Nabiloski De Pellegrini

It's been a rollercoaster of emotions and a series of tests but it has all been worth it. I am forever grateful to my parents who have (literally) given me the world and to my friends who have been there always. Excited to see what the new semester will bring!

Satu tahun menjadi mahasiswa antropologi buatku seperti belajar seni bercerita, mencintai dan memaknai setiap yang kita miliki dan menghargai kehadiran manusia-manusia di sekitar kita yang dekat maupun jauh dan mungkin baru kita sadari belakangan ini.


Mungkin memang banyak yang bertanya kenapa akhirnya aku memilih antropologi sebagai jalan ninjaku, jalan 'nyentrik' yang masih banyak orang belum ketahui. Sedikit menggelitik memang. Dulu, aku sempat idealis sekali, eh mungkin sekarang juga masih (hehe). Ingin mengembara dan keluar dari Jogja, zona yang sudah amat nyaman. Ke Jakarta, meneruskan karir lomba di debat, masuk ke jurusan bergengsi: Hubungan Internasional.


Tapi ternyata itu semua sungguh semu. Dunia dan orang lain tidak akan bisa diminta supaya berhenti menyiasati kita, kecuali merubah diri kita sendiri sehingga tidak bisa diperdaya olehnya.


Percakapan kurang lebih dua tahun lalu di bulan Juli, satu minggu sepulang dari Italia, Izzy dan Ariel datang dari Amerika menjalani program dari VIA (Volunteer in Asia). Waktu itu, Izzy masih menjadi director program for Asia dan Ariel ceritanya lagi internship di salah satu program di Jogja kala itu. Mereka baik sekali, entah sengaja atau ngga aku diajak makan di Nanamia Pizzeria. Pas aku masih panas kangen-kangennya sama Italia. Di sela makan pizza margeritha yang mayan lah rasanya mirip dengan porsi orang Indonesia yang kecil sekali, Izzy melontarkan pertanyaan yang masih aku ragukan jawabannya.


"Nabila mau ambil jurusan apa besok kuliahnya?"


Ha ha. Pas itu aku masih ingin HI, tapi aku udah menggeser idealisme-ku yang awalnya kekeh pingin di Jakarta jadi ingin tetap di Jogja. Alasannya sederhana, hidup di pegunungan Italia yang kecil, nyaman, tentram, dan damai bikin aku mikir, "Wah kayaknya aku ngga bakal betah tinggal di kota besar."


Aku bakal tetap memilih Jogja, dekat dengan rumah di Temanggung dan bapak ibu, juga aku tetap bisa untuk turut merayakan hobi-ku. Yang ngga bisa jauh-jauh dari alam, mbolang kesana kemari menghirup udara segar. 


Izzy dan Ariel spontan merayuku untuk jangan ambil HI, "Lulusan HI suka bingung Nabila mau ngapain," kata Ariel.


Izzy nambahin, "Mending ambil antropologi yang beneran disiplin ilmu, di HI ilmunya nyomot-nyomot dari ekonomi, hukum, dan lain-lain jadi ngga utuh."


Ohya mereka ini lancar sekali bahasa Indonesia, apalagi Ariel memang blaster Bali-Virginia. Jadi percakapan kami campur aduk inggris dan indonesia. Aku jadi semakin mikir dan mendatangi Izzy kembali setelah malam itu. Beruntungnya, juga ada John, pacar Izzy. Mereka juga semangat menggodaku supaya turut memilih jalan ninja antropologi, 


"Waktu kami seusia kamu, kami juga suka dunia internasional ya sama inginnya ambil HI. Tapi akhirnya jelas kupilih antropologi, kamu bahkan bisa loh meneliti makanan Italia dengan ilmu antropologi," kata John.


"Semua ilmu itu bisa diinternasionalkan Nabila, jangan kuatir. Tergantung kamunya."


Well, mulai ada getaran yang menyentuh radar keyakinan buat ambil antropologi haha.


Karena ingin lebih tau perihal antropologi di Indonesia kucolek Mbak Hal. Kakak kelas di sekolah yang sudah lebih dulu di antropologi UGM. Duduk sesorean di awal tahun 2019, Mbak Hal baru banget pulang dari Petungkriyono. Aku semakin yakin! Dan yes, ini pilihanku yeay!


Antropologi adalah Antara Aku, Kamu, dan Kita Semua


Setelah menembus sekian ribu waktu dan upaya masuk pilihan satu-satunya. Intinya segala babibu itu yang cukup menyenangkan tapi juga ngga dipungkiri ada nangis darahnya (hehe). Pastinya nggak semua hal didapatkan dengan spontan, pasti proses yang panjang teman-teman.


Aku mungkin belum jago dan sepenuhnya memahami seluk beluk antropologi, juga masih belajar menulis dengan cantik di banyak topik seperti kating dan dosen-dosenku. Syukurnya kian hari aku semakin merasa cocok dan menjalaninya dengan sepenuh hati. Belajar antropologi, buat aku juga belajar tentang manusia-manusia di sekitar kita. Belajar merawat kekerabatan sampai ke akar-akarnya, dengan keluarga, masyarakat sekitar, dan masyarakat dunia. Sama seperti kata temanku Ariel Santikarma, 


"When I took my first anthropology class, it was everything I talked about to my friends, to my parents, all the things I was truly interested in engaging in outside of school, in an institution that was considered valid."


Mungkin jurusan HI memang tetap kelihatan amat bergengsi, tapi entah kenapa aku 'merasa lebih keren' masuk antropologi ha ha. Gaya banget dasar. Karena di antropologi aku bertemu manusia-manusia keren yang bersuara lantang membela kaum-kaum marginal, bersuara dengan lihai dan elegan tentang persoalan pasar, jalanan, gengsi, agama, politik, alam dan segala lini lain yang bersangkutan dengan manusia. 


Aku masih terus mengagumi kating-katingku yang suka unik sekali dalam menuliskan dan mengeskpresikan sesuatu. Bahkan sesuatu yang mungkin ngga pernah terlintas di kepala. Akhirnya aku juga turut merasakan apa yang diceritakan Mbak Hal, pergi berkelana dan hidup selama dua pekan di Petungkriyono kemarin. Rasanya sama-sama menantangnya ketika aku harus pergi ke Kedah, Malaysia dan hidup di tengah anak-anak yatim maupun piatu tiga tahun lalu. Rentang lama waktunya pun hampir sama. 


Hanya bedanya, kacamata yang aku gunakan lebih mendalam ketika aku udah bener-bener jadi mahasiswa antropologi. Mengenali, bercakap dan mengamati kehidupan di Petungkriyono dari bangun hingga tidur lagi (tentunya, masih terus belajar wkwk, belum jago). Bahkan kalau bisa, aku berusaha bisa tau hal-hal yang tidak terlihat, menyelami alam pikiran minimal induk semangku. Syukurnya, masyarakat di desa Tlogohendro. Kali pertama di momentum Tim Penelitian Lapangan (TPL) Petungkriyono di bawah bimbingan Mas Pujo ini masih latihan pertama yang harus terus diuji, harus jadi pemicu buat menantang diri sendiri kalau seriusan mau jadi antropolog seperti Izzy.


Mimpi-mimpi Bersama Antropologi


Role model-ku ngga jauh-jauh dari Izzy, seperti kakak sekaligus guruku. Aku mengikuti dan mencari tau apa yang Izzy lakukan, termasuk penelitian terakhirnya di Myanmar selepas lulus dari International Law di London. Kalau ditanya mau fokus apa, aku belum menemukan jawabannya teman-teman. Karena aku suka banyak hal, ha ha. Tapi aku turut mengamini contoh sederhana dari Izzy dan John, kalau suatu hari nanti aku bisa bermukim dan meneliti makanan Italia. Sekaligus kembali ke akar keluarga non-biologisku semasa pertukaran pelajar 2-3 tahun lalu. 


Mungkin juga aku mengambil Studi Perdamaian, sungguh bener-bener masih abu-abu. Ngga papa, pelan-pelan. Aku juga menyukai isu-isu konflik internasional, berkelana dan belajar antropologi di Timur Tengah misalkan. Sungguh aku beneran penasaran gimana antropologi di sana. Pasti kebanyakan masih antropolog barat yang berkeliaran. Hidup berdampingan dengan Syrian-Palestinian Refugees, isu begini juga aku suka karena Ahmed Badr temanku yang sukses sekali bikin platform narratio.org Ahmed ini juga imigran, dulunya refugee asalnya Irak. Dia juga barusan banget lulus jadi sarjana antropologi! 


Karena satu dan banyak hal, aku jadi belajar mengerti lalu merasa dekat dan akrab dengan antropologi. Masih harus terus belajar dan tentunya tancap gas kencang-kencang buat berkelana lagi dan lagi. Isu-isu yang dekat denganku juga aku suka, saking luasnya jangkauan antropologi bikin aku sangat sayang tapi juga kadang pusing bukan kepalang, ha ha. Terimakasih teman-teman yang sedikit banyak membantuku menyusun sudut pandang bersama-sama. Terutama teman-teman di antropologi yang membersamai di hari-hari perkuliahan dua semester kemarin, yang perlahan membuat suatu pengertian bahwa belajar bukan hanya soal kamu mau jadi dan kerja apa. Bahwa belajar antropologi harus serius tapi juga tetap harus bercanda sambil berpesta ria. Karena kalian, aku jadi belajar dan menikmati setiap detik yang berjalan satu tahun kemarin dan semoga di tiga tahun mendepan. 


Meskipun di awal perkuliahan aku ngga memungkiri pingin masuk ke fisipol yang dunia organisasi kampusnya lebih berjalan semestinya, pernah merasa kalau di FIB memang lebih banyak ngga jelasnya kalau cerita soal suasana. Entah gimana semesta bekerja, bisa-bisanya aku juga didekatkan dengan Azrial yang ngegandeng aku buat bersama-sama menakhkodai Kemant, Keluarga Mahasiswa Antropologi. Asik sekali, beneran aku semacam jatuh hati dan berjalan dengan sepenuh hati di Kemant. Bareng teman-teman antropologi yang 'nyentrik' juga nyeni, aku akan berjuang terus bareng kalian karena di Kemant aku juga bertumbuh dan belajar mengenal antropologi du luar bangku kelas.


Perlahan aku juga menyusun keambisanku sendiri dengan jalan ninja yang harus disusun rapi. Haha dasar aku penuh kepentingan. Karena emang aku suka iri sendiri kalau liat Ariel berceloteh di instagram dan selalu terlihat menawan karena dia membaca banyak buku dan literatur keren. Ayo Bila harus semangat belajar bahasa inggrisnya biar bisa sekolah di luar sana, eh bahasa arab juga kalau mau belajar di Timur Tengah! Dan semangat juga belajar bahasa baru lainnya, siapa tau nanti kamu ditempatkan di tempat ngga terduga, mungkin jauh lebih menantang dari hidup di Italia dan belajar bahasanya dari nol.


Terimakasih semwa, apalagi yang sudah membaca sampai di penghujung sini. Semoga kita sama-sama menemukan jalan masing-masing yang mengantarkan kita pada cita, dan dipertemukan dengan cinta yang mendukung mimpi-mimpi kita. Tentunya aku juga berdoa, kalau aku menikah dan jadi istrinya seorang lelaki, dia juga mendukung mimpi-mimpiku dan menemani aku berkelana kesana kemari, jangan kuatir kamu juga bakalan kutemani kok (he he)!


Anyway,


I don’t have all the answers today, and I’m still learning and searching for what that might look like.


Jadi, mau ya kalau sama-sama mendoakan?


with love, nabiladinta.

Temanggung, 14 Agustus 2020



Catatan 25 Desember, 2016 5:41

Seseorang yg ingin bangun cinta, selayaknya mengalami jatuh lebih dulu. Sakit, berdebar2, cemburu (mungkin), berharap, dll. Maka ketika jatuh cinta, nikmati saja. Jangan terburu-buru membangun cinta sebelum engkau merasakan betapa menantantangnya jatuh cinta.

Betapa sepakatnya aku sama kata-kata Yu Rahmi yang bertengger rapi di salah satu feed instagram beliau sekitar empat tahun-an lalu. Yu Rahmi memposting foto rombongan PII Jogbes yang aku turut ikut di dalamnya. Buat aku, Yu Rahmi dan Kang Neo, suaminya, para instruktur Batra PII delapan tahun lalu jadi inspirasiku. Aku menitipkan kado hasil iuranku dan Avicena, salah seorang teman Batra-ku. Satu-satunya di lokal/kelasku mungkin yang masih awet berteman sampai sekarang, ha ha ha.

Aku mungkin belum merasakan sakit berlebih perihal jatuh bangunnya mencintai seseorang, tapi boleh sama-sama sepakat kalau urusan berdebar, cemburu, dan berharap bercampur dan kadang amat sangat menyesakkan.

Kalau kata Alya, salah seorang sahabat SD-ku dua malam lalu bilang, "Wah Bil nek koe durung patah hati atau loro sak loro-lorone koe durung urip"

Ha ha ha aku cuma ketawa.

Kalau kata Gibran, di malam yang sama, "Rasane ke piye yo nek tangi turu lebar putus cinta ki koyo bingung. Nyesek sampai ke ulu ati, dunia koyo mandeg."

Aku sepakat, jadi kadang ada lelahnya kalau jatuh cinta, memang butuh merasakan "jatuh" jadi bukan cuma dimabuk cinta semata. Topik ini amat sangat relate untuk kita-kita masa awal 20 tahun-an yang mungkin merasakan patah tumbuh hilang berganti. Sampai ada kata Alya yang cukup buat "oh gitu ternyata",

"Bil kalo aku pernah baca, jadi ada tiga macam jatuh cinta yg bakal kita alami, satu, yang sungguhan bikin kita seneng terus, dua, yang kita secinta itu tapi rasanya berdarah-darah sakit kecewa nah tapi ini yang justru bikin kita tumbuh, yang terakhir, yang dia orangnya yang jadi selama ini kita cari, ya ini orangnya."

Deg.

Buat jumlah orangnya mungkin setiap orang beda-beda. Tapi aku juga pernah dengar Mbak Iklima Manda beberapa tahun lalu bilang begini,

"Kita tu maksimal bisa suka yang bener-bener suka, cinta gitu ke lima orang."

Aku banyak sepakatnya sama kata-kata mereka semua. Sebenernya aku bukan perempuan yang amat mudah baper atau amat mudah menyukai seseorang, karena ya menurutku jatuh cinta adalah proses sakral yang sama sekali nggak bisa dihakimi hukum alam, semesta maupun manusia. Tumbuhnya alami, kadang nggak bisa kita minta datang atau pergi sesuka ria.

Aku jadi mengingat salah satu jawabanku yang terlampau mengada-ada dua tahun lalu di sentral kota Belluno. Suatu siang di musim semi, niatnya aku mau jalan-jalan sambil menunggu bis pulang ke rumah yang datang sejam lagi. Tiba-tiba ada seorang Afrika dan temannya yang menyapaku, "Assalamu'alaikum."

Aku agak ketakutan jadi kupercepat langkah, tetap aja dia berusaha sekuat tenaga aku jawab. Akhirnya aku ngobrol pakai bahasa italia setelah aku tanya bisa atau nggak. "Aku dari Nigeria, jelas aku bisa karena udah di sini empat tahun."

Tapi anehnya dia tetep kekeh pakai bahasa inggris, aku tanya muslim atau bukan malah dijawab dia menghargai perbedaan, agama dan lain-lain. Nggak mengiyakan. Gemes banget, berdalih sekuat tenaga biar aku mau diajak ngobrol. Akhirnya batal jalan-jalanku ke toko baju. Dia minta di tempat yang sepi, jelas aku minta di bangku taman sentral yang jelas ramai. Tinggal dia dan aku, temannya pergi. Aneh bin ajaib sekali ini orang, aku juga kurang hati-hati.

Mulai memaksa nanya rumah di mana, asal dari negara mana, eh berujung minta nomer telpon dengan alasan mau berteman. Emang situ pikir sini nggak mikir ya, bisa kasih nomer seenaknya. Aneh super.

"Do you want to be my girlfriend?"

Like hey dudeeee, who are you! Aku mulai jawab kasar bernada tinggi. Dia masih maksa, untung nggak menyentuh fisik. Oh ya anyway, aku juga mengaku punya pacar di Indonesia, padahal sebenernya nggak kok. Hehe

"Loh kan pacarmu di Indonesia, nggak ada di sini. Dia nggak bakal tau."

Eneg sekali.

"Eh kamu pikir kamu siapa. Aku cuma mau satu dan aku orangnya setia! Ciao cazzo"

Aku sungguhan berkata kasar dan pergi secepat mungkin. Dia jadi linglung di bangku taman sambil nyari temannya. Aku mengada-ngada jawabnya karena mengaku punya pacar tapi ya masak bisa serendah itu menyepelekan rasa suka atau hubungan, bisa seenaknya diduakan.

Maka, sungguh aku nggak mau main-main karena ini adalah proses sakral dan hati yang bermain sembari menyisipkan doa-doa penuh pengharapan. Pengalaman itu aku ingat selalu dan jawabanku yang suka bikin ketawa sendiri kalau diingat-ingat sekarang.

Di epilog tulisan ini, aku ingin menyisipkan syair Kahlil Gibran yang dicomot dari karyanya "Sayap-sayap Patah".

Cinta adalah satu-satunya kebebasan di dunia karena cinta adalah gairah yang tidak dapat dihalangi oleh hukum manusia dan fenomena alam.

Selamat menikmati jatuh bangun patah tumbuh hilang berganti!


Solo-Yogyakarta, 4-8 Agustus 2020

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

Cari Blog Ini

POPULAR POSTS

  • Hari-Hari di Pamulang (3)
  • 2024: a magic of ordinary days
  • Tentang Bisa Punya Waktu Tanpa Libur
  • pagi yang aneh

Categories

AFS Italy 2017-2018 Self Talk Hijrah Malaysia Ramadhan di Italia
Diberdayakan oleh Blogger.

Blog Archive

  • April 2025 (1)
  • Desember 2024 (1)
  • Juni 2024 (5)
  • Januari 2024 (1)
  • Desember 2023 (1)
  • September 2023 (1)
  • Agustus 2023 (3)
  • Februari 2023 (1)
  • Januari 2023 (1)
  • Desember 2022 (1)
  • November 2022 (1)
  • September 2022 (1)
  • Agustus 2022 (3)
  • Mei 2022 (3)
  • April 2022 (10)
  • Februari 2022 (1)
  • Desember 2021 (2)
  • November 2021 (1)
  • Oktober 2021 (2)
  • September 2021 (1)
  • Agustus 2021 (2)
  • Juli 2021 (3)
  • Juni 2021 (2)
  • Mei 2021 (1)
  • April 2021 (2)
  • Januari 2021 (2)
  • Desember 2020 (2)
  • November 2020 (1)
  • Oktober 2020 (11)
  • September 2020 (1)
  • Agustus 2020 (2)
  • Juli 2020 (2)
  • Juni 2020 (1)
  • Mei 2020 (19)
  • April 2020 (7)
  • Maret 2020 (2)
  • Januari 2020 (1)
  • Oktober 2019 (1)
  • September 2019 (1)
  • Agustus 2019 (1)
  • Juli 2019 (1)
  • Mei 2019 (1)
  • Maret 2019 (1)
  • Februari 2019 (2)
  • Januari 2019 (1)
  • November 2018 (1)
  • Agustus 2018 (1)
  • Mei 2018 (2)
  • April 2018 (4)
  • Maret 2018 (4)
  • Februari 2018 (5)
  • Januari 2018 (7)
  • Desember 2017 (9)
  • November 2017 (6)
  • Oktober 2017 (6)
  • September 2017 (7)
  • Agustus 2017 (2)
  • Juni 2017 (12)
  • Mei 2017 (11)
  • April 2017 (6)
  • Maret 2017 (3)
  • Februari 2017 (4)
  • Januari 2017 (2)
  • Desember 2016 (5)
  • November 2016 (6)
  • Oktober 2016 (6)
  • September 2016 (5)
  • Agustus 2016 (1)
  • Juli 2016 (1)
  • Juni 2016 (6)
  • April 2016 (2)
  • Februari 2016 (1)
  • Januari 2016 (2)
  • Desember 2015 (1)
  • November 2015 (3)
  • Agustus 2015 (1)
  • Juli 2015 (1)
  • Juni 2015 (4)
  • Mei 2015 (1)
  • April 2015 (2)
  • Februari 2015 (6)
  • Januari 2015 (3)
  • Desember 2014 (4)
  • November 2014 (14)
  • Oktober 2014 (2)
  • Agustus 2014 (3)
  • Juni 2014 (12)

Designed By OddThemes | Distributed By Blogger Templates