"Eh ini lagunya bagus banget punta George Ezra.. Budapest," kata Oase di suatu Jumat pagi di halaman hijau menghampar madrasah.
Mungkin lima tahun lalu.
Selepas semalam suntuk kami diminta energinya berkali-kali, tapi juga (semoga) diberikan dengan sepenuh hati.
Kami lagi duduk-duduk istirahat menunggu instruksi MOB Taruna Melati I IPM Mu'allimaat. Duduk leyeh-leyeh sembari dengerin lagu George Ezra yang judulnya Budapest itu, sesuai request Oase.
Sejak pagi itu aku inget lagunya dengan sangat dan terekam dengan amat di relung hati dan pikiran. Kalau bukan karena pagi itu aku denger lagu George Ezra dari Oase, mungkin aku nggak akan pernah bermimpi atau tanpa sengaja menyelipkan doa ingin ke Budapest.
Saking penasarannya, di kala senggang yang jedanya dicuri-curi di tengah jadi anak madrasah, aku pergi ke warnet dan berselancar ria ke YouTube dengerin lagu itu.
Sejak saat itu di tahun 2016 ternyata tanpa sengaja, betulan tanpa sengaja, aku diam-diam menyelipkan doa ingin ke Budapest. Ibu kota sebuah negara di Eropa Timur yang pernah dikuasai Turki Usmani.
---
Doa emang penuh siasat.
Kita nggak akan pernah tau, bagian mana yang bisa kita sebut doa, barangkali imajinasi, ucapan tanpa sengaja lamat-lamat jadi jalan menuju takdir tak terduga.
Dan itu nyata adanya.
Di penghujung musim panas tahun 2017, setibanya di kelas 4C Linguistico Liceo Statale Renier Belluno, Italia. Masa-masa menegangkan dan bertaburan jutaan rasa yang nggak bisa dideskripsikan ternyata Tuhan Maha Baik;
"Besok kita bakal ada school trip ke Budapest Nabila," kata salah seorang teman--antara Casian, Daria atau Alice.
"Oh really?"
Aku masih nggak percaya. Masak iya gara-gara aku suka lagunya George Ezra—bisa-bisanya aku masuk kelas yang di antara puluhan kelas lainnya di Renier perginya bakal ke Budapest (?)
I was so speechless.
Selayaknya pesan keramat di AFS yang harus senantiasa menjaga ekspektasi sebelum semua belum bener-bener terjadi. Aku betulan menahan diri untuk berhemat ria dan berdoa kencang-kencang sembari berpikir gimana cara bilang kalau aku butuh 300 euro untuk iuran.
Di antara 10 bulan persinggahanku di Italia, bulan April jadi bulan yang sungguh aku nanti. Ketidaktahuan aku soal Budapest aku simpan rapat-rapat. Biar perjalanan langsung ke Budapest jadi sumber pengetahuan yang alami. Sepuluh jam perjalanan darat melintasi Italia Utara lalu menembus Slovenia sampai di Budapest jadi perjalanan yang super duper memorable.
"Jangan lupa cobain kürtős kalács," kata Kak Syahna Returnee AFS Hungaria.
"Nabila kamu tau nggak ada orang Longarone yang jualan Gelato di Budapest!" Kata Mamma Linda nyeritain orang satu kota kami yang bolak-balik Longarone-Budapest demi buka kedai gelato.
Deretan Istana Nan Kokoh Menjulang
Perjalanan ke Budapest betulan jadi perjalanan yang menguji pertemanan aku, Alice, dan Michelle. Kami satu kamar di sebuah penginapan di atas danau di pinggiran Budapest. Tahan duduk lama di tengah kebulan asap rokok yang baunya menyergak dan lebih nggak ramah ketimbang rokok teman-teman di Indonesia, rebutan kasur, ribut mau makan apa sampai harus keliling kemana dulu.
Sungai Danube yang membelah dua bagian Buda dan Pest —bikin aku melongo berkali-kali. Lebar dan panjangnya sungai yang melintasi sepuluh negara dari Jerman sampai Rumania ini bikin aku —gadis Jawa yang masih cukup ndeso dan takjub berkali lipat. Kata Mamma, "Ada loh Nabila jalur khusus sepeda melintasi sungai danube kalau kamu pingin suatu hari nanti."
Aku yang cukup merasa kuat sepedaan melintasi pegunungan Belluno 40-an km sok-sok an berjanji suatu hari nanti bakal cukup berani menerima tantangan Mamma. Ayo bantu amiiin!
Percayalah aku putar terus lagu George Ezra itu. Aku amati liriknya perlahan sambil jalan kaki keliling Budapest.
Buda Castle dan segenap istana yang berderet kokoh nan menjulang tinggi buat seorang Nabila lagi-lagi merasa bodoh kenapa nggak mengerti sejarah Budapest lebih jauh, bahkan naasnya baru dibaca setelah empat tahun kunjungan ke Budapest lewat buku Buya Hamka.
Gedung Parlemen yang cantik di pinggir Sungai Danube berhasil aku jepret dengan hasil yang ciamik. Gedung ini lebih mirip istana kerajaan maha agung di hikayat kejayaan masa lalu.
Beragam Ingatan akan Sudut Kota
Aku nggak akan lupa pengamen di dekat Heroes' Square, sederet prajurit yang unjuk diri dan jadi tontonan para turis di dekat Gereja Matthias, diskotik kota di sisi Széchenyi Chain Bridge--yang lebih disesaki orang Italia yang berjoget ria sampai larut ketimbang penduduk lokal, kürtős kalács yang kubeli di Pasar Vasarcsarnok di jam makan siang, dan segenap deretan toko cantik penuh seni yang dirawat dengan sepenuh hati serta luasnya jalanan Pest yang bikin aku pinginnya jalan pelan-pelan tanpa diburu waktu. Yang ini juga jadi sumber ributku sama Michelle karena jalan lambat.
Momen menyebalkan yang sekaligus pembuktiaan kalau yey aku bisa marah tanpa mikir pakai bahasa Italia. "Kamu lambat banget Nabila, kalau ilang gimana???!!"
"Ya kita kan lagi jalan-jalan, ngapain sih cepet-cepet nggak bisa nikmatin kotanya Michelle!"
Berujung diem-dieman di bis dan baikan di kamar.
Kepada tour guide yang amat sangat tangkas dan bahasa italia patut kita acungi ribuan jempol, ibu dapur penginapan yang hobi masak menu daging babi (iya aku jadi gabisa makan), supir bis yang gagah melintasi jalanan penghubung tiga negara, Prof Massimo Diana—guru Fisika yang cukup ramah, Alice dan Michelle sahabat sejati yang menyebalkan sekaligus ketulusannya tiada tanding, dan segenap warga kelas 4C L, segenap malam-malam pendek yang terasa cepat berlalu serta sudut demi sudut kota Budapest yang aku sepakat kalau kota ini layak jadi salah satu kota tercantik dunia dan manusia-manusia yang menjejali di setiap detik yang berjalan, terimakasih.
Coba, lewat mana lagi aku bisa bersyukur? Jadi jangan sekali-kali meremehkan selera dan doa, barangkali itu jadi nyata suatu hari nanti kita mungkin akan sama-sama merasa berdosa menyepelekan hal-hal yang terkesan sepele. Percayalah, dunia yang rumit nan rasanya sulit dijejali punya sekian ribu siasat untuk kita amini bersama.
Semoga suatu hari nanti kamu juga bisa punya hal edan lainnya yang menghampiri bukan hanya lewat mimpi ya!
Yogyakarta, 17-18 Juni 2021