Nabiloski De Pellegrini

 Your siblings: Dear Dek Daffa, Dek Hanun, Dek Gibran...


Kata Bapak, setiap menjawab pertanyaan teman-temannya, gilir kacang- wedok lanang wedok lanang. Adek-adekku selalu jadi urutan nomer dua setelah doa untuk Bapak Ibu, bahkan sebelum aku mendoakan mimpi-mimpiku (hehe).


Iya. Jadi aku empat bersaudara dan aku anak sulung. Oh wow oh, kalau bicara 'sulung' rasanya yang kebayang langsung beban ha ha ha. Apalagi adeknya banyak, tapi juga banyak banget nikmatnya sekalipun di pundak memikul batu-batu kecil sampai yang rasanya beratnya nggak kebayang kalau memikirkan masa depan. 


Tapi anyway, meskipun tentu banyak berantemnya dan nggak dipungkiri kalo aku paling galak, empat bersaudara ini buat seorang 'aku' belajar banyak hal banget setiap harinya. Termasuk jadi salah satu pertimbangan besar kalo aku mau ambil keputusan-keputusan. Aku konsisten manggil adek-adekku pake sebutan 'Dek' terlebih dulu. Bapak ini rasanya juga nggak terima kalau nama anaknya ada yang nyamain meskipun nama 'Nabila' sangat jamak ya sodara-sodara. Adekku Daffa, nama awalnya Daffa Ul Haq Albana. Pas Dek Daffa umur berapa tahun gitu, masih kecil. Ada dong yang namanya juga 'Albana' di Parakan. Ha ha ha, Bapakku langsung ngerubah nama Albana jadi Syahada.


Rasa-rasanya banyak banget peristiwa-peristiwa yang menguji aku dan adek-adekku dari jaman kita masih kecil sekali. Aku selalu yang paling cengeng, tapi sembunyi-sembunyi kalau adekku kenapa-kenapa. Merobek kata 'kuat' yang kerap disandingkan ke aku. Meskipun kita juga masih ada aja yang bikin berantem dan nggak akur, ya namanya juga sodara.


Dek Daffa, adek persis setelah aku. Kelahiran 2001, proses perjalanan Dek Daffa ini yang buat aku paling cengeng. Sosok yang ngalahan, sederhana dan apa adanya. Punya kiat pertemanan yang gila. Teman-temannya dimana-mana. Setia kawannya adekku ini nggak diragukan, meskipun secara akademik Dek Daffa kurang di antara kita berempat. Tapi skill-skill non akademiknya tiada tanding. Aku juga heran sendiri. Adekku suka vespa, kebangetan sukanya. Kalau Bapak cerita soal Dek Daffa, kita berdua seperti disayat-sayat bersama. Dan bersepakat kalau harus saling menguatkan. 


Dek Hanun, kelahiran 2003. Mungkin aki terlihat amat menyebalkan di mata Dek Hanun. Sosok yang paling bisa diajak gelut. Paling suka menyulut emosi Dek Hanun, tapi Bapak senantiasa mewanti-wanti supaya aku terus memperhatikan proses penyembuhan adek. Mendukung setiap langkahnya dan bercakap lebih dulu. Adekku ini orangnya bertolak belakang banget sama aku. Betah di rumah terus-terusan sampai banyak tetangga nanyain. Bahkan tetangga yang jarak rumahnya jauh dari kami. Dek Hanun sosok yang gigih, ulet, rajin, dan penuh ambisi. Tekadnya bulat, lantunan hafalannya menenangkan. Doakan ya semoga adekku bisa sekolah ke Mesir! Khansa Rosyada Hanun...


Yang terakhir,


Dek Gibran. Si bungsu yang selalu nggak mau disebut masih kecil. Sebelum Dek Gibran lahir, Bapakku sedang jatuh-jatuhnya. Sambil menengok kambinh peliharaan kami dan aku masih TK. Suatu sore Bapak bilang, "Bil ngenjing adik e dijenengi Ayub nggih." Aku lantas mengiyakan tanpa tau sebabnya apa. Perlahan aku tau, Nabi Ayub AS adalah sosok yang punya ujian berat banget. Dan saat itu Bapak sedang mengalaminya. Jadilah, Ayub Qonita Gibran


Keras kepala Dek Gibran ini tapi temannya juga banyak banget. Dek Gibran dari kecil, paling nggak enggan menunjukkan kesedihannya, paling nggak gengsi. Sewaktu Dek Daffa ditimpa musibah besar dan bertepatan harus ke pondok, Ibu nangis pas telponan sama adek sewaktu aku jenguk sama sepupu. Dek Gibran juga nangis, aku tanya pas pulang, "Nggeh Ibu nangis, Ban dadi nangis."


Polos sekali. Dek Gibran ini relasinya juga bukan main, temannya siapa aja. Tapi masih mudah kebawa arus. Hafalannya adek paling mantab setelah Dek Hanun. Dek Gibran full days jadi imam tarawih di rumah kemarin. Tapi sumpah Dek Gibran ini paling menguji emosi dan bikin jengkel wkwkwkw.


Intinya mereka ini yang paling aku pikirkan pertama kali, bahkan sampai nanti sampai mati. Mungkin ini terlihat klise sekali dan tentu nggak terungkap secara langsung kalau aku berhadapan sama adek-adekku.


Tapi mohon doanya ya sodara-sodara. Bapak Ibu sungguh keren, nggak pernah membeda-bedakan kami dan selalu percaya kalau kami punya potensi. Punya jalan ninja masing-masing, saling mewarnai. Aku, sebagai anak sulung selalu jadi tampuk dan tumpuan mendengar cerita-cerita orang tua, terutama Bapak. Yang paling gas tanpa rem untuk mengingatkan aku, kalau sebagai seorang aku harus selalu mengingat adek-adek. 


Kata Ibu, "Bila nek pun sukses ampun lali kaleh adek-adek nggeh."


Nggeh Bu. Jujur, kalau nulis soal keluarga aku pasti netes. Antara kangen, sayang dan menyesal kalau aku ini kadang suka galak dan berlebihan ke adek-adekku. 


Just so you know adek-adek, I love you more than anything, than someone I love🖤 


nabiladinta.

Yogyakarta, 13 Oktober 2020



Ayayy banyak banget. Tapi karena ini ditulis untuk 11 Oktober, 

I would love to talk about a bestfriend. His birthday is on that day peepss.

Yey Happy birthday man!

He is my best friend since 8 years ago. Lagunya Adhitia Sofyan yang 8 tahun cocok banget sih buat sementara menggambarkan pertemanan ini. Dia sosok teman yang setia 'mendengarkan' cerita-ceritaku yang mungkin bahkan dia nggak mencapai radar untuk sampai mengenal orang-orang yang ada di dalam ceritaku. Tapi aku cukup tau, kalau temanku ini sosok yang turut membahagiakan hari-hari nabiladinta! Frekuensi kita ketemu terbilang jarang, dalam setahun dulu sebelum akhirnya temanku pergi jauh nun jauh di sana, dalam setahun bisa hanya dalam hitungan jari. Nggak sampai lima kali.

Meskipun kedekatan kita juga naik turun, tapi siapapun yang tanya aku selalu mantab katakan kalau dia memang teman dekatku. No matter what. Dan lirik lagu 8 tahun bagian ini, "Ingatkah waktu kau pergi daun dan ranting hilang warnanya"

Wah sungguh terasa. Tapi perlahan aku belajar menyadari, ya inilah perjalanan. Kadang kita seperti musafir tersesat di padang, berjalan dengan kompas masing-masing. Mempertaruhkan segalanya yang kita rasa benar.

Berjalan masing-masing dan berusaha saling mencocokkan. Aku dan temanku ini, kita beda ritme dan tujuan (barangkali). Tapi hal yang aku syukuri dan ia katakan, "Kalo misal salah satu dari kita sampe di puncak lebih dulu. Saling menarik yaa."

Kata-katanya magis dan menguatkan. Walaupun nggak jarang juga menjengkelkan, ya namanya juga teman. Ada pahit masam kecut manis yang bersama kita rasakan, saling tarik ulur juga wajar. Temanku ini, teguh pendirian dan punya banyak seni menaklukkan pertemanan. Bicaranya penuh intrik, matanya menatap tajam, dan mulutnya berbisa. Tapi seringkali ia sembunyikan lewat hal-hal konyol dan tawa. Kayaknya dia punya banyak kepribadian, melambung kesana kemari tapi tetap berdiri di atas satu kaki.

Mari tepuk tangan!

Satu yang pasti, dia misterius. Sulit ditebak dan penuh kejutan. Menjengkelkan kan. Karena misterius jadi cukup sampai di sini, deretan kata singkat yang ingin aku jadikan epilog tentang temanku ini adalah:

Semoga suatu hari nanti kita bisa bertemu di persimpangan yang sama, berbagi segalanya dan saling mempertemukan radar.

Mengutip kata Fafad,

Selamat menjulang gadang bro.

Buona notte,

nabiladinta.

Yogyakarta, 12 Oktober 2020

 a serious note: a note to myself

Hidup menawarkan banyak arena pertarungan. Sebagian dari kita pasti pernah mempertanyakan soal kebebasan dan kebahagiaan.

Dari sekian ribu kisah yang dituturkan kesana kemari, seorang teman pernah bercerita menanggapi tweet-tweet yang menggelitik dari seorang teman yang lain. “Nab, dari dia aku belajar kalau kita semua tu berhak bahagia.”

Salah satu hal yang paling rumit menjadi seseorang yang berproses menjadi dewasa, adalah setiap hari kita sama-sama berusaha sekuat tenaga mendefinisikan kebahagiaan. Bukan, bukan karena kita tidak tau apa itu kebahagiaan. Melainkan, kita merasa harus menjadi jati diri sendiri sementara di dunia yang kadang brengsek ini meminta kita terus bertoleransi. Dalihnya masih sama: untuk kedamaian di hati. 

Kita seakan terus mencari setiap hari, padahal (mungkin) bahagia adalah tentang menyadari. Menyadari setiap hari kalau kita semua berhak mencapai kedamaian di hati. Adalah suatu proses panjang menjadi seseorang yang dewasa, kita seakan sulit mengatakan bahwa bahagia kadang sesederhana minta dibelikan es krim dan dituruti atau story instagram kita dilihat seseorang yang kita dambakan. Kita terlalu lelah mendefinisikan kebahagiaan sampai-sampai lupa, bahagia bukan hanya soal mendefinisikan tetapi juga penerimaan. 

Bukan masalah benar dan salah, bukan soal kita kuat dan perkasa. Mencapai kebahagiaan juga boleh mengakui kalau kita pernah lemah dan tak berdaya. Menjadi seseorang yang bahagia juga tidak apa haus kasih sayang, namun jangan lupa untuk saling menyayangi.

Di tengah hidup yang serba mengejutkan. Jangan lupa, setiap pagi kita berhak merayakan sesuatu yang juga patut kita takhlukkan.

Semoga di sela-sela kegelisahan kita menemukan sudut kebahagiaan. Tetap bahagia dan membahagiakan, serta tetap menjadi dirimu yang kamu rindukan. 

Selamat malam,

nabiladinta
Yogyakarta, 10 Oktober 2020


 

 “Music is emotional, and so our listening often signals something deeply personal and private,” Pelly (2019) said.

It’s pretty true. A natural antidote.

Artikel yang aku ulas untuk Antropologi Teknologi minggu ketiga yang berjudul “Big Mood Machine” sedikit banyak menginspirasi writing challenge ke #8 ini. Terimakasih Mas Indy, dosen terbaik sepanjang masa.

Buat seorang ‘nabiladinta’ the power of music ini sungguh nyata. Masa-masa merasakan pahit kelam manisnya hidup, musik beneran bisa jadi teman perjalanan yang jujur tanpa banyak protes dan menghujat. Musik seolah-olah mengerti, kalau ‘saling mendengarkan’ itu sesuatu yang seharusnya terjadi tanpa tedeng alih-alih. Jadi teman perjalanan paling setia selain motor di sela-sela malam dingin nan panjang di penghujung hari sembari ber-monolog ria di jalanan, 

Musik sangat personal dan privat. Kalau boleh aku bilang, kita bisa secara cepat menciptakan private space meskipun di tengah kerumunan, sesederhana kita pasang earphone ke telinga. Dan hanya seolah-olah dunia berputar antara dirimu dan musik yang kamu putar dari playlist-mu. Lagu-lagu kesukaanmu, lagu-lagu yang menjadi sentilan pertama untuk diajak bersama melintas memori mungkin atau barangkali sekedar boosting-mood.

It’s powerful.

Lagu-lagu tertentu secara otomatis melemparkan kita semua ke momen-momen yang mungkin udah nggak pernah singgah tapi keinget lagi sengaja atau nggak sengaja dengerin ini. Atau misal lagi kangen-kangennya sama seseorang, kalau aku, bisa gila dengerin lagunya sampai berkali-kali dalam jangkauan hari yang nggak sedikit. Sampai sengaja aku buat playlist di spotify. Saking kangennya.

“……each of these “moments” there is an animated trajectory of a typical ‘emotional journey’…..”

Lintasan animasi dan tipikal perjalanan emosi ini mengobrak-abrik imajinasi dan perasaan, mengetuk tanpa permisi. Untuk aku, ada beberapa momen yang amat sangat membekas dan sampai tua aku nggak akan pernah lupa sama lagu ini. Never.

Pertama, photograph – Ed Sheeran.

Nabila nggak akan pernah bosen, lagu ini menandakan salah satu momen besar di hidup seorang ‘aku’. Momen-momen semasa menjalani Indonesia-United States Youth Leadership Program. Rasanya sesak. Pertemuan sama temen-temen Amerika mungkin sulit diulang lagi, nyatanya sampai sekarang cuma satu yang masih bisa aku temui. Sisanya nihil, aku ucapkan di rentetan doa-doa panjang setiap harinya. End song ini sungguh cantik dan manis.

Kedua, dua lagu dalam satu paket.

Take me home country roads and Ryhmes and Reasons – John Denver

Bisa-bisa aku nangis semalaman, menggusar pikiran dan mengacak-acak hati seakan-akan dunia berhenti dan jahat. Malam terakhir tidur di rumah Italia. Lagu yag tadinya baik, jadi jahat seketika waktu aku harus balik ke negara sendiri. Kedua lagu ini selalu menemani hari-hari aku dan Mama Papa di rumah, di sela-sela makan siang dan mempersiapkan makan malam. Meskipun Papa sama sekali nggak bisa bahasa inggris, tapi John Denver jadi salah satu penyanyi favorit Papa Aurelio De Pellegrini. Juga jadi teman perjalanan yang aku putar berkali-kali di camper van sewaktu keliling Italia tengah sampai selatan selama 9 hari bareng mereka.

Take me home country roads, menyiratkan cerita lebih. Naasnya aku baru sadar di Italia. Lagu ini betul-betul tersurat menceritakan Blue Ridge Mountains dan Shenandoah River di West Virginia. Dua tempat yang memberikan ‘ruang’ sewaktu ke Amerika dulu. Tempat aku dan teman-teman berefleksi bareng sepasang suku Indian dan hidup tanpa teknologi di salah satu vila di pegunungan Shenandoah, bukan main-main kita juga tubbing di sungai jernih Shenandoah.

Country roads, take me home
To the place I belong
West Virginia, mountain mama
Take me home, country roads
All my memories gather 'round her

Please, bring all those memories back :(((

Ketiga, finchè la barca va – Orietta Berti

Aku bisa gila selama tiga hari, putar lagu ini berkali-kali sepulang dari kota cantik Siena. Lagu ini berkenalan sama aku atas sebuah ketidak sengajaan. Di Siena yang cantik, tepat di piazza nya ada sekolompok grup musik jalanan Italia yang secara nggak sengaja pula ada sepasang nona dan tuan manis yang lagi foto pre-wedding. Sebagai sebuah hadiah, grup musik ini nyanyiin lagu romantis finchè la barca va dan spontan semua orang yang ada di sekelilingnya joget, pasangan nona tuan tadi dansa dibalut gaun putih yang anggun dan jas hitam pengantin yang elegan.

Di tempat itu juga, atas sebuah restu semesta tanpa rencana aku dan Akbar ketemu Zikrina dan host family-nya. Bisa-bisanya setelah setengah bumi berevolusi terpisah. Exchange year is full of surprises you know!

Music helps us make a connection with others. Music can be a tool for coping and healing during difficult times. Music allows us to evaluate difficult emotions. Soothing, enjoyable music is a natural antidote to the restlessness and exhaustion that accompany frustrating circumstances.

Musik itu soal selera dan rasa, bukan soal kamu keren atau gaul, karena lagi-lagi ini soal rasa. Biarkan siapapun mendengarkan apapun. You do you, ini playlist-ku nabiladinta on spotify. Barangkali kapan-kapan kita bisa ngobrol dan berbagi playlist kesukaan. It's a memory <3

enjoy your natural antidote,


nabiladinta.
Yogyakarta, 9-10 Oktober 2020


 
Danggg! LITTLE WOMEN (2019).

"...women, they..  they have minds, and they have souls, as well as just hearts.”

Jujur, sebenernya banyak banget favorite aku (hehe) walaupun aku bukan orang yang film addict banget, tapi siapa sih yang nggak suka nonton. Let me pick one!

Film mahakarya Greta Gerwig yang berdurasi 2h 4m ini sudah ingin kutonton sejak liat trailer-nya pasca nonton JOKER di XXI. Namun, baru dapet kesempatan nonton setelah dapet giveaway Netflix dari Mbak Ayunda cantik :))

Semenjak ikut kelas english literature di Italia aku jadi lebih aware sama konten yang dilestarikan sastrawan-sastrawan bertahun-tahun lalu, karena di kelas juga sering nonton haha tapi literature-literatur yang berlatar belakang Kerajaan Inggris. Little Women (2019) ini punya tempat spesial di hati para penikmat literatur dan rakyat Amerika Serikat. Greta Gerwig sungguh meramu kisah ini dengan amat epik nan apik dari kisah klasik karya Louisa May Alcott, buku yang terinspirasi dari kisah hidup penulis sendiri.

Film ini adaptasi ketiga, Greta Gerwig edan pisan, alurnya maju-mundur tapi nggak bikin bingung. Permainan kontras warna, pengaturan plotnya, dan momennya bintang lima.

Little Women (2019) ini bercerita tentang kakak beradik perempuan dari Keluarga March, ­girls power! Mereka adalah Meg, Jo, Amy, dan Beth. Sedangkan Ayah mereka pergi perang, jadilah seorang Ibu yang merawat mereka. Tumbuh dengan sangat keren, karena masing-masing dari mereka punya bakat. They’re all just sooo talented women. Hidup di masa perang sangat nggak mudah, mereka berjuang melawan stigma terhadap perempuan. Dicekam kemiskinan. Ibu Mermee mereka super woman banget, I adore her!

Hidup bertetangga sama Keluarga Lawrence, cucu mereka Laurie akhirnya bersahabat sama putri-putri March. Kedua keluarga ini pun saling mengisi. Nuansa romantic dan humor serta pesannya dapet banget.

Mungkin udah banyak yang mengulas lebih rinci soal film ini. Tapi yang ingin aku highlight adalah sebagai perempuan di masa mana pun kita harus empowering each other, hand in hand together. Karakter Jo yang paling aku suka, karena aku suka nulis ya Jo ini bener-bener bisa kasih suntikan magis ke seorang ‘aku’. Ayo semangat belajar nulis Bila! Dia sungguh yang paling ngotot dan nggak ingin menikah karena menikah di masa itu dinarasikan sebagai seorang yang nggak berdaya dan keputusan jatuh kepada seorang laki-laki ya untuk menopang ekonominya. Jadi kalau kamu perempuan kaya, nggak menikah itu nggak papa.

Idealisme Jo ini menyakitkan dan perih banget rasanya, dia nggak memungkiri kalau merasakan kesendirian.

“You know, I just- I just feel… I just feel like women, they..  they have minds, and they have souls, as well as just hearts,”

“And they’ve got ambition and the’ve got talent, as well as just beauty. And I’m so sick of people saying that love is just all a woman is fit for. I am so sick of it.”

“But I’m- I’m so lonely.”

Kata Jo ke ibunya sambil bicara gemes dan menahan tangis.

Jo ini mirip Kartini versi barat.

Hebatnya, putri-putri March ini bakatnya macam-macam dan saling mengisi serta merayakan hobi mereka bersama, saling menyayangi dan berakhir pada resolusi manis setiap kali mereka harus berhadapan dengan konflik. Independensi perempuan diuji. Pada akhirnya, segala perjuangan berat dan terjal pasti akan membuahkan ketidak sia-siaan. Percaya ini.

Satu hal yang aku belajar banget adalah ketegasan stance mereka, terutama Emy dalam menyikapi hati dan cintanya, ketulusan dalam mencintai. Kalau kata Fafat di chat kita setelah aku nonton filmnya, well ini karena Fafat udah nonton juga, gini,

Makanya cinta tu cinta aja. Jangan cinta engga engga.

Ketawa banget aku Fat, he he he.

Couldn’t talking more about this film because it is so well-filmed. TOP!

Setiap peran di film ini mengajarkan Nabiladinta pelajaran kehidupan. So far, this is my fav one, but actually, generally speaking I love all films that I’ve watched. Menyimak kisah lain di dunia ini sungguh menguatkan, menginspirasi diri sendiri biar bisa membangun kisah terbaik setiap harinya.

Selamat malam!

 

I am alone but not lonely,

Warmest hug,

 

nabiladinta.

Temanggung, 7-8 Oktober 2020

 I won’t be rootless.

Dari Bapak Ibu, aku belajar mencintai kekuatan pertemanan dan ilmu pengetahun. Jangan kolot gitu lho jadi orang.

Membicarakan siapa orang tua kita tanpa sengaja melemparkan kita semua kepada memori-memori di belakang bagaimana kita lahir, tumbuh dan mendewasa. Tidak semua kehidupan hanya berisi senang, pasti ada aja yang nyebelin tentunya, pasti ada banyak protes-protes atas takdir kehidupan yang sebagian darinya nggak bisa kita kendalikan, nggak bisa kita minta. Yang jelas, kita nggak pernah bisa meminta lahir dari orang tua yang seperti apa, kelas sosial yang bagaimana, dan jadi anak ke-berapa.

Dan takdirnya seorang ‘aku’, lahir sebagai sulung dari Bapak Ibu yang se- kecamatan aja, jadi sudah pasti nggak pernah ngerasain merantau.

Tapi nggak papa, budaya yang sama, asal yang sama tidak lantas memberhentikan upaya menelusuri kekayaan akar-akar kita ke atas dan ke atas lagi dan ke atas terus.

Kalau membayangkan Bapak Ibu, rasanya ada pertanyaan berat yang berkelindan di kepala, gimana setidaknya aku bisa mendidik anak-anakku seperti mereka. Walaupun nggak dipungkiri, ada beberapa hal yang aku nggak suka dari cara mereka, tapi tetap lebih banyak yang berperan besar ketimbang ketidaksukaan aku, menimbang kalau nggak ada manusia yang sempurna.

Bapak dan Ibu mungkin sama-sama tidak menyangka kalau akhirnya mereka berjodoh dan melahirkan empat anak yang kayak gilir kacang, kata orang Jawa. Wedok-lanang-wedok-lanang… Pertemuan mereka terbilang sangat singkat, om-ku berperan besar. Karena Bapak dan om satu organisasi. Cerita mereka berdua terbangun di atas kepingan-kepingan cerita orang lain dan tentunya melibatkan orang lain, yang tidak lain dan tidak bukan adalah teman-teman mereka sendiri.

Memang senggol-senggolan antar teman itu dari zaman manusia purba ada kayaknya, ha ha ha.

Apa ya, ada hal yang sangat aku syukuri dan sangat berpengaruh ke kehidupanku atas berjodohnya Bapak Ibu. Sesuatu itu adalah, aku turut dekat dan berteman dengan teman-teman Bapak Ibu, bahkan dekat dengan anak-anak teman Bapak Ibu. Karena teman-teman Bapak Ibu juga turut berjodoh satu sama lain. Bahkan ada yang memang Bapak comblangin, hehe. Bapakku ini jago banget nyomblangin. Jadi kadang aku dan beberapa temanku membayangkan, apa besok anak-anak kita juga bisa berteman satu sama lain.

Kehidupan aku bersama Bapak Ibu bisa dibilang nggak mudah, harus pandai-pandai mengelola hati dan berhadapan dengan orang-orang yang brengsek di luar sana. Dari mereka, aku belajar memperlakukan anak-anak dengan adil. Menimbang kemampuan mereka, tidak melulu terkungkung dengan konstruksi sosial yang ada. Bapak Ibu aku sangat nggak kolot, mengajarkan aku dan adek-adek untuk mencintai kekuatan pertemanan dan pengetahuan.

Kalau mau tau, gimana Bapak dan Ibu-nya aku, sini main ke rumah (hehe).

Sebenernya aku pingin tau gimana teman-temanku atau siapa pun yang mengenalku dan sempat ketemu Bapak Ibu memandang mereka. Kalau kata Mbak Dewi suatu hari, karena dia volunteer AFS Jogja- home interviewer sebelum berangkat ke Italia, melihat kalau Bapak Ibu-ku ini “nyentrik” dalam mendidik aku. Izzy, temanku seorang Amerika juga bilang, 

“Bapak Ibu kamu keren Nabila,” sambil ngacungin jempolnya.

Iya Izzy sempat ngopi sama Bapak Ibu di Jogja, menyalurkan funding yang dilakuin Izzy untuk aku sebelum berangkat ke Italia. Tapi sayangnya aku di Jakarta :(

Sedikit tulisan ini nggak cukup menuliskan tajuk “Your Parents” they both are my energy, my life. Allah, please showering my Bapak Ibu with love, guidance, and protection. Put them in Jannah, give them happiness in dunya akheerat.

Love them in any way you can,


nabiladinta.

Temanggung, 6 Oktober 2020

 It is hard to tell, really huhuhu

But seriously speaking, I am happy!

Senada sama lirik lagunya Oppie Andaresta, I’m single and very happy.

Di usia yang dibilang bukan anak kecil lagi, topik soal beginian sedang hangat-hangatnya. Tapi entah aku yang memang belum berani menjalin ‘sesuatu yang serius’ atau gimana ya, being single is FUN. Atau barangkali aku masih belum berani keluar dari ‘konstruksi sosial’ yang melanggengkan sesuatu yang kalau perempuan mulai duluan itu wagu.

Sungguh, memporak-porandakan konstruksi sosial ini nggak mudah. Walaupun demikian, mau sulit atau mudah ya stance tetaplah harus jelas. Nggak dipungkiri juga datang rasa hampanya, membanding-bandingkan dengan teman-teman yang sekedar ‘telihat bahagia’ dan bersanding dengan seseorang lalu punya one call away yang pasti.

Tapi tetap, tidak semudah itu juga ferguso. Nggak semua hubungan terlihat hanya manisnya aja, kan.

Lama-lama juga terbiasa, serius jadi terbiasa dan jadi penikmat cerita sahabat-sahabat sendiri juga udah kebahagiaan tersendiri, tapi juga sedih banget kalau lihat sahabat sendiri patah hati yang aku nggak tau harus berbuat apa, karena pengalaman sampai patah sepatah-patahnya ya belum pernah (eh semoga juga jangan haha). Mungkin rasa yang pernah aku rasain, galau cemburu mungkin tapi berujung berusaha sekuat tenaga untuk tetap bisa menenangkan diri dan menormalkan kembali gelombang perasaan. Jadi tetap menyambut hari ke depan dengan tenang dan happy, let yourself go…

Kata seorang temanku di sela menasihati, ya stance kamu harus jelas Nabila jangan mau cari aman. Harus berani ambil keputusan.

Menyukai seseorang memang bukan pekerjaan mudah, berteman dengan semuanya tanpa pandang bulu juga bukan pekerjaan mudah buat semua orang. Everyone has their own way and limit, you shouldn’t judge everyone else’s decision, we should support each other in any way we can ok?

Seorang aku yang terbiasa nggak papa sendiri jadi betulan menempa, karena pergi sendirian jaman aku masih jadi anak madrasah itu aneh banget bagi kebanyakan temanku, mereka terbiasa ada yang menemani untuk sekedar jajan atau jalan kemana gitu. Ini konteksnya pertemanan ya. Sedangkan aku, ya biasa aja, sendirian bukan berarti nggak ada teman (hehe). Dalam banyak kesempatan aku juga terbilang sering pergi gerombolan atau sekedar quality time sama beberapa teman.

It is a short definition of single and happy, for me.

You just have your own time and life if you’re alone, you can manage everything on your own. You have your own freedom with nobody ruins you. A whole new world, ini lebay tapi nggapapa memang kadang begitu rasanya.

Sedikit disclaimer, walaupun aku pernah merasa sedih banget dan nangis sendirian jatuh dari motor tengah malam di jalan dekat sawah-sawah dan tiba-tiba mikir, “Walah kalo kayak gini rasanya pingin punya doi yang langsung bisa nolongin.”

Akhirnya bangkit sendiri karena memang nggak ada orang yang bisa nolongin, yaiyalah tengah malam. Tapi akhirnya ada dua teman cowokku bantuin, thankyou men that’s how friend is.

Ha ha ha, dasar Nabila.

Tapi itu sementara aja. So, being single is ok, I am happy tho. At the end, it’s a choice ya.

 

Good night,


nabiladinta.

Temanggung, 5 Oktober 2020

 I actually have many list of places "Where to go", lol. But let me tell you some!

Aku beneran addict banget kalau ngomongin ingin banget kemana. Karena satu dan lain hal, untuk ‘setidaknya’ memuaskan batin diri sendiri, ya salah satu jalan ninjanya adalah baca atau nonton video tentang tempat itu. Ini tempat-tempat yang pingin aku datangi (banget) terhitung sejak tiga tahun lalu.

1.    Maroko

Aku mulai mengidamkan banget Maroko, semenjak tau siapa Ibnu Batutta dan kata-kata magisnya, “Traveling – it leaves you speechless, then turns you into a storyteller.” – Ibn Battuta. Ajaib banget mungkin beberapa temen terdeketku bosen kali ya denger aku selalu lebay kalau bilang pingin banget ke Maroko. Mungkin pencarianku belum tajam-tajam banget, tapi semenjak baca artikel dari Aljazeera yang judulnya “Discovering the spirit of Ramadan in Morocco” aku semakin tergila-gila, meskipun aku tau cuaca Maroko ekstrem sekali sodara.

Tapi Tuhan memang Maha Baik, meskipun aku belum punya kesempatan ke sana, aku didekatkan dengan segala hal yang berbau Maroko. Di Italia dulu, aku Tommaso dan Papa Mama sering banget cerita tentang Maroko, lalu bilang, “Morocco e bellissimo Nabiloski, banyak banget temen-temenku yang kesana buat climbing.” Intinya Maroko ini disepakati sebagai negeri yang indah. Sewaktu musim salju ada ritual menggelar karpet merah, unik banget pokoknya.

Sampai akhirnya aku sungguhan didekatkan dengan sebuah keluarga Maroko, aku bisa bahagia setengah mati waktu Chaimaa, imigran generasi kedua dari Maroko duduk di sampingku waktu pulang naik bis, pulang dari sekolah di Italia dulu. Dia modis abis, fashion taste-nya bikin geleng-geleng, manis sekali. Perlahan aku mulai dekat dan akhirnya bisa dating main ke rumahnya yeay.

Ibunya Chaimaa nggak bisa bahasa italia, tapi baik banget, dari ekspresinya penuh kehangatan. Waktu itu bulan Ramadan, beliau nyapa dan meluk aku, “Ramadan Kareem Nabila!” sambil tersenyum lebar dan bicara bahasa Arab. Chaimaa bantu aku terjemahin, selain Chaimaa dua kakaknya dia juga baik banget. Sampai aku disuruh tidur di sana, Maryam si sulung udah nikah dan suaminya orang Maroko. Dia terbilang cukup sering pulang ke Maroko,

“Nabila aku bakal seneng banget kalau kamu ke Maroko, nanti aku temenin jalan-jalan.”

Selain itu yang buat aku jatuh cinta sama Maroko adalah teh-nya!

Salah satu momen buka puasa paling seger dan indah, meja penuh makanan khas Maroko manisan dan tehnya super banget, huhu. Ibu Chaimaa bikin sendiri, dan Chaimaa langsung ngepraktekkin gimana cara minum dan adat istimewa dituangnya teh Maroko dari tekonya, “Nabila kita punya budaya minum teh ini. Coba kamu liat,” dia sambil nuangin tehnya penuh seni ke gelas yang sepaket dan amat cantik.

Semenjak saat itu aku sungguhan mengidamkan teh mint Maroko buatan Ibu Chaimaa yang akhirnya aku coba racik sendiri dan tanam mint di rumah, ya walaupun nggak bisa seenak punya mereka, huhu. Pun aku masih berdoa terus, semoga ada keajaiban dating dan tiba-tiba ada teko plus gelas cantiknya di rumah (hehe).

So, please Morocco take me there!

Atau doakan ya sodara-sodara aku bisa dapetin Ibnu Batutta Scholarship untuk kursus bahasa arab, rencananya setelah lulus kuliah mau aku ambil. Sengaja banget ini searching sampai nemu ini beasiswa, aku akan berusaha sekuat tenaga pokoknya, doakan ya!

Manis banget mereka, kata Baba Chaimaa, “Pulang ke rumah ini Nabila kalau kamu ke Italia lagi.”

Mamma juga menghadiahi aku buku perjalanannya Ibnu Batutta, karena setau itu kalau aku pingin ke Maroko, “Kalau kamu kesana, aku dan Papa bakal nyusulin kamu ke sana pasti!”

2.   India

Hampir banget aku ke India haha, tapi waktu itu aku belum pingin ke sana. Aku menolak ditempatkan di India buat AFS, mimpiku kan ke Swiss, ke Eropa negara 4 musim tapi apalah daya Swiss cost-nya termahal se- Eropa.

India jadi spesial karena Alice Tormen sahabatku di Italia selepas pulang short-exchange sebulan ke India jadi gila banget. Sering pakai pernak-pernik yang India banget ke sekolah. Bergaya mentel ala anak-anak India. Kata guru english literature-ku waktu di Italia. Alice nggak berhenti kasih aku rekomendasi film-film India atau sambil ketawa-ketiwi kita nyanyi, "Kuch kuch ho ta hai," Hahaha so fun darling I love youu <3 

“Mereka yang ke India pasti bisa culturized gila-gilaan dan ingin terus kembali.”

Dan itu kenyataan, Irene host-sisterku juga segila itu setelah pulang exchange dari India setahun. Kata Mamma, dia bener-bener orang lain Nabila sewaktu pulang. Segala hal tentang India melekat di Irene.

Karena dekat dengan mereka aku jadi sungguhan ingin ke India.

Oktober dua tahun lalu, sampai aku rela pergi ke perpustakaan kota demi baca series traveler dari majalah National Geography “Pengembaraan Paling Berkesan” karena nggak bisa dipinjam. Dan itu juga tentang India! Sampai aku list sungguhan di madding sebelah ranjang, di kolom “Where to go”.

Percakapan manis dan terkenang dalam ingatan juga sempat diucapkan Oase, sewaktu aku ke rumah sahabatnya, Lena di South Tyrol Italy. Kami video-call an.

“Maybe we can travel India together someday,” Oase said.

“OMG YESS!” sepakat aku dan Lena mengamini, dan aku masih terus memimpikan ini sama Lena di sela-sela obrolan kita via whatsApp.

I hope one day I could go and stay there for long time… iri banget pas 2019 lalu Irene, Anna, dan Mamma pergi ke India. Mari memimpikan Jaipur, Rajasthan, Punjab, Kashmir, lalumelompat ke Nepal, waaaaa

So, these are the two places I want to go, it contains so many stories behind. Lets say aamiin together, I’ll pray for you too! Where do you want to go dear?

Make a dream because the world is as marvelous as you make it :)


Let yourself go,


Nabiladinta.

Temanggung, 4 Oktober 2020

 

 

 A memory.

Agak sulit sebenernya buat memilih satu memori, karena aku pikir banyak banget memori-memori yang melekat dengan sangat dan aku ingat detailnya sampai saat ini. But, lemme choose ya,

Tepat empat tahun, periode caketum-an IPM Mu'allimaat tahun 2016 lalu. 

Dan aku dinobatkan sebagai salah satu calon ketua umum IPM Mu'allimaat, disandingkan sama dua sahabat mautku, Sabrina Rahma dan Alfreda Fathya. Percaketum-an ini sungguh menguji mental, mendobrak-dobrak pertahanan kita masing-masing dan saling digesekkan satu sama lain oleh keadaan. Tanpa sadar, kita dipertontonkan di hadapan seribuan penduduk Mu'allimaat satu bulan-an.

Masih ingat sekali, aku semacam nggak punya jeda untuk diriku sendiri. Menjadi Ketua FORTASI yang harus dipersiapkan matang selama sekian bulan, mengurus organisasi kesayangan aku di rumah Temanggung, selepas FORTASI usai harus segera melayang ke Surabaya jadi fasilitator jambore se- Jawa selama seminggu dan harus pulang duluan menerjang macetnya Surabaya di hari Sabtu, karena Minggunya ada penutupan FORTASI se-Jogja nggak mungkin banget aku sebagai ketua nggak menghadirkan diri. 

Di kereta aku cuma bisa bergetar nangis saking lelahnya. Sendirian lagi, padahal temen-temen muat muin yang lain masih punya persediaan hari lebih banyak dan bisa jalan-jalan kesana kemari. Adrenalinku sungguh diuji.

Belum lagi, sampe Jogja banyak drama. Persengketaannya ada-ada aja. Tapi senangnya bukan main, akhirnya dapet juara! It's paid off Nabila :))) 

Naasnya, memang aku bener-bener nggak tau diri. Aku harus dipaksa sakit biar mau berhenti. Hampir seminggu aku cuma bisa terbaring di kasur, panas dingin dan pusing tujuh keliling. Eh taunya tiba-tiba ada surat keputusan kalau aku harus melewati periode caketum. Harus segera bikin visi-misi. Aku sungguhan lagi nggak berdaya, nggak bisa memaksimalkan pikiran dan hati buat berpikir keras visi-misi IPM buat satu periode ke depan. Banyak yang harus dipertaruhkan.

Sebab terus diburu, aku terpaksa sambil tengkurang di kasur, di lantai luas kamar asrama sambil menulis visi-misi. Berat banget rasanya nahan pusing di kepala, jalan aja nggliyeng banget harus dituntun. Intinya aku ini orang yang jarang banget sakit, tapi bisa separah itu kalau drop. Akibatnya, visi-misiku jadi yang paling pendek :)

Gapapa Nabila, at least you did.... you've gone through those tough times.

Aku antar sendiri ke Mbak Enggar selaku Ketum saat itu. Sampai udah agak mendingan, banyak banget fitnah yang muncul. Entah sengaja atau nggak ada beberapa teman yang mengadu domba aku dan Sabrina. Sepele banget masalahnya, huhu. Tapi Sabrina jadi ambil hati, akunya nggak kuat dimusuhin Sabrina sampai didiemin padahal seharusnya kita saling support karena sama-sama sedang di posisi caketum :(

Pikiranku ke distract banget. Fisikku nggak kuat, dan di banyak malam yang panjang aku cuma bisa nangis di asrama, kadang ditemani Malwa. Tapi aku merasa harus bisa tampil kuat dan cerah di pagi hari. Rasanya dulu aku bohong banget ke diriku sendiri, karena posisiku sebagai caketum yang banner berisi foto plus visi-misiku di pajang di tengah lapangan. Nggak lucu banget kalau aku malah menampilkan muka kusut dan terlihat lagi bermasalah. Aku tau waktu itu aku 'memaksa' diriku untuk kuat dan mencoba bilang 'gapapa' setiap hari.

Aku sungguh grogi sekali waktu harus orasi. Bukan main.

Aku merasa nggak maksimal, ada sedikit penyesalan sampai sekarang. Walaupun ya aki tau aku nggak bakalan jadi ketum karena aku lebih memperjuangkan untuk berangkat AFS. Tapi kan setidaknya tampil maksimal bukan suatu keputusan yang salah. Deg-deg annya bukan main dilihat 1000-an anak se-madrasah, diuji guru-guru, dan alumni. 

It was so challenging you know Nabila, it was so hard but you have to know that you made it dear...

Singkat cerita, di antara ketegangan yang semakin genting setiap hari. Aku, Sab, dan Fafat memutuskan untuk ngobrol intimate sendiri. Suatu sore di lapangan, di bawah tiang bendera. Kita ngobrol bertiga, aku dan Sab sangat tegang. Berusaha mengklarifikasi ternyata secara nggak sengaja kita di-adu domba, sengaja banget kayaknya itu emang huh. Fafat bingung, haha. Dan lari beliin kita minum di marzaq. It was so FUN! Haha. Lucu banget sekarang kalau diingat lagi.

Theen finally, kita sama-sama tau, seharusnya kita saling mengisi dan kita betiga sama-sama menyepakati posisi-posisi apa yang layaknya kita isi. Sampai akhirnya keputusan resmi muncul dan nama Alfreda Fathya yang akhirnya menakhkodai. 

That was a precious memory, it taught me so many things about friendship, leadership and how to love ourselves, to maintain my health, to learn where is my position, to put myself into system, to make a movement together. Losing something doesn't make you less precious, you're all KEREN!

Setelah itu aku belajar, please take a rest Nabila.  Perlu sekali untuk mengambil jeda di tengah tugas yang mati satu tumbuh seribu, di tengah segala hal yang patah tumbuh hilang berganti.

Thankyou memory, for letting me grow.

Grow as you go,


nabiladinta. 

Temanggung, 3 Oktober 2020


Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

Cari Blog Ini

POPULAR POSTS

  • Hari-Hari di Pamulang (3)
  • 2024: a magic of ordinary days
  • Tentang Bisa Punya Waktu Tanpa Libur
  • pagi yang aneh

Categories

AFS Italy 2017-2018 Self Talk Hijrah Malaysia Ramadhan di Italia
Diberdayakan oleh Blogger.

Blog Archive

  • April 2025 (1)
  • Desember 2024 (1)
  • Juni 2024 (5)
  • Januari 2024 (1)
  • Desember 2023 (1)
  • September 2023 (1)
  • Agustus 2023 (3)
  • Februari 2023 (1)
  • Januari 2023 (1)
  • Desember 2022 (1)
  • November 2022 (1)
  • September 2022 (1)
  • Agustus 2022 (3)
  • Mei 2022 (3)
  • April 2022 (10)
  • Februari 2022 (1)
  • Desember 2021 (2)
  • November 2021 (1)
  • Oktober 2021 (2)
  • September 2021 (1)
  • Agustus 2021 (2)
  • Juli 2021 (3)
  • Juni 2021 (2)
  • Mei 2021 (1)
  • April 2021 (2)
  • Januari 2021 (2)
  • Desember 2020 (2)
  • November 2020 (1)
  • Oktober 2020 (11)
  • September 2020 (1)
  • Agustus 2020 (2)
  • Juli 2020 (2)
  • Juni 2020 (1)
  • Mei 2020 (19)
  • April 2020 (7)
  • Maret 2020 (2)
  • Januari 2020 (1)
  • Oktober 2019 (1)
  • September 2019 (1)
  • Agustus 2019 (1)
  • Juli 2019 (1)
  • Mei 2019 (1)
  • Maret 2019 (1)
  • Februari 2019 (2)
  • Januari 2019 (1)
  • November 2018 (1)
  • Agustus 2018 (1)
  • Mei 2018 (2)
  • April 2018 (4)
  • Maret 2018 (4)
  • Februari 2018 (5)
  • Januari 2018 (7)
  • Desember 2017 (9)
  • November 2017 (6)
  • Oktober 2017 (6)
  • September 2017 (7)
  • Agustus 2017 (2)
  • Juni 2017 (12)
  • Mei 2017 (11)
  • April 2017 (6)
  • Maret 2017 (3)
  • Februari 2017 (4)
  • Januari 2017 (2)
  • Desember 2016 (5)
  • November 2016 (6)
  • Oktober 2016 (6)
  • September 2016 (5)
  • Agustus 2016 (1)
  • Juli 2016 (1)
  • Juni 2016 (6)
  • April 2016 (2)
  • Februari 2016 (1)
  • Januari 2016 (2)
  • Desember 2015 (1)
  • November 2015 (3)
  • Agustus 2015 (1)
  • Juli 2015 (1)
  • Juni 2015 (4)
  • Mei 2015 (1)
  • April 2015 (2)
  • Februari 2015 (6)
  • Januari 2015 (3)
  • Desember 2014 (4)
  • November 2014 (14)
  • Oktober 2014 (2)
  • Agustus 2014 (3)
  • Juni 2014 (12)

Designed By OddThemes | Distributed By Blogger Templates