Sengaja hari Ahad, 12 November 2017 ini aku pisahkan. Karena ceritanya terlalu banyak momentum, terlalu berharga quality time bareng Papà Aurelio dan Mamma Linda. Lucky me, ketika bisa diberi kesempatan bergerak dan merasa hidup di tengah keluarga pecinta alam ini. Setiap Minggu mereka biasa banyak berjalan entah di gunung atau dimana pun kecuali kalau cuaca buruk.
Aku sama sekali ngga pernah tau aku dibawa kemana atau di ajak apa, meminta pun jarang. Beliau berdua yang memang hobi dan aku membiarkan tubuhku mengikuti arus dan menikmati apa yang akan terjadi dan abadi sebagai momentum.
Aduh. Prolog-nya cukup dek, hahaha.
-
Pagi-pagi sudaa semangat duluan video call sama mas-mas keyen sepupu aing yang lagi kumpul di sela pernikahan Mbaa Novi sepupuky juga. Lalu video call sama ADEK RALINE ! sayangnya cuma keliatan gundulnya dikarenakan rumah Ibu Wuri lampunya ndak terang. Adek ini the most yang aku rindukan, masya Allah bahasa jawa krama-nya halus sekali. "Niki sinten ? Yeyeyee", "Nyanyi napa Mbak Bila ?", adek jangan lupakan saya ya :(
Oke. Aku sudaa ber-dress up selayaknya mau maen salju dan bertebal ria dengan baju berlapis lebih dari satu. Meluncurlah kita ke Val di Zoldo tepat berhenti di jalan menuju Gunung Pelmo kita akan berjalan menuju Rifugio di Fiume. Gunung Pelmo ini seperti dinding yang menjulang ke atas tanpa tumbuh pepohonan, merupakan salah satu World Heritage yang diakui UNESCO. Dan anyway para peneliti nemuin bekas jejak dinosaurus. Lalu manusia dulu apa lebih besar dari dinosaurus ?
Lanjuuutt !
Ini bener-bener kali pertama meluncur
dengan super cepet dibantu salju yang penuh, licin dan panjangnya jalan
menurun. Aku berjalan, berjalan kelelahan di suhu dingin tanpa keringat. Jalan
kira-kira sampai satu kilo lebih dan sampai di Rifugio kita bertiga langsung
istirahat dan ngga lupa foto bertiga pake timer. Minum teh hangat rasanya
meneduhkan sekali.
Bersiap meluncur, aku coba meluncur
sendiri pake alat yang sudah digeret dari bawah. Susah ternyata, aku selalu
ngga bertahan lama dan cepat menepi. Sendiri pun gagal mulu, akhirnya bareng
Papà Aurelio yang mastaaahhh sekali. Finally aku diajarin triknya untuk
mengendalikan laju gerak dengan sentuhan ringat ujung kaki, kalau mau ke kanan
gunakan kaki kanan begitu pun sebaliknya.
Kabut yang berhasil menguasai pandangan
mata kita bikin deg-deg an takut-takut nanti bisa jatuh ke jurang. Tapi
meragukan Papà itu adalah kebodohan. Aku tetap heboh dan meluncur dengan
kecepatan sangat cepat, sekali. Sampai akhirnya aku berhasil meluncu sendiri di
tanah yang lebih mudah sebagai pemula.
Papà bisa se-handal itu karena beliau
memang membentuk dunia sedemikian dekatnya dengan alam. Waktu kecil beliau
datang ke sekolah dengan meluncur ketika musim salju datang, sampai bawah
langit mulai gelap dan tubuhku mulai tidak lebih banyak bergerak. Jadilah
semakin dingin, dingin dan dingin. Langsung bergegas kita kemas dan menikmati
dingin yang setidaknya bakal lebih hangat.
Aku mulai bertahan dengan dingin,
toleransi orang-orang terhadao dingin kan berbeda-beda ya. Tapi jangan takut
ngga kuat dingin, Tuhan memberi kita segala organ fungsi dengan kelengkapannya
dan segala sumber daya alam buat meng-counter atau bisa dibilang melengkapi
kebutuhan kita.
-
ICE CREAM, WHY NOT ?
Selepas meluncur dengan langit yang
semakin gelap dan Zoldo yang sudah banyak tertutupi salju (anyway ini sedikit
menurut italian, salju yang turun tahun ini). Kita singgah dulu di Cafè Al
Solèr, karena di Val di Zoldo ini
banyak orang dari Jerman yang membuat Ice Cream disini. Aku langsung
meng-iya-kan sewaktu ditawarin makan Ice Cream. Yeaayy !
Cafè Al Solèr langsung menyeduhkan
kehangatan, aku pesan semacam paduan pisang utuh, coklat dan penyedap lainnya.
Nikmat, questo davvero buono. Karena dingin
ngga selalu membuat kita butuh kehangatan, memeluk dingin itu asiiik. Apalagi di
bagian dunia yang lain, dibawah langit yang berbeda dari tanah air tapi tetap
dengan bulan dan matahari yang sama, hehe.
Ice Ice Ice
Longarone,
9 Desember 2017
Nabiladinta
0 komentar