“Camminare dritta, ma con occhi e orecchie aperte col attente, per captare ogni cosa che ti succede intorno”
-un consiglio da una lettera d'amore nel Novembre 2019-
“Walk straight, but with eyes and ears open with the attentiveness, so that you can capture everything that happens around you”
-an advice from a love letter in November 2019-
Sudah terlampau lama sebenernya ingin
menceritakan ini, tapi api yang nggak kunjung menyala seperti terpericik api
dan minyak tanah lagi, lalu aku bersemangat bercerita tentang topik yang sangat
amat dekat dan aku jalani beberapa tahun belakangan ini. Ba’da maghrib, selepas
Bapak mengaji dan duduk di kursi kayu kesayangan yang dibeli dari seorang
pengrajin Jepara—menengok lama layar gawainya, Bapak cerita, “Bil, kudune
Daffa lulus tahun wingi nggih? Niki Bapak nulis kagem Daffa..” sembari
menyodorkan gawai sederhananya ke aku.
Oh Tuhaaan.. cukup, aku beneran ingin merinding
baca surat kecil yang dikirim ke WhatsApp adek yang masih centang satu.
Sederhana dan tidak banyak permintaan, pesan-pesan ringkas kehidupan untuk Dek
Daffa yang hampir lulus dari pesantren. Adekku sempat pindah sekolah, jadi
menunda satu tahun kelulusannya karena harus takhasus dulu. Padahal tadi sore
menjelang maghrib aku juga dibuat berlinang baca bab 13 dari buku The
Kite Runner –nya Khaled Hosseini. Sama-sama ada subjek Bapak di
dalamnya, seorang Bapak Agha Salib dengan anaknya Amir Jan.
Mungkin ini akan terdengar sedikit klise, tapi
saling berkirim pesan baik lewat surel dan tulis tangan yang konvensial memang
jadi momentum-momentum hangat di hidup aku, yang lantas aku teruskan kemudian
ke lebih banyak orang. Semakin gemetar aku waktu beberapa Minggu lalu liat Reza
Rahardian menceritakan surel yang dikirim buat dirinya dari seorang Ibu lima
anak dari Banjarnegara, seorang ‘Ibu’ loh—tapi setelah aku dengarkan dengan
seksama, beliau memang penulis handal yang senantiasa menyertakan hatinya, jadi
kosakata dan kosarasa-nya terolah sangat seimbang. Perbendaharaan katanya luar
biasa, kata-katanya magis nan ampuh.
Kalau boleh bercerita,
Aku sendiri menjadikan e-mail sebagai sebuah
ruang virtual yang hidup, rajin menengok dan merapikan e-mail, buatku ini ruang
khusus yang amat privasi dan harus elok dilihat supaya aku bisa baca
pesan-pesan dengan rapi. Selain segala e-mail perihal tugas menugas, kerjaan,
organisasi, dan notifikasi menyebalkan itu, aku kerap berkirim surel.
Ide ini amat tiba-tiba sebenernya, bukan dari
diriku sendiri, tapi dari ajakan seorang teman dari Iraq dan pindah ke Texas,
Amerika Serikat yang bareng di satu program pertukaran lima tahun lalu, Ahmed
Badr namanya. Hari terakhir mereka harus berkemas karena program usai lebih
dulu, Ahmed tiba-tiba bilang, “Nabila gimana kalau kita saling berkirim
e-mail? Tanggal 27 setiap bulan?” aku heran dan agak deg-deg an menyadari
bahasa inggrisku masih sangat belepotan, tapi aku semangat belajar dan ikut
mengikat jari kelingkingku setelah Ahmed menyodorkan lebih dulu: simbol janji.
Berjalan hampir satu tahun, aku sempat menikmati
cerita Ahmed dari kembalinya lagi dia ke Irak di 2015 akhir, lomba debat
keliling kota, bahkan hasil-hasil jepretannya di Global Teen Youth di New York,
dan banyak lagi. Sampai e-mail dariku yang jadi terakhir kali, aku kirim
sewaktu awal-awal di Italia, tapi Ahmed nggak membalas karena aku tau dia
sangat amat sibuk dengan self-project nya yang empowering refugees
around the world, especially youth. Nggak papa, karena kadang kita
masih bersua lewat DM Instagram.
Kamu sungguh keren Ahmed, ada 25 percakapan di label “Ahmed Badr” yang aku buat di e-mail. Tentang Ahmed, kalian bakal keheranan sendiri, silahkan tengok sendiri di instagramnya @mesopotami dan kolaborasi karyanya di @narratio_org atau random cari di google pakai “Ahmed Badr”—juga tonton TEDx klik di sini: From The Bomb That Visited That Visited My Home.
Live the stories, re-call the memories
Sederhana kan? Beberapa surat yang buat aku
menangis tanpa henti adalah e-mail yang masuk dari Mamma Linda, juga surat dari
paket-paket yang beliau kirim, tulis tangan dan sangat amat menyemangati.
Membuncah sekali, ekspresi kangenku hanya bisa lepas lewat tangisan setiap baca
suratnya. Kata-kata magisnya dalam bahasa Italia—yang buat aku seperti bahasa
ibuku dan merampas dan merasuk ke relung hati, Italian is a lovely
language- so many ways for expressing your emotions. Mungkin juga
karena, aku melewati berbagai babak memori dan emosi sewaktu belajar bahasanya
dari nol.
Beberapa kali, kalau aku kangen seorang teman,
aku kerap mencuri momen, mencari waktu yang pas buat mengiriminya surel, kalau
surat lewat hadiah yang memang di momen-momen tertentu udah biasa kali ya.
Beberapa bulan lalu aku iseng buat mini-project dan membuka lebar-lebar
question box di instagram story, waduh hampir 40-an orang yang menuliskan
e-mailnya. Geleng-geleng, aku dibandingkan sama total viewers story
instagramku, 40 terhitung sedikit. Tapi jadi banyak buat aku karena mau nggak
mau aku harus bertanggung jawab mengirimi e-mail mereka satu per satu.
Masih ada beberapa, maaf ya akan segera kulunasi
insyaAllah :(
Sometimes I don’t have the energy to speak it
from my lips, that’s why I choose to create my own words by writing it down in
a letter. Mungkin terdengar melankolis,
tapi aku bodoamat karena toh banyak ternyata yang merasa tersanjung karena
dikirimi e-mail. Terkesan kuno? Iya ada yang berpikiran demikian. Tapi nggak
masalah, everyone has their own way xixixi.
Spreading a fresh air to others, just simply
by sending them love letters. Lalu,
ada sebuah lagu manis yang meneduhkan, Surat Cinta-Ari Reda, bukan ‘cinta’ yang
sempit tapi ‘cinta’ yang luas makna. Lagu ini sungguh mewakili as I
want to give them love.
“Bukankah surat cinta ini ditulis
Ditulis ke arah siapa saja
Seperti hujan yang jatuh ritmis
Menyentuh arah siapa saja…”
Sungguh, sesuatu yang amat berarti buat aku,
kadang aku berusaha nggak menaruh ekspektasi untuk dibalas karena aku
meniatkan pure to give them love, jadi kalau dibalas aku bisa
bahagia bukan kepalang. Semacam bonus. It just the way to sharing the
feelings brayyy, bahkan di mini-project yang aku buat, kebanyakan
menulis balasan dan aku sungguh nggak menyangka mereka bener-bener bisa cerita
keresahan mereka bahkan hal-hal berat yang telah dan sedang mereka lalui. Baik
orang-orang yang aku kenal atau mereka yang mengenalku lewat instagram.
But, it is so nice right? You become the one
who ‘listen’ to their life stories, creating space to let them go- to tell the
truth and share the feelings wholeheartedly. Here we go, I would likely to cite
some of Mamma Linda’s words, she wrote me a year ago:
“Ti penso molto ultimamente, perché ti sento un po' in difficoltà ... sono sicura che anche da queste difficoltà uscirai piú matura e più serena, perchè hai il grande dono delle simpatica e delle fasilità di comunicare. Quindi forza Nabiloski !!”
English translation:
“I have been thinking about you a lot lately, because I feel you are in some difficulties ... I am sure that even from these difficulties you will come out more mature and more serene, because you have the great gift of being nice and easy to communicate. So come on Nabiloski !!”
Grazie di cuore Mamma
dan semua yang pernah berkirim surat dengan nabiladinta.
Semoga teman-teman sekalian turut menemukan cara yang mengobati dan menemukan orang laim untuk saling menyemangati, menemani serta berbagi. Sungguh jangan sampai merasa seorang diri. I am here to talk, just tell your stories to my personal e-mail: ulimanabilaadinta@gmail.com, I would love to reply!
Selamat malam tuan dan puan sekalian dari
Temanggung yang dingin dan hujan terus menerus, have a nice dream <3
Temanggung, 9 Desember 2020