang teman--antara Casian, Daria atau Alice.

"Oh really?"

Aku masih nggak percaya. Masak iya gara-gara aku suka lagunya George Ezra—bisa-bisanya aku masuk kelas yang di antara puluhan kelas lainnya di Renier perginya bakal ke Budapest (?)

I was so speechless.

Selayaknya pesan keramat di AFS yang harus senantiasa menjaga ekspektasi sebelum semua belum bener-bener terjadi. Aku betulan menahan diri untuk berhemat ria dan berdoa kencang-kencang sembari berpikir gimana cara bilang kalau aku butuh 300 euro untuk iuran.

Di antara 10 bulan persinggahanku di Italia, bulan April jadi bulan yang sungguh aku nanti. Ketidaktahuan aku soal Budapest aku simpan rapat-rapat. Biar perjalanan langsung ke Budapest jadi sumber pengetahuan yang alami. Sepuluh jam perjalanan darat melintasi Italia Utara lalu menembus Slovenia sampai di Budapest jadi perjalanan yang super duper memorable. 

"Jangan lupa cobain kürtős kalács," kata Kak Syahna Returnee AFS Hungaria.

"Nabila kamu tau nggak ada orang Longarone yang jualan Gelato di Budapest!" Kata Mamma Linda nyeritain orang satu kota kami yang bolak-balik Longarone-Budapest demi buka kedai gelato.

Deretan Istana Nan Kokoh Menjulang

Perjalanan ke Budapest betulan jadi perjalanan yang menguji pertemanan aku, Alice, dan Michelle. Kami satu kamar di sebuah penginapan di atas danau di pinggiran Budapest. Tahan duduk lama di tengah kebulan asap rokok yang baunya menyergak dan lebih nggak ramah ketimbang rokok teman-teman di Indonesia, rebutan kasur, ribut mau makan apa sampai harus keliling kemana dulu.

Sungai Danube yang membelah dua bagian Buda dan Pest —bikin aku melongo berkali-kali. Lebar dan panjangnya sungai yang melintasi sepuluh negara dari Jerman sampai Rumania ini bikin aku —gadis Jawa yang masih cukup ndeso dan takjub berkali lipat. Kata Mamma, "Ada loh Nabila jalur khusus sepeda melintasi sungai danube kalau kamu pingin suatu hari nanti."

Aku yang cukup merasa kuat sepedaan melintasi pegunungan Belluno 40-an km sok-sok an berjanji suatu hari nanti bakal cukup berani menerima tantangan Mamma. Ayo bantu amiiin!

Percayalah aku putar terus lagu George Ezra itu. Aku amati liriknya perlahan sambil jalan kaki keliling Budapest. 

Buda Castle dan segenap istana yang berderet kokoh nan menjulang tinggi buat seorang Nabila lagi-lagi merasa bodoh kenapa nggak mengerti sejarah Budapest lebih jauh, bahkan naasnya baru dibaca setelah empat tahun kunjungan ke Budapest lewat buku Buya Hamka.

Gedung Parlemen yang cantik di pinggir Sungai Danube berhasil aku jepret dengan hasil yang ciamik. Gedung ini lebih mirip istana kerajaan maha agung di hikayat kejayaan masa lalu.

Beragam Ingatan akan Sudut Kota 

Aku nggak akan lupa pengamen di dekat Heroes' Square, sederet prajurit yang unjuk diri dan jadi tontonan para turis di dekat Gereja Matthias, diskotik kota di sisi Széchenyi Chain Bridge--yang lebih disesaki orang Italia yang berjoget ria sampai larut ketimbang penduduk lokal, kürtős kalács yang kubeli di Pasar Vasarcsarnok di jam makan siang, dan segenap deretan toko cantik penuh seni yang dirawat dengan sepenuh hati serta luasnya jalanan Pest yang bikin aku pinginnya jalan pelan-pelan tanpa diburu waktu. Yang ini juga jadi sumber ributku sama Michelle karena jalan lambat.

Momen menyebalkan yang sekaligus pembuktiaan kalau yey aku bisa marah tanpa mikir pakai bahasa Italia. "Kamu lambat banget Nabila, kalau ilang gimana???!!"

"Ya kita kan lagi jalan-jalan, ngapain sih cepet-cepet nggak bisa nikmatin kotanya Michelle!"

Berujung diem-dieman di bis dan baikan di kamar.

Kepada tour guide yang amat sangat tangkas dan bahasa italia patut kita acungi ribuan jempol, ibu dapur penginapan yang hobi masak menu daging babi (iya aku jadi gabisa makan), supir bis yang gagah melintasi jalanan penghubung tiga negara, Prof Massimo Diana—guru Fisika yang cukup ramah, Alice dan Michelle sahabat sejati yang menyebalkan sekaligus ketulusannya tiada tanding, dan segenap warga kelas 4C L, segenap malam-malam pendek yang terasa cepat berlalu serta sudut demi sudut kota Budapest yang aku sepakat kalau kota ini layak jadi salah satu kota tercantik dunia dan manusia-manusia yang menjejali di setiap detik yang berjalan, terimakasih.

Coba, lewat mana lagi aku bisa bersyukur? Jadi jangan sekali-kali meremehkan selera dan doa, barangkali itu jadi nyata suatu hari nanti kita mungkin akan sama-sama merasa berdosa menyepelekan hal-hal yang terkesan sepele. Percayalah, dunia yang rumit nan rasanya sulit dijejali punya sekian ribu siasat untuk kita amini bersama.

Semoga suatu hari nanti kamu juga bisa punya hal edan lainnya yang menghampiri bukan hanya lewat mimpi ya!


Yogyakarta, 17-18 Juni 2021


Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

Cari Blog Ini

POPULAR POSTS

  • Hari-Hari di Pamulang (3)
  • 2024: a magic of ordinary days
  • Tentang Bisa Punya Waktu Tanpa Libur
  • pagi yang aneh

Categories

AFS Italy 2017-2018 Self Talk Hijrah Malaysia Ramadhan di Italia
Diberdayakan oleh Blogger.

Blog Archive

  • April 2025 (1)
  • Desember 2024 (1)
  • Juni 2024 (5)
  • Januari 2024 (1)
  • Desember 2023 (1)
  • September 2023 (1)
  • Agustus 2023 (3)
  • Februari 2023 (1)
  • Januari 2023 (1)
  • Desember 2022 (1)
  • November 2022 (1)
  • September 2022 (1)
  • Agustus 2022 (3)
  • Mei 2022 (3)
  • April 2022 (10)
  • Februari 2022 (1)
  • Desember 2021 (2)
  • November 2021 (1)
  • Oktober 2021 (2)
  • September 2021 (1)
  • Agustus 2021 (2)
  • Juli 2021 (3)
  • Juni 2021 (2)
  • Mei 2021 (1)
  • April 2021 (2)
  • Januari 2021 (2)
  • Desember 2020 (2)
  • November 2020 (1)
  • Oktober 2020 (11)
  • September 2020 (1)
  • Agustus 2020 (2)
  • Juli 2020 (2)
  • Juni 2020 (1)
  • Mei 2020 (19)
  • April 2020 (7)
  • Maret 2020 (2)
  • Januari 2020 (1)
  • Oktober 2019 (1)
  • September 2019 (1)
  • Agustus 2019 (1)
  • Juli 2019 (1)
  • Mei 2019 (1)
  • Maret 2019 (1)
  • Februari 2019 (2)
  • Januari 2019 (1)
  • November 2018 (1)
  • Agustus 2018 (1)
  • Mei 2018 (2)
  • April 2018 (4)
  • Maret 2018 (4)
  • Februari 2018 (5)
  • Januari 2018 (7)
  • Desember 2017 (9)
  • November 2017 (6)
  • Oktober 2017 (6)
  • September 2017 (7)
  • Agustus 2017 (2)
  • Juni 2017 (12)
  • Mei 2017 (11)
  • April 2017 (6)
  • Maret 2017 (3)
  • Februari 2017 (4)
  • Januari 2017 (2)
  • Desember 2016 (5)
  • November 2016 (6)
  • Oktober 2016 (6)
  • September 2016 (5)
  • Agustus 2016 (1)
  • Juli 2016 (1)
  • Juni 2016 (6)
  • April 2016 (2)
  • Februari 2016 (1)
  • Januari 2016 (2)
  • Desember 2015 (1)
  • November 2015 (3)
  • Agustus 2015 (1)
  • Juli 2015 (1)
  • Juni 2015 (4)
  • Mei 2015 (1)
  • April 2015 (2)
  • Februari 2015 (6)
  • Januari 2015 (3)
  • Desember 2014 (4)
  • November 2014 (14)
  • Oktober 2014 (2)
  • Agustus 2014 (3)
  • Juni 2014 (12)

Designed By OddThemes | Distributed By Blogger Templates