"....Without love you are not to be foundAre we too blind to see. Do we simply turn our heads. And look the other way (In the Ghetto-Elvis Presley)
You are not to be found...." Love is Surrender - Carpenters
Sedikit nggak mirip sama tahun lalu.
Malam
ini jadi malam yang buat aku dan mungkin juga kamu: malam yang sudah mulai
terbiasa. Ingar bingarnya sulit dideskripsikan. Tapi siapa sangka, Ramadan yang
telah berlalu dan mencapai kata usai ini punya ruang tersendiri di hati seorang
aku.
Mengingat tulisan "Sementara Takbir Menyingkap Tabir" di malam takbir tahun lalu, jadi kompor yang menyemangati untuk menghadirkan tulisan ini. Bisa di baca di sini.
Ada
hal-hal yang patut aku syukuri, ada momentum-momentum yang penuh haru biru dan ‘baru’
menyisip pelan-pelan ke relung hati seorang aku. Yang tidak terlewatkan itu
patut aku apresiasi dengan sepenuh hati.
Padahal,
Menjelang
Ramadan vibes-nya nggak kerasa apa-apa. Malam tarawih pertama aku habiskan di
kereta dari Surabaya menuju Malang. Saking lelahnya, aku nggak melaksanakan
tarawih dengan sempurna. Nggak berekspektasi tinggi justru buat aku dikejutkan
dengan banyak hal.
Ngabuburit pertama bareng Naira Aksara Yahya dan ibundanya yang amat sangat aku sayangi Mbak Maharina buat aku bersyukur berkali-kali. Dingin dan sejuknya Malang buat kesan buka puasa bersama lebih syahdu, ditemani es pisang ijo dan beberapa menu yang dipamerkan Mas Abdul suami Mbak Rina,
“Ayo Nabila harus coba makanan ini,”
sambutnya yang baru ketemu aku pertama kali dengan penuh gelagat yang akrab.
Lalu,
apa yang sebetulnya bisa aku bilang bentuk resolusi yang bisa disyukuri?
Pertama,
makan dan minum secukupnya.
Meskipun
lebih banyak sendiri dan uang pas-pas an haha (tapi ini bukan alasan utama kok)
aku lebih memperhatikan asupan yang aku santap.
Perkara
buah dan sayur aku perhatian dengan seksama. Buka puasa betul-betul secukupnya,
sahur seadanya tapi dengan komponen yang menyehatkan. Hanya satu sahur yang aku
lewatkan karena lupa alarm.
Sisanya,
betul-betul nikmat yang sempurna. Didukung oleh ketidak ogahan aku bangun,
kadang masak, dan potong buah. Aku mempertimbangkan betul untuk ikut bukber. Banyak
hal yang nggak aku sukai dari budaya bukber—bukber yang aku lewatkan kemarin cuma
memang karena merasa perlu dan kangen untuk ketemu.
Pun
di setiap bukber, demi menghemat dan memilih masak sendiri aku cuma pesan snack
ringan dan the :) lebih dari cukup!
Kedua,
menghabiskan sahur dan buka bersama kartu BRISCOLA.
Polemik
IPM yang belum kunjung mereda buat aku beberapa kali menghabiskan sahur bareng
temen-temen IPM yang diawali dengan nggak tidur sepanjang malam sampai subuh.
Yang
paling berkesan salah satunya adalah, Mas Nabhan secara tiba-tiba ngajak buka
bersama di Temanggung. Ditemani Mbak Anggitya, Mbak Laila, Mbak Apri, dan
Hanif. Di suatu sahur dan buka sama temen-temen IPM ini dihabiskan dengan
mainan kartu briscola. Mereka berhak mendapatkan peluk Nabila karena mau
dikelabui dan diajak main briscola.
Kalau
nggak ke Surabaya dan ketemu Izza, bisa jadi kartuku bertengger sampai jamuran
di kamar. Terimakasih Izzaaa!
Ketiga,
pertama kalinya iktikaf.
Berdampingan
dengan tugas-tugas kuliah yang mati satu tumbuh seribu, serta deadline tulisan
yang nggak ada habisnya sempat bikin aku sedih—karena jadi punya lebih sedikit
waktu untuk berkontemplasi lewat ibadah-ibadah mahdhah.
Tapi
nggak papa. Tanpa terburu-buru dan banyak target justru aku nyaman baca alquran
ditemani artinya. Juga aku bayar tuntas di malam-malam penghabisan 9 hari
terakhir Ramadan sewaktu di rumah.
Aku,
Ibu, dan Dek Hanun memang selalu menyempatkan subuh di masjid dan tetap stay
sampai waktu Isra’ menjelang, kami mengaji, kadang juga tidur sebentar lalu
ditutup dengan salat Isra’ dua rakaat.
Ada
satu hal yang nggak ingin kami lewatkan, selain memang mengejar lailatul qadr,
kami bertiga nggak mau melewatkan melihat semburat langit yang luar biasa indah
dan bisa dilihat dari lantai dua masjid. Jajaran gunung dari Ungaran, Merapi,
Merbabu sampai Sindoro dan Sumbing bisa kami lihat jelas kalau cuacanya cerah.
Misi
lainnya juga buat menebak-nebak langit mana yang paling indah, barangkali itu
malam lailatul qadr. Iya, kami terobsesi sama langit.
Di
empat kali malam ganjil. Bapak rutin membangunkan aku dan Dek Hanun di jam
00.15 lalu kami bertiga bergegas ke masjid. Sedikit penyesalannya kadang aku
masih belum kuat dan ketiduran satu jam sebelum balik ke rumah untuk sahur.
Diketawain
betul aku sama Dek Hanun.
Dahsyat
sodara sekalian. Ternyata senikmat itu. Aku juga cukup tegas menolak melakukan
rapat di malam ganjil kalau bisa buat aku nggak bisa tidur lebih awal biar bisa
bangun dini hari.
___
Hal-hal
yang tidak terlewatkan di atas buat aku ingin bilang terimakasih kepada segala
sesuatu yang ‘cukup’. Terimakasih kepada beberapa teman yang jadi teman
mengobrol di kala Ramadan—yang selain bikin ngerasa nggak sendiri juga bisa
buat aku cekikan sekali-kali.
Suasana
di kampung juga menyenangkan dengan adik-adik yang menyambut hangat dan mau aku
ajak belajar bareng. Meskipun belum sempurna, aku berterimakasih karena di
Ramadan ini banyak ide-ide sederhana nan membahagiakan muncul. Sesederhana mengumpulkan
buku buat donasi buku Kembar #1 Kemant dan buat modal perpustakaan di kampung.
Terakhir, album Close to You kepunyaan Carpenters dan In the Ghetto-nya Elvis Presley jadi highlight lagu favorit Nabila.
"Talk about love
How it makes life completeyou can't cover up the past
Just pretending will never last
Without love you are nothing at all..."Love is Surrender - Carpenters
Thankyou,
May
Allah lead your way, everyone. Buona festa fine di Ramadan.
Semoga
kita dipertemukan dengan kemenangan dan ketenangan yang semestinya dan bersua
secepatnya lagi.
Temanggung,
1 Syawal 1442 H