*) tulisan yang merupakan bagian tugas refleksi proses wawancara dari mata kuliah Kelas Menulis Kreatif Etnografi, sayang kalau hanya disimpan seorang. Obrolan warung bareng Indra
Kelas-kelas antropologi yang telah berjalan selama kurang lebih hampir satu setengah tahun telah memicu saya sebagai seorang pribadi untuk masuk lebih dalam. Memuliakan kemanusiaan dan ilmu pengetahuan dalam linier yang seimbang. Terlebih pada kelas ini, perlahan mengajarkan sebuah proses untuk mengenali liyan atau the otherness yang kerap menjadi topik khusus di antropologi. Hidup bukan hanya sekedar hidup, berbincang bukan hanya sekedar bualan sehari-hari, melainkan dari ilmu antropologi bahwa sebagai antropolog setidaknya terus membersamai untuk mengerti. Apa yang terjadi di sekitar, bagaimana manusia membangun hidup serta proses-proses manis, tajam, berliku, dan segala bumbu lain yang turut meramaikan. Dalam kesempatan ini tugas wawancara ini setelah beberapa kali berfikir kepada siapa saya akan berbincang, saya langsung berpikir soal ‘berlayar’ dalam arti sempit dan luas. Setiap manusia mengarungi lautan luas dunia untuk mengenali dan mencapai tujuannya. Namun, berlayar yang kali ini ingin saya kulik adalah kisah seorang teman SD yang setiap hari tengah mempertaruhkan dirinya demi apa yang ia rasa benar, lantas dengan gigih ia memperjuangkan.
Namanya Indra Kusuma, keputusan-keputusan hidupnya yang tidak biasa membuat saya senantiasa penasaran. Pertemuan kami terjadi dengan obrolan warung biasa, setelah dua tahun tidak bertemu, pandemi ini cukup mengilhami banyak hal. Terutama menghubungkan kembali kekerabatan yang mungkin dulu sulit sekali dijalin karena anak muda memilih merantau. Kemarin sekali saya sempatkan datang ke warung Indra yang sedang ia tutup. Obrolan warung yang biasanya kami alami ternyata belum cukup, saya mencoba menerapkan apa yang diterangkan dalam video singkat YouTube “Semi-structured interviewing as a Participatory Action Research method” oleh Madelon Eel Drink serta secuil kalimat dari tulisan Spradley (1979, 58) bahwa wawancara etnografi sebaiknya dianggap sebagai rangkaian percakapan ramah di mana peneliti perlahan-lahan memperkenalkan elemen baru untuk membantu informan merespon sebagai informan. Percobaan wawancara etnografi yang tentu masih jauh dari kata sempurna. Saya meminta persetujuan dari Indra untuk diwawancarai guna menunaikan tugas penulisan ini yang berujung pada percakapan ringan selama kurang lebih 30 menit.
Siapa pun dalam hidup pasti akan dihadapkan dengan keputusan-keputusan yang harus lekas diputuskan, meniti garis takdir yang ingin ditorehkan setiap hari. Sejak berusia 17 tahun, usia yang dianggap mulai matangnya seseorang mendewasa, Indra tidak ingin menempuh jalan biasa: berkuliah di universitas. Bahkan dari SMA pun dia memilih jalur tidak biasa dengan memasuki sekolah musik di Jogja. Misi yang terlihat sederhana dalam ungkapan sebaris kata, “I want to make money and make my own business, Bil,” katanya dalam bahasa Inggris. Stabil dalam finansial sebelum 30 tahun. Indra kemudian bercerita, tepat setelah lulus SMA pada pertengahan tahun 2018 ia mendapatkan informasi dari salah seorang seniornya untuk mengikuti sekolah pelayaran yang lokasinya di belakang Jogja City Mall selama tiga minggu. Indra mengakui, ia sempat memalsukan data dirinya bahwa ia pernah berpengalaman menjadi waiter di beberapa hotel bergengsi. Setelah berjalan minggu ke minggu, Indra menyadari kalau waiter bukanlah passion-nya. Setelah bernegosiasi dengan bosnya, bosnya melihat Indra ini seseorang yang passionate. Ia kemudian melakukan wawancara dengan orang Filipina di Jakarta. Setelah sekian ribu proses, Indra akhirnya bisa berangkat pada 26 April 2019 dengan kontrak kerja selama delapan bulan sebagai teknisi.
Ditempat di Kapal Genting Dream yang merupakan salah satu kapan dari Dream Cruise yang berpusat di Singapura. Kapal yang panjangnya 336 meter dengan 19 lantai. Sebagai seorang yang terbilang paling muda di antara pegawai lintas negara lainnya yang berusia 25-40 tahun cukup menguji resiliensi Indra. Sebulan pertama telah menuai keresahan tersendiri, tentang budaya dan profesionalisme. “Ada 4-6 gay Bil yang naksir aku. Aku merasa nggak nyaman, mau makan nggak jadi, dan cukup mengganggu aktivitasku,” pungkas Indra. Namun akhirnya Indra mencoba berefleksi apa yang harus ia lakukan adalah memulai perbincangan. Indra menyadari kalau mereka mungkin butuh rasa peduli, talking smoothly. Berusaha melihatnya bukan sebagai sebuah ketakutan yang selama ini menghantuinya. Perlahan mulai cair dan berteman seperti biasa, beberapa menghindar. Indra percaya bahwa 80% dari pembentukan profesionalitas dipengaruhi oleh lingkungan. Kebiasaannya ketika SMA yang sering telat bahkan menggunakan tiga hari dalam seminggu untuk membolos cukup menguras tenaga Indra karena harus beradaptasi dengan dunia kerja di kapal yang menuntutnya profesional, terutama soal disiplin waktu. Mulai terbiasa dan lekas hadir setengah jam sebelum waktu kerja atau pertemuannya dimulai.
Tidak hanya soal keresahan, Indra juga mengalami kenikmatan. “Tapi dibalik itu semua selama delapan bulan aku menikmati uang, jalan-jalan, dan ilmu pengetahuan. Ada banyak alat-alat yang mungkin di Indonesia baru ada beberapa tahun kemudian, apa ya bisa disebut muscle knowledge,” pekerjaan yang dilakoni Indra sebagai seorang teknisi ini on-call. Ketika dipanggil ia bekerja, namun tetap setiap hari selama kurang lebih enam jam tanpa ada jadwal yang strict. Kapal berlabuh pagi, maka ia akan bekerja pada malam hari, begitu pun sebaliknya. Indra telah menjajaki hampir seluruh negara-negara ASEAN. Terdapat 1700-1800 an pegawai, Indra jarang sekali bertemu Indonesia. Ia akan bertemu orang Indonesia jika pergi ke area merokok. Seperti dikatakan sebelumnya, Indra juga memiliki waktu untuk berjalan-jalan. Untuk keamanan, yang bertahan di kapal ketika berlabuh digilir sesuai abjad. Jika abjad I seperti awalan nama Indra tidak dalam tugas, maka ia bisa berjalan-jalan. Sebelum kapal berlayar, ada alokasi waktu 30 menit untuk latihan keamanan jika alih-alih kapal tenggelam, dan lain sebagainya. Diperuntukkan seluruh manusia di dalam kapal, baik penumpang maupun pegawai. Sedangkan secara khusus untuk pegawai, setiap dua minggu sekali mereka di-drill untuk keamanan.
Delapan bulan berlayar tanpa henti membuat Indra melakukan ritual khusus untuk dirinya demi mengatasi tekanan dan homesickness yang menyerang. Ia menyebutnya, psychology treatment. Beberapa di antaranya adalah menikmati kuliner minimal seminggu sekali dan bermusik. Saya mengakui memang Indra ini jago sekali bermain musik, terutama gitar. Setiap Minggu dan Rabu ia meramaikan bar di dalam kapal dengan petikan gitarnya. Dalam beberapa kesempatan juga ia bermain musik juga on-call. Perjalanan ini membentuk Indra menjadi pribadi yang lebih kuat, toleran, dan mudah beradaptasi. Di akhir percakapan yang saya pantik dengan pertanyaan apa yang membuat Indra tegas memilih jalan hidupnya serta apa yang membentuk Indra setelah bekerja di kapal pesiar. “Katakanlah setiap orang kan punya goals Bil dan setiap keputusan buat meraih tujuan kita itu ada konsekuensinya. Nah aku memilih konsekuensi yang bisa aku jalani, walaupun aku udah berhenti I’ll go overseas again one day” pungkasnya lugas. Tujuannya masih sama, financial freedom before 30. Perbincangan padat, ringan, dan dalam dengan Indra selama 30 menit memberikan banyak pelajar untuk saya, sepakat dengan kata Sutan Syahrir bahwa, hidup yang tidak dipertaruhkan tidak akan pernah dimenangkan.