Mengingatkan bahwa waktu lebih pas ditakar bukan dengan hari, melainkan dengan hati
Jagad. Begitu aku mengingat
semesta yang mengelilingiku. Hampir tiga bulan masa kepergian untuk pertukaran
pelajarku, di Italia. Negeri yang hampir sejagad dunia tau, kalo ini negeri
Pizza. Aku jadi teringat di sela-sela makanku, berjalan, naik bus dan
keotomatisan lainnya yang dilakukan indra kita supaya tetap bisa disebut hidup,
bahwa hidupku terbagi menjadi dua potong.
Satu potong di khatulistiwa, satu potong lagi di Eropa.
Aku punya dua kehidupan yang aku
merasa wajibun menyeimbangkan keduanya, supaya tidak jomplang. Berjalan di
jalanan Eropa dulu semacam bayangan. Berjalan memeluk dingin dengan terjaga
jaket tebal dan syal di leher atau dengan sepatu boots dan berbulu. Suhu yang
tidak menentu yang tetap dingin, menanjak atau turun tidak ada bedanya.
Pagi-pagi yang gelap sebelum
matahari terbit kugendong tas ranselku, yang menjadi kebiasaan baru ‘sekolah
pake ransel’. Madrasah menuju seabad di Jogja menyulap kebiasaan baru dengan
buku-buku berat digendong tangan. Aku yang berlari terburu takut tertinggal bus
yang sama saja lari tidak kunjung mengubah suhu tubuhku sedikit memanas.
Rasanya tetap sama, dingin.
Deretan gunung menjulang yang aku
percaya bahwa mereka bertasbih kepada Tuhan dengan cara alam seperti berbicara
denganku setiap pagi lewat jendela bis,
“Nabila, kamu tidak sendiri coba ingat Tuhan seperti aku yang tidak
luput mengingat-Nya. Nantinya kamu akan jadi manusia kuat. Kalau kamu lelah
berbicara dengan mulut, berbicaralah dengan hati seperti aku yang berbica
dengan menggugurkan daun pada musim gugur atau bersemi dan tumbuh lagi pada
musim semi”
Menjadi asing, bukan terasing di
tengah banyak suara yang saling membagi bising sebelum harus banyak memperhatikan
guru di sekolah. Dan aku diam, musik yang menenangkan hati sekaligus menemani
berfikir menjadi temanku setiap pagi. Begitu setiap pagi, kecuali akhir pekan.
Pagi yang berjasad seperti sendirian di bis tapi melaju dengan waktu dan sedang
bercengkerama dengan hati. Mengingatkan
bahwa waktu lebih pas ditakar bukan dengan hari, melainkan dengan hati.
Menjadi mengerti, setelah
sebelumnya menolak untuk bertoleransi. Karena ini aku bukan menulis tentang
rumah, aku sedang menulis tentang berirama dengan hati, bermelodi dengan waktu.
Menjadi warga bumi yang berdiri dengan hati dimana pun sedang menepi. Kepada negeri
yang aku rindukan, tetap ada sepotong kehidupan lain yang telah terbangun 18
tahun.
Kepada waktu yang sedang melaju
sampai berhenti 7 bulan nanti, tetap selalu dekatkan hatiku disini supaya aku
semakin menyadari. Sekali lagi, bahwa
waktu lebih pas ditakar bukan dengan hari, melainkan dengan hati.
Kata gunung-gunung yang teguh
berdiri, kamu akan menjadi manusia kuat
Nabila.
Kamu tidak sendiri, seluruh warga
bumi adalah temanmu.
di depan perapian yang
menghangatkan di tengah dingin yang tanpa henti,
Ulima Nabila Adinta. -3°
Longarone, 3-4 Desember 2017
0 komentar