Nabiloski De Pellegrini


"Tetaplah bermelodi dengan kekuatan nadimu yang jangan sampai mati", kataku kepada diriku sendiri.

Di jurnal ramadhan kali ini, entah kenapa aku pingin cerita banyak banget tentang segala hal yang kembali ‘menyadarkanku’.

Ramadhan hari ke-4 banyak lagi yang membuatku risau karena ada kata-kata yang cukup mengusik batinku. Selain karena keberadaanku di Malaysia dan segala cerita tentangnya aku kembali mengingat adek pertamaku, Dek Daffa.

Yang pertama adalah tentang adekku,

Sudah hampir setengah tahun kita tidak bertatap muka, berkomunikasi pun tidak. Perantauannya ke Solo banyak merubah adekku, setelah dia mencoba kuat untuk berada di Jogja tapi Allah membawanya ke Solo, lebih jauh lagi dariku. Adekku ini adalah yang paling sederhana diantara kami empat bersaudara. Aku yakin dia sudah mulai matang dan bertambah dewasa menyongsong umur 16-nya di penghujung November nanti. Ada komunikasi berjarak cukup lama dengannya dibanding dengan adek yang lainnya.

Dek Daffa banyak menyadarkanku arti menerima. Banyak tantangan batin yang dihadapi adekku sejak dia kecil. Terlebih kejadian pada lebaran empat tahun lalu, kejadian terbakarnya seorang anak kecil di rumahku, kejutan batin ini tidak akan pernah hilang di mata Dek Daffa bahkan sampai dia memasuki usia senja. Bersamaan dengan itu dia diharuskan untuk merantau seorang diri di pesantren di pinggir Kota Jogja. Waktu itu aku tidak bisa berhenti membayangkan, di tengah kekalutan bagaimana kesendirian bisa menyebabkan dia bertahan. Naluri seorang perempuan, aku hanya bisa mendoakan dan kadang menangis kalau mengingat kejadian mengejutkan itu.

Dek Daffa selalu dihantam dengan kejutan batin, yang kedua adalah dengan meninggalnya teman dekatnya di pesantren, tidak lain dan tidak bukan dia ternyata adalah  adek dari teman satu sekolah di  Jogja. Kami tidak sengaja bertemu di rumah duka. Aku sampai terharu dengan kisah pertemanan kedua adek lelakiku dengan teman dekatnya yang lebih cepat kembali ke surga, semoga. Dek Gibran (adekku yang terakhir) masuk dalam igauan seorang kecil yang terbakar tadi di masa kritisnya,

“Baan bal-e baan,” sahutnya dalam bahasa Jawa.

“Daf tolong laundry-in bajuku di lemari,” sahut teman Dek Daffa di masa kritis temannya di rumah sakit.

Seberapa mereka berarti buat teman mereka, sampai disebut namanya di masa kritis menjemput maut.

Dan kali ini memang harus ku akui, aku merindukan sosok Dek Daffa yang penghujung tahun lalu memboncengku di desa di pucuk bukit untuk pijat syaraf karena keadaan tubuhku yang meminta setelah kegiatan banyak menghujam waktuku. Dalam waktu itu aku juga tidak banyak bercakap dengan adekku. Dek Daffa sudah terlampau jauh lebih tinggi daripada aku.

Dia adalah lelaki yang tidak pernah takut melawan batas, terlampau nekad di masa perantauannya dan seorang yang tidak kehabisan akal untuk berkreasi. Adekku punya kekuatan non-akademik yang kata Bapak dalam hal teknik. Mulai dari bahan kayu sampai mesin, kelenturan tangannya membuat egrang, kursi, membenahi sepeda, membuat sangkar burung, petasan dengan spirtus dan masih banyak lagi, tidak bisa disebutkan satu per satu. Jika ditanya perihal masa depan, tidak akan dijawabnya melainkan dengan karya nyata. Aku selalu memupuk keyakinan, dia akan jadi lelaki tangguh berbekal banyak kejutan batin di hidupnya, kejutan fisik pun pernah. Semasa kecil dia pernah ketumpahan air panas di dadanya sampai kulitnya melepuh parah.

Adekku selalu terlihat yang paling tulus, sederhana dan berusaha menjadi teman setia kawan-kawannya. Dia bisa merangkul banyak jenis kawan. Sejak dia merantau sudah banyak yang dia sambangi untuk menjalin rahim yang semoga ini menjadi kekuatan andalanmu hingga masa senja nanti ya dek.

Nilai ketulusan dan kebermanfaatan yang kini menjadi modal penguatku di Negeri Kedah.

Yang kedua adalah melihat teman-temanku,

Hal yang aku yakinkan ke diriku sendiri adalah mungkin kamu butuh dua kali atau lebih kesabaran buat memberi kebermanfaatan di tempat berpijakmu sekarang. Ada kata temanku yang cukup mengusikku, “Fix, Ketok sek MH ndi. Sek dolan ndi.” Kata ini muncul selagi aku sampai di Book Store Alor Star Kedah. Padahal aku juga tidak pernah menyangka bakal sampai sejauh ini. Sebagai bentuk berbagi kebahagiaan aku menawarkan ke beberapa temanku barangkali ada yang mau menitip buku.

Kata-kata itu menghujamku. See. Aku juga tidak mau begini. Asal kamu tau, mensyukuri adalah kekuatanku sekarang.

Dari kemarin naluri IRI tentunya tak kunjung berhenti melihat kawan Sabah yang sudah mendarat, kawan Pahang yang asik dengan anak Rumah Kebajikan, kawan Wardah Klang Selangor yang bisa bertemu manusia super dan harus steril dari media di Rumah Perlindungan, kawan Selangor yang sudah punya 3 sesi buat mengajarkan harfun, kawan Kelantan yang sepagi ini berhasil membuatku menangis karena takjub dan bangga punya sesosok teman seperti Bira yang selalu tampil sederhana diantara kita. Bira yang selalu punya kekuatan beda dan paling tangguh menghadapi banyak kejutan di Malaysia. Bira yang tidak sungkan mengajarkan ilmu silatnya bak Pendekar Srikandi. Bira yang berjalan menuju 6 tahun berkawan bahkan berpartner selalu tampil apa adanya tanpa dusta.

Naluri IRI seorang Nabila yang secara alamiah aku ini, Please dear I can’t stop move, I can’t stand if just sit down and live in comfort zone. Dan hari-hari di Malaysia ini aku berfikir, buat apa sih kalo hanya bahagia buat diri sendiri.

Tapi kemudian sejak tengah malam hingga pagi ini aku mulai mengambil jeda sejenak untuk menyadari, bahwa mungkin kamu butuh dua kali lebih kesabaran, ada masa yang terbagi dan ada masa untuk mengumpulkan kekuatan mengabdi bukan berarti dalam penantianmu kamu hanya berdiam diri tanpa arti. Mungkin kamu butuh menghimpun energi baru untuk disemai tanpa tapi. Buat apa kalau kamu hanya menyesali, buat apa mencari-cari toh bahagia hanya soal menyadari.

Dalam perjalanan di Malaysia hingga kini aku tidak kehabisan energi untuk mengumpulkan jurnal teman-teman supaya semua menyadari banyak kisah yang perlu diabadikan tanpa henti. Ibaratnya buat apa jauh sampai bulan kalau hanya seorang diri. Cerita mereka mampu meneguhkanku sampa sejauh ini. Nyaass, terharu, bangga, salut punya teman seperjuangan yang punya semangat memberdayakan yang tidak dibatasi oleh apapun, memberdayakan dengan ketulusan tanpa sekat.

Kalau perjalanan ini tanpa rintangan batin dan fisik, kita tidak akan pernah belajar bahwa sebenarnya kecewa dan sesal itu sangat menguatkan, lalu penantian itu sungguh menyesakkan jika hanya mengaung dan menyesali.

Tentang menyadari ini aku tulis dengan sepenuh hati, jangan pernah lupa ya kalau kita pernah sampai disini, jangan berhenti berjalan sampai nafas berhenti berhembus

“Tetaplah bermelodi dengan kekuatan nadimu yang jangan sampai mati.”

See. Then you’ll realize that the most powerful thing is sharing and moving with no stopping.

08.20 WM

Salam Kawan,

Kampung Charuk Kudong
5 Ramadhan 1438 H




Jadi hari ke-3 Ramadhan tak seperti biasanya, kami sholat subuh pun di rumah karena Pak Lung Suhaimi mendadak tidak enak badan. Kami pun melakukan pekerjaan rumah yang sekiranya bisa meringankan tugas Mak Lung. Sedikit bingung juga, karena kami hari itu juga tidak akan berbuka puasa di sanak saudara Pak Lung. Tapi kabar bahagianya Mak Lung mengetuk pintu kamar dan mengajak kami untuk ke bazar di sore hari. Yeeeee ! We will go out again um :))

Keluarga Haji Suhaimi mendapat giliran MOREH, yaitu memberi semacam takjil untuk Surau tapi ba'da tarawih. Jadilah kami merasakan sholat tarawih di banyak tempat, mulai rumah - surau - masjid di beberapa daerah di Kedah pula. Kami bertolak dari rumah sekitar ashar karena kami akan menunaikan sholat di Masjid Ar Rahman, jalanan Kedah mulai ramai dengan penjual makanan di waktu menuju berbuka.



Sesampai di bazar, aku menghela nafas ternyata tidak banyak berbeda dengan di Indonesia, tenda-tenda berdiri dengan terpal sebagai atapnya. Ramai penjual mulai dari pakaian, makanan, sayuran, alat rumah tangga, dan perlengkapan harian lainnya. Kami langsung diboyong ke penjual tepung talam, srimuka dan keladi, sederhananya rasanya mirip kue lapis di Indonesia. Kami dibelikan ketiga jenisnya sekaligus.

Sedangkan untuk makanan MOREH Mak Lung memilih untuk membeli 2 jenis apel dan 1 buah jeruk tiap bungkus. Naluri ibu seluruh dunia pastinya membeli sayuran, tapi alangkah baiknya beliau berdua membelikan kami ayam panggang sebagai lauk makan malam ini.

Tak lama kemudian kami kembali ke rumah, membungkus buah-buah tersebut ke dalam plastik daur ulang berwarna hijau.

TIGA PANJI NEGERI



Selepas dari bazar aku memilih melakukan sesuatu yang berfaedah. Aku bawa alat menulis menuju meja makan sambil ngobrol dengan Pak Lung. Pak Lung gemar sekali bercakap tentang Indonesia dan Malaysia, kali ini beliau mengenalkan kami dengan tiga ulama yang tinggal di mekkah pada sekitar Abad 19, ketiganya berasal dari Nusantara : Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari (ulama asal Banjarmasin), Syekh Daud Bin Abdullah Al Fatani (ulama asal Patani Thailand Selatan) dan Syekh Abdusshomad Al Palimbani (ulama asal Palembang). Kata Pak Lung mereka bertiga bersahabat dan bersepakat untuk menjaga perdamaian Tanah Melayu.

Namun suatu ketika Thailand menjajah Kedah (tempat singgahku sekarang) dan banyak membunuh manusia. Berita ini sampai ke Mekkah. Akhirnya mereka bertiga resah dan kembali bersama ke Bumi Kedah. Ikatan persaudaraan ini tidak ikut mengikat Thailand dan Bumi Kedah. Naasnya, Syekh Abdusshomad Al Palimbani terbunuh di Bumi Kedah. Yang ingin mendamaikan justru terbinasakan.

Kisah serupa seperti ini tidak pernah berhenti bergulir di dunia dari zaman ke zaman. Pertumpahan daerah dan perdamaian akan berjalan beriringan layaknya api dan air yang tetap ada di bumi manusia. Perjalanan kemanusiaan di Tanah Melayu yang cukup menggetarkan. Rasanya berbeda ketika hanya belajar sejarah di kelas formal, padahal aku telah kenal tiga panji Nusantara ini sejak lama dari mapel Sejarah Kebudayaan Islam. Tapi kisah dari Pak Lung menuai beda bagi aku dan Umma sampai beliau mengeluarkan biografi Syekh Al Banjari dan karya-karya ketiga ulama ini.

Tidak berhenti sampai disitu, Pak Lung juga mengeluarkan buku Buya Hamka yang berkisah tentang Ayahnya, Haji Abdul Karim Amrullah. Ayahnya segenerasi dalam membumikan gerakan Muhammadiyah bersama Ahmad Dahlan bedanya Ayah Buya Hamka berfokus di Bumi Minangkabau. Sedang Buya Hamka generasi setelah itu yang amat masyhur di Tanah Melayu, masyarakat Malaysia sangat mengagumi beliau. Sesosok yang penuh pembuktian akan kekuatan ilmu, bahwa tidak menempuh pendidikan formal tetapi diakui banyak manusia hingga mendapat gelar 'Profesor'.

***
Begitulah senja itu dibangun di Kampung Charuk Kudong Sik Kedah. Malamnya kami menikmati tarawih di Surau dekat rumah sekaligus memenuhi giliran Pak Lung dan Mak Lung, MOREH. Surau yang penuh sampai shaf belakang dan aku bertemu puteri kecil Kedah yang lucu, cantik dan syahdu.

Hari itu juga ada hal yang menggetarkan Ramadhanku dengan pesan Bapak dari rumah, yang tidak pernah berhenti dengan petuah bijak yang berpengaruh besar terhadap perjalanan kedewasaanku.

"Tetaplah menjadi penjaga Al Qur'an"


Salam Kawan,

Perjalanan Alor Star menuju Kampung Churok
5 Ramadhan 1438 H

Ramadhan ke dua ini aku mulai penasaran, hey bagaimana kabar Indonesia ?
Selepas chat dengan kawan se-perjuangan pertukaran dari tanah sumatera dan Indonesia, pun dengan kawan se-perjuangan dari sekolah kader. Karena mereka banyak mengomentari jurnalku. Banyak yang perhatian Bil, terlebih lagi selepas chat dengan dua kakak penguatku di bulan-bulan belakangan ini sebagai pengendali ekspektasi, Kak Putra di Italy yang kerasa sepi banget terus sahur masak sendiri makan sendiri dengan indomie yang dijual bebas di tokonya orang India, yang terakhir dengan Kak Oase yang habis berpetualang ke Shanghai. Chat-ku baru dibales dan aku juga ngga sabar cerita ke mereka berdua. Ngga sabar juga ketemu mereka di pertengahan tahun ini, yang hari kemarin malah ngga sahur.

Itu cerita mereka di negeri nun jauh disana, let me tell yeaa di negeri seberang Nusantara


#TADARUSS BERSAMA MAK CIK


Sahur makan nasi goreng Malaysia dan seseduh kopi sisa semalam yang disediakan sepenuh hati oleh Mak Lung. Kami sahur pukul 5 WM dan adzan shubuh berkumandang sekitar pukul setengah 6 lebih. Berlanjut waktu sholat subuh di Masjid Ar Rahman, yang berbeda sepagi itu adalah kami hendak ikut kelompok tadarrus Ibu-Ibu Sik Kedah ba’da shubuh. Masing-masing akan membaca satu halaman bermula dari awal Juz 3, tapi uniknya di setiap akhir ayat yang dibaca salah seorang semua yang ada disitu akan membaca bersamaan tanda bagian seorang tadi sudah selesai. Semakin lama semakin bertambah, aku kira barang satu jam kami tadarrus, ternyata hampir 2 jam. Mata pun sudah kupaksa supaya mau berkompromi.

Aku juga harus melebih lambatkan nada mengajiku, ibu-ibu membaca dengan perlahan sekali. Ada satu pemimpin mereka, yaitu Ibu berkacamata yang memang kelihatan berkharisma, pantas saja. Kiranya pukul setengah 9 Mak Lung memberi kode supaya kami pulang dulu. Selepas itu di mobil atau lebih tepat dsebut kereta kalau disini. Kami istirahat sejenak di rumah, karena jam 9 lebih kami akan diajak ke Rumah Yatim Gemilang. Finally :’)


#RUMAH GEMILANG

Kami berkunjung dan diajak keliling sama Pak Lung, dikenalkan bagian-bagian di sana dan diceritakan kebiasaan budak-budak panti. Sewaktu duduk berkumpul di office Rumah Gemilang Pak Lung bercerita kalau masyarakat Malaysia seumuran beliau paham tokoh-tokoh Indonesia terutama sastra. Karena semasa beliau sekolah ada pelajaran kesastraan Melayu, seperti Siti Nurbaya karya Meurah Silu, Tan Malaka, Pangeran Diponegoro banyak yang paham. Namun generasi sekarang tidak sedetail itu dalam belajar kesastraan. Sedang disitu ada Kak Bahijah yang cantik putih anggun sekali, dia pandai cakap bahasa arab ikut tertawa, bahasa melayunya dia lebih ‘nggremeng’, di mengiyakan pernyataan Pak Lung. Masyarakat Malaysia paham kalau orang Indonesia bercakap dengan bahasa Indonesia karena banyak sinetron Indonesia yang tayang di Malaysia.

Bagian terunik saat berkunjung ke sana adalah saat bertemu Pak Cik Hazizan. Logat melayunya semakin membingungkan apalagi kalau mereka cakap satu sama lain. Aku kadang memandang dengan melongo sampai Pak Lung tanya, “Paham tak,” apalah daya cuma bisa meringis. Pak Cik Hazizan terlihat sebagai penjelajah yang bikin aku merinding terlebih waktu beliau bertanya soal pesantren di Indonesia sumber dananya dari mana, lalu bertanya kami sudah tadarrus berapa jauh ? diberengi cerita beliau yang sudah khatam 20 kali. Setiap harinya ba’da shubuh 1 juz dan begitupun ba’da dhuhur. Aku tersentuh, aku yang rasanya hanya kenceng tadarrusnya kalau ramadhan meskipun di hari biasa aku tetap mengaji namun tak sebanyak kala ramadhan.

Dialog kami yang lainnya adalah mengenai Ahok, beliau selalu mengikuti kabar via kompas. Ahok yang sudah melambung ketenarannya gara-gara Al Maidah 51 yang menjadi trending di Indonesia dan membuat umat islam semakin bersatu itu. Aku bercerita, kalau kawan kami yang ke Malaysia juga da yang pernah mengikuti salah satu demo karena Ahok seorang. Lebih jauh lagi kami berdialog soal Cina, ekonomi di Malaysia pun sudah di kuasai Cina. Pak Cik Hazizan juga bercerita sewaktu berkunjung ke Iran, Cina pun yang menguasai perekonomian rakyat. Kami juga bercerita hal yang sama tentang keadaan ekonomi di Indonesia. Pak Cik satu ini kaya wawasan, gaya berbicaranya pun mampu menarik banyak orang supaya ikut mendengarkan kisah beliau.

Beliau pernah bekerja di Pulau Pinang, kawasan pecinan yang lekat sekitar tahun 1990-an. Karena itu beliau tahu banyak soal kegesitan Cina dalam ekonomi. Kalau kata Ibnu Batutta,
“Kita tidak akan pernah menemukan Bangsa Cina yang tidak kaya di dunia”
Kurang lebih begitu seingatku.

Kami berlanjut menengok ruko milik Rumah Gemilang. Pak Lung Suhaimi mempersilahkan kami untuk memilih cemilan yang kami suka. How pleasure I am dear.
Sekembali ke kereta Pak Lung menunjukkan buku Syekh Daud Abdullah Al Fatani, pencipta arab pegon. Lalu Pak Lung meminta kami membaca tulisan arab yang kecil dan ruwet itu. Sering sekali beliau bertanya tentang sastrawan, buku-buku, sampai pernah menunjukkan video puisi Gus Mus yang judulnya AKU HARUS BAGAIMANA saat masa 1998 di Indonesia. Ekspresi kemarahan terhadap Soeharto. Jadi semakin terpacu belajar dari Pak Lung.


#BER-RAHIM

Sehari itu kami tak sabar bertemu Umi Unnik, Kak Nia dan rombongannya. Mereka bertolak dari Kelantan. Kira-kira pukul tiga mereka sampai. Sebagai bentuk rindu dan bakti ke Umi dan Kak Nia, aku dan Umma memijet satu-satu. Kedua ibu kami ini punya ketulusan super yang tidak bisa diukur dengan materi, dua hari berturut keliling Malaysia demi menengok kami yang ber-mubaligh ria, prinsipnya sudah bertatap muka saja meskipun sekejap itu sangat cukup. Ketulusan dan rasa ke-ibu-an yang tidak pernah lepas dari beliau berdua. Perjalananku bermula diasuh Umi Unnik dulu di Asrama Siti Aisyah dan tidak pernah lepas dari ber-rahim dengan beliau.

Setelah beberapa saat kami bertolak ke tempat Wafiq dan Fauzi di salah satu pesantren putra. Aku meminta bertukaran dengan Kak Erik dan Ustadz Anton, supaya aku dan Umma di kereta yang dibawa dari KL supaya bisa tetap bersama Umi dan Kak Nia, sedang beliau berdua di kereta milik Pak Lung. Wafiq dan Fauzi tinggal di homestay, kira-kira berjarak 8 km dari kami. Kami pun tidak berlama-lama disana. Awalnya berharap bisa singgah bermalam di Kedah eh ternyata harus mengejar waktu. Rasanya ditinggal Ibu itu kan sedih ya.


#BERBUKA PUASA RIA DI FELDA, SUNGAI TIANG PENDANG

Pak Lung sudah menyampaikan di pagi hari jika ustadz dan ustadzah balik awal kita nak jalan-jalan lagi ke rumah Mak Teh keluarga Mak Lung. Bedanya Wafiq dan Fauzi juga akan diajak. Kasian mereka tidak seberuntung kami, haha. Kami pulang dulu ke rumah lalu balik menjemput Wafiq dan Fauzi, sempit-sempit di kereta yang minimalis milik Pak Lung. Perjalanan memakan waktu sekitar 45 menit. Kanan-kiri yang kami lihat masih sama, lembah-lembah dan tebing yang curam. Pada suatu waktu kami melewat kawasan Patung Buddha, harap-harap semoga ada kesempatan berkunjung ya Um.

Setiba di rumah Mak Teh, sederhana nampak dari luar, rumah bertingkat. Tapi kalau sudah masuk, subhanallah klasik rapi bagus pokoknya. Mak Teh sedang mempersiapkan menu berbuka. Aku dan Umma berkeliling sekitar rumah dulu. Menuju berbuka, kami berempat (Aku, Umma, Wafiq dan Fauzi) menunggu dengan ber-tadarrus, mengejar target khatam kami. Ketika waktu berbuka, kami berkumpul di meja makan.



Lalu sholat maghrib bersama dengan Pak Lung sebagai imam di rumah.

Menjelang sholat tarawih kami mempercepat makan supaya terkejar bisa ke masjid. Setengah kilometer dari rumah, Masjid Al Falah Sungai Tiang. Kami yang muslimah sholat di lantai dua, aku dan Umma baru menyadari ternyata ada Al Quran besar yang terpasang di depan imam, jadi imam bisa sambil membaca, bacaan tarawihnya pun kelihatannya berurut dari hari pertama dan bermula dari surah Al Baqarah. Tapi kami hanya sholat 8 rakaat lalu witir di rumah.

Balik ke rumah lalu tadarrus sejenak dan bersiap kembali ke rumah di Kampung Churok.



Salam Kawan,

Sik Kedah, 19.28 WM
3 Ramadhan 1438 H




DAY ONE OF RAMADHAN, KEDAH – PULAU PINANG ON THE ROAD

Sejak semalam yang kami berdua, aku dan Umma sholat tarawih 23 rakaat dan juga ikut ber-qunud. Awalnya kami bingung mau 11 rakaat seperti biasanya atau tetap mengikuti imam, ya sudahlah kata Umma, “ikut ibu aja, besok kita 11 aja tapi.” Haha okedee Um. Bismillah, dengan nahan kantuk yang ketahan banget demi malam pertama Ramadhan Mubarrok di Negeri Jiran yang ngga boleh terlepas begitu saja. Kami tarawih di Masjid Ar Rahman, awalnya karena kami terlalu lama bersiap mau sholat di rumah tapi demi jamaah di masjid kami tetap ikut Pak Lung Suhaimi ke masjid, harus naik mobil.

Usai tarawih kami nak diajak makan kwetiau. Allahu sudah banyak rumah makan yang kami putari tapi kalau nggak penuh, tutup atau habis. Kami keliling semakin jauh dari rumah dengan perut yang kok bisa laper lagi dan ngantuk super. Ibu dan Pak Lung memperlihatkan Bank khusus tabungan haji, Dinas Kesehatan, lalu ketika tiba di kawasan yang katanya banyak kaum Buddha beliau menceritakan kalau di Malaysia orang Islam semuanya berjilbab kalau tak pakai jilbab berarti dia jelas bukan islam, beda kan ya dengan Indonesia ? Pada akhirnya cari kwetiau sampe larut ngga ketemu, nyari burger juga engga. Kita pun minum susu milo dan sandwich sederhana di rumah. Batinku, hal itu kayaknya akan jadi rutinitas kami lepas tarawih.

Sholat shubuh pun tak mau kami lewatkan kalau hanya menghamba di rumah, sholatlah kami di Masjid Ar Rahman, selalu ramai. Sehari kedatangan kami, kami mulai membaca ‘how the Malaysia Culture, there is always the different one’ kaan dengan Indonesia. Pagi kami hanya bisa cuci baju dengan banyak resah sewaktu kembali nimbrung di grup Pasukan MHI, semuanya berkabar ria sudah bisa mengajar HARFUN, membuat jadwal di panti, Kawan Sabah yang tak kunjung dapat kepastian, Wardah Klan yang sibuk di Rumah Perlindungan, Kawan Pahang yang pusing-pusing mulu. The feeling of ‘iri’ kami muncul seketika, karena kami masih duduk di rumah. Kami berfikir ulang, tetap bisa produktif kok. Kami masih punya Al Qur’an dan penunjang buat menggoreskan pena supaya setidaknya tetap bisa berbagi kebahagiaan dengan explore journal.

Sampai waktu kami berkabar dengan Sabrina di Kuantan, ada ide terbesit muncul buat izin ke Pak Lung Suhaimi dan Mak Lung, “Boleh tak kami keliling sekitar kampung ?”. “Boleh laa, apa mau naek motor,” balasku seketika menunjukkan kesanggupanku buat naek motor, mencoba meyakinkan kalau biasanya kami di Indonesia juga pun berpusing-pusing dengan motor. Umma langsung kegirangan. Kami segera bekemas.

Aku pun keluar, Pak Lung sudah mempersiapkan motornya. Waduuh kok besar dan berat begini, ada keranjang di bagian bawah stang. Bisalah dicoba, aku memasang wajah yakin supaya Pak Lung tidak khawatir. Kami ngga akan jatuh kok Pak Lung, take it slow. Kami mengarah ke arah kanan, karena kiri adalah jalan arah kami datang kemarin dan jalan menuju masjid. Melaju terus ke kanan, banyak rumah ala semacam di Upin Ipin yang biasa kami lihat sebagai gambaran Malaysia (sederhananya).



Melaju terus dan ada papan KOLEJ KEDA 100 meter ke kiri, jelas kami pilih kiri. Ternyata emang ada sekolah disitu. Rasa-rasanya emang harus berhenti dulu, aku terus bawa Tas gratis dari Jurnalisme Maarif di Jogja kemarin. Pingin aja mem-branding-kan Indonesia dari hal yang sesederhana itu haha. Kampung itu cukup hening, melaju terus ke atas dan ada taman bermain sedihnya ada kucing yang super nyebelin, karena jujur ‘Phobia Kucing Sangat’. Kami berfoto ria di bagian-bagian yang menunjukkan identitas kawasan itu.



Kami berlanjut ke arah bawah, di jalan sebelum persimpangan kami bertemu Pak Lung, ‘ngga jatuh kan Pak Lung,’ itu yang rasanya pingin tak teriakin biar Pak Lung dengar haha. Dari tadi jalan yang ke kiri akhirnya kami lewati, di kanan jalan saat kami melaju serentak kami berteriak, “MARALINER !”. Jadi Maraliner adalah merk bus yang mengantar kami sejauh KL-Kedah. Ternyata mentok sudah jalan besar, belum berani gas lagi. Balik lah kami akhirnya, ke arah jalan menuju rumah. Tapi kami berbelok jalan-jalan kecil di kanan dan kiri.




KAMPUNG CHARUK KUDONG

Menyisir Kampung Charuk Kudong. Jalannya ya tanah dan banyak pohon di sekitar. Kalau meghadap atas adalah bukit-bukit. Ada anak kampung yang sedang berkumpul di semacam pos kamling juga ada. Kami juga mencoba yang ada tulisan sumber air, ternyata bendungan. Warna mesinnya juga sama seperti di Indonesia, biru tapi disini lebih tua. Ada dua lelaki yang juga bertambat, agak takut. “Putar balik yuk Bil,” kata Umma, “Kita masih keliatan kaya orang Malaysia kan Um,”jawabku. “iya tapi kalau kita diajak cakap Melayu kan nggak bisa.” Allaahuu Malik, eh iya Umma.

Kami juga lewat makam di Kampung ini, “Makamnya sesuai syari’at banget ya Bil. Nggak ada kotakan yang berlebihan macam di Indonesia.”

Kami cukup heran dengan kesederhanaan masyarakat di sini. Rumah-rumahnya tampak biasa saja dari luar, tapi kalau sudah masuk ke dalam. Bagusss banget. Setiap rumah hampir punya mobil rata-rata dua. Rumahnya sederhana sekali, tapi kategori menengah ke atas, dugaan kami. Ada satu rumah yang menarik perhatianku, singgahlah sekejap dengan Umma. Hal yang penting, mengabadikan momen.

Umma pun mengabadikan kawasan momen dengan lensa sederhana gadget nya.


BUKA PERTAMA DI PULAU PINANG




Akhirnya kami balik rumah. Pak Lung dan Mak Lung tampak sudah rapi, ada Kak Sarah juga yang sedang bersiap. Kami disuruh cepat-cepat berkemas, kami akan ke rumah mertua kata Mak Lung. Sayangnya Kak Sarah hendak kerja atau ada tugas apa lah kurang paham. Kami pun hanya berempat.

Aku kira hanya sekejap. Ternyata cukup lama hampir 1,5 jam menuju Pulau Pinang. Tapi waktu ashar kami beranjak dulu untuk sholat di Masjid Jamek Kuala Ketil. Setelah itu langsung berlanjut melaju. Sesampainya di perbatasan Kedah-Pinang Pak Lung memberi tau kami. Aku jadi ingat sewaktu naik Maraliner, disini memang kawasan Pecinan. Saat tiba di daerah toko dan penjual takjil, kami berdua dan Mak Lung turun. Membeli takjil, syukur sekali sumpah. Terus Mak Lung hendak beli tempat makan plastik di toko alat-alat semacam Progo kalau di Jogja. Butuh 10 tempat saja beliau.



Beberapa saat kemudian terus melaju dan sampailah kami di rumah mertua, di tengah kampung dan sekitarnya juga ada pesantren. Rumah mertua kalau bagi Mak Lung tapi Rumah Nenek kalau bagi kami berdua. Ternyata bibi dan beberapa orang keluarga sedang sibuk mempersiapkan buka. Bibi sedang menggoreng kue ubi. Ada nenek, yang aku tanya ke Mak Lung harus panggil apa, kalau di KL dipanggil Nenek tapi kalau disini “Tuk” , begitu katanya.

Mereka semua sooo welcoming sekali dengan kami. Kami benar diperlakukan seperti duo keponakan Mak Cik Siti dan duo cucu Tuk Biah. Sedang ada Kak Yanti yang sedang meracik minum dengan daun Pudina katanya, ada di Medan saja kata Kak Yanti. Tapi aku kira itu daun mint, dan ternyata benar saja Pudina adalah nama lain mint, hmm. Ternyata Kak Yanti dari Solo sudah tak bisa cakap bahasa Jawa karena sejak 9 tahun sudah di Malaysia dan terakhir ke Indonesia pada tahun 2010, sekarang belum dapat izin dari suami untuk berkunjung lagi.



Makanan-makanan berbuka tersusun rapi di meja yang ada kayu putarnya. Ada semangka, ubi gandum, martabak Malaysia, teh hangat, saus kacang dan banyak lagi. Barangkali kawan MHI yang lain tidak merasakan berada di tengah keluarga kecil Melayu semacam ini. Bagian ini yang menjadi poin rasa syukur kami.

Sholat maghrib aku sebagai imam sedang imam tarawih adalah rumah. Kami yang muslimah sholat di rumah sedang Pak Lung ada Pak Cik lainnya pergi ke masjid. Rasanya benar-benar tidak menyangka berada di tengah keluarga Melayu. Kampung-kampung di Malaysia terususn rapi. Rumah Nenek pun sederhana tapi rapi sangat.

Selepas tadarrus ba’da tarawih kami harus pulang. Rasanya sedih, kapan lagi bisa berkunjung. Kami meminta untuk berfoto bersama. Nenek titip salam untuk keluarga. Kami diajarkan panggilan-panggilan di bahasa Malaysia, antara KL dan Pinang pun berbeda, Kedah bahasanya lebih baku.



Mak Cik Siti yang baik hati dan tetap kelihatan masih muda padahal sudah berusia 50 ke atas. Kami disuruh memanggil beliau Nenek, aku bilang, “Tapi Mak Cik masih kelihatan muda,” Mak Cik kegirangan, “Wah , nanti kite belanja-belanja, makan-makan” haha selepas dapat pujian. Beliau kasih kami angpau 20 RM, wah lumayan bangeeet. Berasa emang beliau sudah tante super kami. Kami berpelukan dan harus berputus hubungan (sebutan di bahasa Malaysia).

Kami tertidur pulas di mobil. Pak Lung dan Mak Lung masih sempat membelikan kami kopi untuk diseduh sebelum tidur. Benar kan ini akan jadi rutinitas sebelum tidur kami.

Ada satu keresahan kami hingga saat ini, sebelum kami bertemu Majelis tempat dimana kami bisa berbagi ilmu kami belum tenang. Menyisakan pengharapan banyak di sisa Ramadhan ini.


Jurnal ini masih terus berlanjut ya, tentang Kedah dan segala penghamparannya :)


Salam Kawan
Kedah, 01.28 WM



3 Ramadhan 1438 H
29 Mei 2017 M
KUALA LUMPUR – KEDAH

Butuh banyak kesabaran dalam perjalanan, sesedikit waktu atau pun selama waktu pun. Bergantung pada kira yang mengukir setiap waktu dan memegang penuh kendali nya dear❤




Bismillah. Dalam perjalanan ini aku semakin berdebar, karena meskipun ini Malaysia dan tidak jauh berbeda dengan Indonesia tapi tetap saja ini negeri orang bukan negeri kami yang tidak bisa semaunya saja kita berucap. Perjalanan ini berusaha kukendaliin sepenuhnya supaya tidak terlalut tenggelam dengan gadget, anak-anak banyak berkicau di grup yang sepagi aku buat di WA, kami saja yang diterjunkan tanpa pendamping dan siapa pun dari bridge bakti Malaysia. Haha, intinya kami butuh berekspresi sepuasnya. Yang lainnya seperti sudah ‘menemukan’ tempat mereka dan menyusun bak planner tangguh, tapi yang selalu unik ya tetap Pasukan Sabah, mereka berkeliling kesana kemari tapi tak kunjung dapat kepastian penerbangan.

Jalanan Bangi menuju terminal gerimis. Pasukan Thailand juga bertolak di terminal yang sama. Jalanan mulus sekali. Kawanku, Lukita Ummahati yang bagaimana bisa kami tidak dekat dengan menjadi kawan sekelas tanpa putus, kawan berorganisasi, kawan berdiskusi dari hal kecil sampai terbesar soal dunia. Aku banyak bersyukur um, tapi entah dia lebih banyak diam di perjalanan, mungkin dia sedang mengurai benang-benang makna rantauan kami.

Tiket yang diberikan Bang Juraij diberi nama islami, haha. Aku sebagai Mariam, Umma si Asyah, Fauzi dengan Hasan, dan Wafiq si Ali. Dalam jadwal, kami bertolak dari 9.45 am – 5.00 pm waktu Malaysia. Tak masalah kata beliau, bukan seperti di imigrasi bandara.
Jam setengah satu Bis Maraliner bertambat di semacam Pusat Makanan. Sayang waktu kami hanya setengah jam, tidak mencapai waktu dhuhur. Padahal kan akan lebih syahdu kalau sholat dengan air wudhu dan di surau sana, apalah daya aku dan Umma pun berjamaah jama’ qasar di bis selepas itu. Kami cukup mengganjal perut dengan Roti 3.25 RM dan 2 air mineral total 1 RM, totally 4.25 RM.



Sepertik aku bilang di jurnal perjalananku lainnya, aku tidak bisa untuk terlelap di jalan yang belum pernah aku lewati tapi apalah daya kalau mata tiba-tiba terlelap tanpa rencana. Kami banyak melewati lembah di kanan-kiri kami, ada yang berbeda di tebing lembah Malaysia. Yang berbeda adalah ada tangga di tebing yang setinggi itu, waw. Kalau aku berhenti disitu, udah tak naiki tanpa babibu. Jalanannya juga berkelok.

Sampai di daerah Penang, karena posisiku tepat di sebelah jendela aku melihat banyak toko Cina yang beda juga, kalau di Indonesia masyarakat Cina sudah bercampur dan seperti orang Indonesia dengan tidak begitu menampakkan ke-cinaan-nya, sedang di Malaysia perbedaan antara Melayu-India-Cina kental. Toko-toko Cinanya benar-benar pakai bahasa mandarin, cakap antar orang pun kadang pakai bahasa Mandarin. Budaya masyarakat dengan kedinamikaan yang berbeda yang aku mulai tahu di saat beberapa ratus menit menuju malam pertama ramadhan.

Salah satu Toko Cina di Penang 


Dari Penang sudah masuk kawasan Sik Kedah yang desa dan udara seperti cepat berganti lebih dingin, dinginnya Malaysia tetep panas hehe. Wafiq yang berkomunikasi dengan yang akan menjemput kami di pemberhentian Maraliner. Ada Pak Cik yang langsung datang menghampiri, “dari Jogja ?”. “Iya kami dari Jogja Pak Cik,” Pak Cik langsung menjawab kalau yang akan diantar kami yang muslimah dahulu. Mobilnya minimalis warna putih dengan bagasi yang tidak begitu besar.

Pak Cik mulai bercakap dengan aku dan Umma. Kami sedikit kaget, karena ternyata budak-budak baru saja diputuskan untuk dipulangkan sampai rabu. So, selama lima hari kami akan singgah di rumah Pak Cik, Kampung Charuk Kudong. Beliau biasa dipanggil Haji Suhaimi. Sekejap saja dari pemberhentian Maraliner tadi. Kabar ini memutar otak dan hatiku, menetralisir, menyeimbangkan. Lalu kami bakal punya kegiatan apa selama itu. Kata teman, perhaps buat menjelajah dulu Bil.

Kakak tingkat kami yang dulu ditempatkan di Panti Yatim Gemilang so welcoming dan memasukkan kami di Grup Ikatan Ukhuwah Whats App, dia banyak berpesan supaya kami jangan lupa menulis diary dan membuat folder dokumen setiap hari, setiap momen harus diabadikan. Kami baru berani memperkenalkan diri selepas sampai di Sik Kedah. Well, please give me another unpredictable moment Allah:). Wafiq dan Fauzi singgah barang sejenak di rumah Pak Cik untuk makan. Nantinya mereka tinggal sementara di Pesantren Lelaki dan diantar Pak Cik.

Tampang depan rumah sangat sederhana tapi dalamnya beuuh, cantik pisan 😍

Mak Cik pun sangat baik, dulunya beliau Pegawai Kerajaan atau kalau di Indonesia Pegawai Negeri Sipil. Tapi mereka sudah pensiun dan mengurus panti. Ada Kak Sarah juga puteri mereka yang sudah bekerja. Kami disambut dengan makanan kari yang manteeebb, renyah, pedes.

Menuju Sik Kedah yang penuh makna,
Perjalanan di Sik Kedah masih berlanjut yaa

Salam kawan,
Kampung Charuk Kudong, 2 Ramadhan 1438 H  01.31 WM



bersama Mak Cik Salmah, kami ditraktir sirup Bandung


In the name of Allah
Ramadhan di Negeri Jiran barang baru untukku, terlebih dengan kawan perjalanan yang baru. Banyak yang sama antara Jiran dan Nusantara, tidak jauh berbeda tapi bukan tidak boleh kan kalai kita mau berkisah, biar ramadhan kita tertuai melimpah untuk siapa saja yang menyeduh nikmat di dalamnya.

Kita disebut sukarelawan oleh Keluarga Besar Malaysia yang bekerjasama dengan kita, pasukan Mubaligh Hijrah Internasional Madrasah Mu’allimin-Mu’allimaat Muhammadiyah Yogyakarta. Setelah pesawat mulai landai, lalu sebutan touch down sudah tersemat. Terlebih ke luar negeri bersama pasti akan jadi momen terepik dalam fase kita belajar di sekolah kader. Aku dan kedua temanku Muthia Zakky dan Aysee terpisah dengan rombongan Mu’allimaat, kami bertiga langsung saja masuk imigrasi yang dimasuki Mu’allimin, karena kami berjalan paling depan. Eh bukan keberuntungan kami, malah kami bertiga yang jadinya agak akhir di tempat pengambilan bagasi.

Sampai di bagian terluar bandara banyak kereta ‘mobil’ yang menjemput, tiba di bagian akhir adalah bagianku. Kita semua singgah di Masjid dekat bandara, syahdu sekali rasanya, masih belum sadar total sudah jauh dari Jogja dan akan bermomen ria di Negeri Jiran. Ba’da jama’ qasar sholat Dhuhur dan Ashar kami tiba-tiba dikumpulkan dan harus berbaris, Pak Cik Zul membacakan absen tapi juga seperti banyak yang berubah tiap pasangan untuk ditempatkan. Aku kira keesokan harinya kita akan diterjunkan ternyata detik itu juga sudah banyak Tuan Rumah yang menjemput. Kita sedikit kaget, tapi juga harus siap nantinya dengan siapa saja. Seperti kubilang sebelumnya, semuanya masih bisa berubah. Langsung pasukan Mu’allimaat berkumpul dengan Umi Unnik dan Kak Nia, “Umi Kak Nia ini jadinya gimana, kami bingung,´

“Umi juga ndak tahu nak, coba kita kumpul dulu,” kita pun berkumpul di rerumputan masjid.

Menata lagi dari awal, banyak yang risau. Tapi hamdalah jadi seperti sebelumnya, karena barang kita ada yang sudah barengan karena memang taunya di satu tempat. Tapi heboh banget Pasukan Mu’allimin apalagi yang rombongan Negeri Sabah, mereka harus terbang 2 jam dan perjalanan darat 1 jam. Waw. Fafat sama Malwa kegirangan karena mereka nggajadi yang ditempatkan bareng Mu’allimin, Pasukan Pahang ada 3 kelompok tapi akhirnya mereka pun jadi berdua. Pasukan Mu’allimaat pun sudah dibagi simcard Malaayy. Sepersekian detik kami berpelukan dan ber-putus hubungan kata Pak Cik Zul haha. Yang laki-laki disebut Muslim yang perempuan disebut Muslimah. Aku masih banyak belum paham, bingung harus cakap bahasa melayu macam apa.


#BERJALAN-BERSINGGAH RIA

Pada akhirnya aku tetap ditempatkan di Rumah Anak Yatim Gemilang Sik Kedah dengan Umma, yang muslim dengan Wafiq dan Fauzi, kalo kata Apis ke Umma mereka berdua alim sangat hafalannya banyak pula. Kita berdua mah apa ya uum, haha. Bismillah
Kita singgah dulu di rumah Dr. Nordin, eh ternyata rombongan Kelantan juga menyusul beberapa menit kemudian, ada juga beberapa yang harus ke Thailand. Mina, Bira, Mbak Ardita, Gandhi, dan Aam yang menuju Kelantan, sisanya ada Anhar, dkk yang menuju Thailand. Grup kami yang Mua’llimaat sudah bersibuk ria berbagi cerita dan foto-foto sebagai bukti kalo mereka telah sampai dan harus kompak demi mengudarakan islam yang rahmatan lil ‘alamiin :)

Sedikit resah dan berdebar , takut yang ke Sik Kedah tidak jadi malam ini, ternyata memang kita akan diberangkatkan keesokan harinya. Kita semua yang di Dr. Nordin masih menunggu tiket bus. Mak Cik Salmah mengajak belanja. Air di rumah habis, pun kita sudah harus makan malam. Awalnya ingin menolak ikut karena badan sudah remuk sangat dear, tapi apalah daya rasa penasaran lebih kuat ketimbang hanya sekedar lelah.

Mak Cik bercerita tentang bagaimana kondisi daerah penempatan kami, kata beliau Pahang biasa saja seperti kota dan Islamnya moderat, kalau Kelantan dan Sik Kedah pernah dipimpin satu raja yang daerah kerajaannya sama, banyak alim ulama di Kelantan dan Kedah. Kalau puasa juga banyak macam makanan dan murah-murah. Jadi banyak ustadz di kedua daerah itu. Kita jadi semakin ngga sabaran, beneran. Kita berhenti di kawasan rumah makan. Baunyaaa tsedeep sangat, ada kwetiau, me indomie bahkan terus ada cabe yang super gede ukurannya.

Diajak pusing-pusing, wew. Manteebb beuuh. Mak Cik Salmah mulai menghafal nama kita, kata beliau kalo Nabila itu nama model dan artis di Malaysia, Ardita jarang, dan saling berbagi arti nama. Mak Cik sederhana banget, beliau sudah S3 ternyata. Suaminya pun, Dr. Nordin banyak beri kita petuah bijak, risalah Al-Qur’an.

Setelah kita menunaikan sholat maghrib isya’ ada jeda buat kita berkumpul diajak Dr. Nordin. Kita saling berkenalan satu sama lain, dan beliau juga menanyakan tentang orang tua kita. Ada hal yang membuat kita tersentak, “banyak jalan mudah menuju surga tapi kite kadang memilih jalan sulit. Ape ?” Biruul Walidain, kadang kita tidak kenal dengan orang tua kita sederhananya seperti mengingat umur mereka, kita akan mencoba mengenal ketika mereka sudah tua. Nyaass. Beliau juga menyampaikan, kita juga dianjurkan Al Qur’an berwisata, bertebaran di muka bumi, Fasiikhuu fil ardhi – Fantasyiruu fil ardhi, ada 3 ayat tapi aku menambahkan satu yang ada di QS Al Jumu’ah.

Bertebaranlah di muka bumi
Berjalanlah tanpa tapi dan kau akan menyadari
Nikmat Tuhan yang tanpa tepi

Sayangnya, mataku tak bisa kompromi, aku menyudahi dahulu percakapan seru malam itu. Terelelap tanpa tendensi. Aku masih butuh tenaga ekstra buat menuju Kedah yang seperti Jogja-Jatim.

Selamat bermanifestasi ria di negeri ceria tanpa melupakan nusantara !

Kami menemukan banyak hikmah pada setiap tempat. Meskipun ketakutan, ketidaktahuan, risau dan galau pasti datang tanpa mengetuk, tapi justru iu adalah kesempatan kita menemukan banyak rasa yang harus kita kendalikan dengan bijak, yang harus kita kendalikan supaya tidak lepas dan pergi tanpa arti. Satu hari itu kita sedang mengumpulkan angan dan berencana supaya tidak ada kesia-siaan dalam perjalanan kami, dalam ramadhan suci kami. Kami bersaksi atas nama agama dan almamater kami, Nusantara tetap menjadi pangkuan sejati.


Sik Kedah 12.44

1 Ramadhan 1438 H
In the name of Allah

Ini adalah pesawat ke 12

Ini adalah Maskapai Air Asia pertama

Perjalanan mengarungi langit

Melawan waktu, tanpa batas


Terimakasih, yang selalu membersamai  :)

Dalam rentan yang begitu menakjubkan, kali ini dalam mimpi yang hanya pernah terucapkan tanpa niat kesungguhan. Tetapi mengusahakannya jika ada kesempatan.


Karena mimpi mengatasi waktu
Ketika burung terbang ini mulai take off, kau semakin menyadari Bil, kau akan melintasi lagi benua Asia

Leaving on a airplane. I am often bombarded with 'your' attendance dude😌

Menakjubkannya perjalanan mengarungi negara, terlebih lagi bersama kawan yang tak kalah menakjubkan dalam banyak perjalanan

Untuk sepagi ini, diantara sekian banyak perjalanan, syukur aku lebih tenang dan tidak seperti diburu banyak hal. Tapi tiba-tiba ada satu tugas untuk 'perjalanan mendepan yang sangat kunantikan' ada email dari Kak Aang Admin Assistant Program Sending AFS waktu perjalanan menuju bandara tadi, "Halo Dik, Jangan lupa hardcopy dikirimkan ke Kantor Nasional untuk ditandatangani pihak Bina Antarbudaya. All the best."

Calm down Bil, kamu punya kakak pamong yang bisa bantu kamu buat kirim ke Jakarta. Dunia udah canggih kok:), Kataku ke diriku.

Satu harapan pentingku untuk perjalanan romantisme ramadhan ini adalah, buat itu se-meaningful mungkin dengan kawan bertahun-tahun Jogja di Mubaligh Hijrah Internasional ini, kamu bakal ditempatkan yang paling jauh dari Kuala Lumpur, dekat dengan Thailand, dan kamu ditempatkan dengan kawan beda laga satu sekolah kader lainnya, di Rumah Anak Yatim Sik Kedah Negeri Jiran. Tapi ini pun masih tentatif, masih bisa berubah. Kamu kudu siap. Kamu kudu berbeda.

Keep being you,
You will always live the moment. Make it as marvelous as you make it dear❤
Let them know, you're incredible one in the world

Sepagi tadi ada yang berhasil untuk kesekian kalinya, membuatku berdebar dalam banyak perjalanan. Travelmate. Across Nation-Island-Cities. Aku semakin berharap banyak untuk perjalananku. Ada kawan perjalanan yang selalu setia membersamai. Takdir Tuhan begini banget ya (?) ugh.

Aku melintasi langit, melihat banyak pulau-pulau Nusantara yang memang nyata beribu. Selalu ada langit di atas langit. That's why aku bilang, tanpa batas. Aku banyak merenung di tengah keramaian, kerisauan, keribetan, manusia lalu lalang, cek bagasi, melewati imigrasi, bahwa memang manusia tidak bisa sendiri, manusia tidak bisa sombong, tapi manusia harus menyadari kehadirannya menuju dunia yang 'seorang diri' pun atas perjuangan manusia lainnya, ayah dan ibunya. Manusia tidak bisa benar-benar sendiri.

Ketika melintasi awan yang seperti kapuk empuk yang setia memanggil angin supaya tidak lari, awan yang tidak terhitung. Membuatku berteguh, kamu harus bersyukur Bil. Tuhan. Banyak sekali limpahan rahmatmu. See. Percaya tidak percaya, kesemua penerbangan mengudaraku totally free. Ada Ikatan percaya antara diriku, manusia-manusia, dunia, langit dan Tuhan.

Hijrah tetap akan menjadi pangkuan sejati
Perjalanan adalah kawan abadi
Dunia dan langit menanti
Ada keluarga baru di Negeri Jiran yang harus kau temui
Ada banyak hikmah yang harus kau semai
Kau punya Islam untuk semesta, tetaplah mengudarakan tanpa tepi
Jangan berhenti

Maskapai Air Asia, 9.18 WIB
May, 25 2017

Marvelous Walker across the world,
Nabiladinta

Si Sulung

Sebutan abadi, karena manusia tidak ditakdirkan untuk bisa memilih atas 'Sebutan abadi' ini. Sebutan dan takdir sebagai Si Sulung selalu menjadi pertimbanganku dalam banyak hal mendepan. Aku seperti tidak bisa dengan egois saja cepat memutuskan. Menimbang banyak hal di belakang yang tak luput dari banyak tuntutan. Kadang aku berfikir, kenapa manusia bisa memiliki banyak sematan dalam satu perjalanan, katakan sebagai Si Sulung, pemimpin, yang dipimpin dsb. Tapi bagiku, tetap tidaklah mudah menjadi si Sulung, atas apa yang sudah dan akan terjadi aku tetap saja masih egois, Mengajar kemauanku sekali pun untuk kepentingan banyak manusia. Kata Bapak, "lalu bagaimana adik-adikmu? Tidak mungkin anak bapak hanya maju yang satu sedangkan yang lain harus mengalah."

Aku tau, dan tak luput dari selalu mendoakan adik-adikku. Aku perempuan dan sulung, bagaimana pun caranya aku merasa harus berani dan berdikari. Harus tangguh. Tidak ada tentang mana yang lebih sulit antara lelaki dan perempuan, keduanya sama-sama sulit. Tapi sedikit sesak ketika ada adikku yang berkata, "keberuntungan keluargaku serasa diambil kakakku seorang." tarik nafas dalam. Asal kau tahu dik, aku begini karena perjuanganku supaya tidak menjadi kakak yang biasa saja dan bisa selalu jadi contoh bagimu. Aku mau membuktikan padamu kalau anak sulung perempuan sepertiku juga tidak kalah tangguh dengan lelaki sekali pun. Kita tidak tau nantinya, secepat apa apakah kapan peran Ayah dan Ibu akan aku gantikan. Untuk hidup kita yang masih terus berhembus.

Padaku, si Sulung. Jangan berhenti. Kau tidak akan tau kapan sosok dan peran kau akan bertambah, sebagai Ibu-Ayah-Isteri-Anak Sulung-Pejuang Umat-Pemberdaya Manusia. Kau tidak akan pernah tau. Tetaplah berjalan dan memperjuangkan tentang apa yang kita rasa benar dan patut.



Ingat adik-adikmu, jangan lupa hei sulung :)

Menjadi si Sulung bukanlah perkara mudah. Kau memang tidak pernah meminta takdir ini, tapi kau tak perlu tau apa alasan Tuhan tentang ini. Cukup perjuangkan apa yang selayaknya Putri Sulung, kelak kau akan paham betapa menantangnya menjadi Putri Sulung.

Sidokabul Jogja, 12-05-2017
Tentang Bandung dan segala penghamparannya

Tentang berjalan sendiri yang mengurung banyak makna, sekali pun aku berangkat seorang diri dari kota perantauanku tapi nyatanya Allah Maha Baik, mimpi bisa mengabadikan momen terbaik di Bandung terlunaskan dengan kehadiran duo manusia baik buat menemani seorang pejalan amatir kaya aku ini yang sok berani kemana-mana bawa seorang diri. Karena itu caraku menikmaTi me-time ku so biar bisa menemukan banyak makna quality time.

Perjalananku tanpa kurencanakan sepenuhnya tapi kuniatkan seutuhnya.
Minggu malam sebagai malam penghabisan Rembug Remaja Indonesia dengan berganti penginapan di Hotel Madju yang jadoel dan tua itu jadi malam terspesialkan buatku setelah seharian penuh berembug soal Peta Jaring Laba-Laba, it was about how to creating community yang bisa didukung dan terus berjalan dengan prosesnya dan punya basis masa yang kuat. Aku belajar banyaak banget dari ide-ide brilian temen-temen RRI, mulai dari Kang Fakhry yang tuna netra tapi selalu punya other side yang bikin menganga semua orang, Si Hasnia bocah serumpun Jawi yang punya gairah baru dengan pendapat cemerlangnya, Si Diky yang terus-terusan nyudutin aku biar ngomong, bentar kek Dik aku baru mengamati dulu biar quality of speak nya bermakna buat semua yang denger hmm, batinku. Bocah biru dongker satu ini selalu merendah yang katanya bahasaku ngga bisa setinggi yang lain tapi idemu itu lho aku aja takjub, heuh.

Malem Pensi yang super mendadak buat aku, tapi nggaboleh biasa dong bagi Ulima Nabila, kamu bawa nama Pelajar Muhammadiyah se-nusantara masak iya biasa ajha. Intuisiku bergerak cepat dengan kowar di grup squad  keren laah ya pokoknya finally ada temen yang super baikk lagi, dan sastrawan keren yang bikin aku iri, si jurnal gee yang kasih gudang puisinya. Then dia kasih aku puisi yang judulnya Kau Bilang terinspirasi dari Gus Mus. Sedikit sarkas bahasanya tapi punya kekuatan makna, thanks a lot jurnal gee. I know you were happy because I was trusting for that night haha, as you told me.

Setelah hampir semua kasih persembahan so sad but true namaku ngga dipanggil padahal super cepet aku bikin puisiku sendiri dan pingin bacain puisi Kau Bilang. Setelah kang Fakhry bermelodi dengan gitar dan suaranya, setelah Nisa asik dengan dangdutnya, setelah Kang Tami bawain lagu band yang cukup terkenal di Jawa Barat, dan setelah itu semua. Yaaah… but behind everything that happen there is always brige side kaan, padahal itu udah closing dari Ketua Yayasan Kampung Halaman, beliau kasih closing speech dengan, “ya dan acara kita akan ditutup dengan persembahan dari Nabila,” how wonder I am guys, like they were put me in special moment and I feel so respected by them, I dont know how to say. Dari keterlambatanku dateng dan sampai akhir aku sangat disambut.

Hening.

Berjeda.

Dengan hanya aku yang bernada dengan kekuatan lisanku, dengan aku yang berusaha sepenuh hati menyentuh setiap hati yang mungkin sedang dirundung gelisah, dengan keadaan yang mungkin masih semu dan menanti kehadiran kita yang menyadarinya.

Malam tanpa kantuk dan suntuk itu, aku terteduhkan dengan segumpal inspirasi dari Kang Jejen dan Kang Fakhry, dua sejoli yang buta mata tapi ngga pernah buta mata hati dan batinnya. Mereka berdua kowar di grup biar pada join di Warung Cartel depan hotel. Akhirnya aku dan Hasnia nyusul dengan Zainal dan dua sejoli yang lebih dulu disana. Sampe seblak mereka dah habis. Sambil Kang Jejen cerita gimana dia operasiin ponselnya, setiap pesan masuk dia setting jadi bersuara dan ketiknya pun perlahan dan harus dideketin ke telinga. Mereka berdua itu pegiat IT di Jakarta, gimana bisa buta dan ngga pernah liat wujud komputer tapi bisa ngendaliin teknologi yang canggih sejak abad 20 ini ? batinku.

Aku punya ide yang selalu aku tawarkan ke semua temen baru yang aku temui sejak momen di Sungai Pegunungan Shenandoah Amerika dua tahun lalu, waktu itu maen first impression sambil tubbing pake ban di sungai. But kali ini dengan duduk manis di dini hari Bumi Pasundan.

Bermula dari Kang Jejen, pas ini si Jirjis dateng sambil mesra sama isapan rokoknya. Kita lebih ngulik perjalanan hidup Kang Jejen yang tanpa kejenuhan dan penyesalan. Kang Jejen cerita, dia selalu yakin dengan apa yang ada dihadapannya sewaktu berjalan dan tetep maen dengan kawan sebayanya yang normal. Tapi beberapa kali jatuh pun terjadi sampe beberapa kali operasi, tapi kata dia, “tapi enak jadi orang buta, bisa jadi senter.” Loh gimana ceritanya, kita heran. Kalo mati lampu semua keluarganya risau dan malah minta tolong Kang Jejen buat beli lilin di warung bahkan tanpa tersesat dan yang nyalain lilin pun dia.

Kang Jejen yang penuh kepercayaan bisa bantah semua keluhanku selama ini.
Usia 11 tahun dia mulai penasaran sama komputer, “katanya komputer alat multi guna berarti semuanya bisa kan nggunain itu.” Mulai beli komputer tapi ampun sudah masuk reparasi puluhan kali karena diutak-atik sembarangan sampe software-nya rusak. But now, unbelievable but its true he is master of IT in Jakarta and many people proud to have him.
Carilah kepercayaan dengan kenekatan -Jejen Juanda, 25 tahun tuna netra-
Pernah juga karena pingin belajar di salah satu institusi khusus tuna netra di Jakarta, siang bolong di Cirebon asal Kang Jejen nekad berangkat seorang diri naik bis ke Jakarta dengan ditemani tongkat yang nemu di sekolahnya. Malem hari sampe lokasi tanpa tersesat. Esok hari daftar seorang diri dan pulang juga sendiri ke Cirebon. Kata dia, “Kita harus berani, carilah kepercayaan dengan kenekatan.”

Belum berjeda lagi, berlanjut ke Kang Fakhry yang tuna netra tapi masih bisa lihat cahaya 10%. Mereka berdua ngga pernah merasa jenuh, apalagi menyesali keberadaan mereka di dunia. Mereka bisa jadi sahabat deket, kalo kata Kang Fakhry, “Intinya hidup kan menghadap Tuhan.”

Intinya hidup kan menghadap Tuhan -Fakhry, 22 tahun tuna netra-

Mereka yang ngga pernah bisa melihat secara langsung keagungan ciptaan Tuhan bisa menyadari eksistensi Tuhan setulus hati dan selalu berusaha sholat tepat waktu. Aku M  A  L  U. Superrr. Sampe akhirnya ngga tuntas karena terlalu sayang kalo ngelewatin denger cerita mereka berdua. Sedikit banyak yang lain juga saling cerita, termasuk si Zainal yang dilahirkan tanpa anus terus langsung operasi pembuatan anus, dan harus bayar Rp 20.000,00 sampe TK buat sekedar buang air besar, memenuhi panggilan alam. Dan lagi ya, dia perlu cara taktis sampe sekarang buat ngelakuin hal manusiawi itu. How thankful I am. Traveling brings me from speechless into story teller.

Kira-kira jam 2 pagi kita masih asik mengabadikan momen dengan mirrorless Hasnia dan Mas Hilmy di Jalan Bandung yang romantis dengan lampion berjalar. Kehadiran si Jirjis, photographer handal buat kita. Aku lebih bersyukur lagi karena aku bakal menikmati Senin di Bandung bareng Jirjis, ngga bakal khawatir tidak terabadikannya momen dengan baik-. Haha

Menjelang shubuh. Tidak lupa bermunajat dulu Bil.

Selelah-lelahnya aku yang ngga tau gimana menghadapi satu hari lagi di Bandung seorang diri. Dalam perjalanan, aku selalu percaya masih banyak orang baik kok, jangan takut. Allah Maha Baikk:)).

Sampe fajar di Bandung.

Aku selalu percaya, bener kata ibnu batutta,
Traveling it leaves you speechless then turns into story teller

Bumi Jokja,

Nabiladinta 9 Mei 2017

*berlanjut


I love Traveling as much, I love talking to everyone who loves traveling, and this post will tell based on dream because of talking with my friend who loves my love




Tentang Surga Pasundan (2)

Keberlanjutan akan terus dilanjutkan, cerita ini tentang kembali memaknai berjalan sendiri and keep understanding how live the moment better.

Sampai akhirnya aku getting bed to sleep bareng peserta Rembug Remaja Indonesia lainnya aku mulai merebahkan diri sedikit memanjakan setelah travel panjang berhasil men-jeda-kan waktuku sekian jam. Pada setiap momen baru syukur sekali aku langsung bisa enjoy dan akrab dengan semuanya, mulai yang dari seumuran sampe yang udah mahasiswa.

Malam itu ada sesi lagi di Bandung Creative City Forum, sesi nobar dari PIJARU salah satu icon media kompas yang bergerak di film dan short movie. Kita nonton ‘Surat Untuk Jakarta’ yang digambarkan dengan kartun sederhana dan singkat tapi berhasil dapet penghargaan dan viewers yang bejibun di youtube. Waw. Lalu ada movie tentang Santri yang maunya selalu instan kalau dapet tugas membaca kitab kuning oleh Kyainya, ada juga tentang perspektif masyarakat yang banyak terganggu dengan TOA Masjid yang kurang nyaman ketika terlalu kencang meskipun dalam melakukan ritual ibadah, seperti Mengaji di siang hari di saat masyarakat banyak yang istirahat. Gemblengan Yayasan Kampung Halaman atau sebut saja KH terkait media melalu video dsb berhasil buatku ‘sedikit menyesal’ karena aku ngga begitu concern di situ padahal sending message to society lewat ini bisa juga ber-impact besar.

Malam semakin larut waktu kembali ke penginapan, di perjalanannya aku sempet ngobrol sama Mas Hilmy dari Qaryah Thayyibah Salatiga yang concern di dunia pendidikan dan digerakkan pemuda. Ada yang menyentuh dan selalu aku inget dari Mas Hilmy, “Bil pokoknya kamu nggaa bakal nyesel kalo kamu balik ke Temanggung.” Ugh so deep dear, it was like remind me what for yo go so far but you don’t have willingness to do best to your own place where you were born there, which is Temanggung in this case. Terimakasih Mas Hilmy.

Here is Mas Hilmy, yang pegang microphone


Ada lagi obrolan yang bikin aku tergugu dan tersentak, bermula dari tawaran si Diky waktu udah sampai penginapan, “Eh itu di atas lagi pada ngobrol lu kalo mau ikutan sana.” Ya please siapa yang nolak buat bikin Q-time dengan teman baru di sela Me-Time perjalananmu. Ada Kak Desboy kata si Diky yang aku penasaran banget, who is she ? yang berhasil bangun pondasi Sanggar Anak Harapan di Jakarta yang carut marut itu. Meluncur ke atas. 

Ada banyak orang disana, spesifik lagi banyak Kaum Adam di sana, dimana perempuan yang ngga pernah beranjak sampai ngobrol berakhir nanti cuma Nabiladinta selain Kak Desboy. Penampilan Kak Desboy yang sangar tapi bingar dan temennya Kak Michele (gini bukan ya kak namanya (?)) bisa bikin aku so welcoming to say anything. Kita ngga serius banget kok ngobrolnya, wkwk. Pertanyaanku tentang Sanggar yang sederhana malah bikin berbalik arah, which is aku jadi yang dicerca banyak pertanyaan. Malam itu penuh kendali hati. Herannya Kak Michele tau banget soal Muallimin dan Mu’allimaat (sekolah kebanggaan coy, haha), tambah tau banget beberapa culture antara kedua sekolah tua itu. “Loh Kak kok tau ? alumni ya ?” aku super heran tapi dia juga sampai ujung ngga ngaku. Sampai aku ditebak banyak hal yang bikin aku bingung dan please kak stop it, aku malu haha. Aku beberapa saat ngeliatin, dan kata Kak Michele, “Jangan di liatin gitu dong, kan ngga enak,” haha oke okee kak so slow please.

Here is Kak Desboyy


Aku juga cerita keresahan-keresahanku tentang sekolahku, kota kelahiranku, dan banyak masalah lainnya. Terlebih tentang kota kelahiranku yang aku ‘merasa berdosa’ karena belum bisa kasih banyak and do the best to people around me there, Temanggung. Banyak juga temen kecilku yang berhenti sekolah dan orang lain juga yang super bikin aku ‘galau’. Aku terguyur inspirasi dari Sanggar Anak Harapan. 

“Yaah lu dah pesen tiket, padahal mau kita ajak ke Sanggar,” Kak Desboy

“Loh iyaa ? Ngga ngomong dari tadi yaaah padahal baru aja pesen tiket pulang kak, pingin banget ihh.”

“Ya udah batalin tuh tiket haha,”

“Eh ngga murah, ya kalo duitnya bisa balik, kering ini kantong.”

Dengan segala pengharapan yang ujungnya juga belum bisa kalo ke Jakarta setelah itu. Tapi aku mau cerita sedikit tentang sanggar dan Kak Desboy yang penuh nyadarin aku malem itu. 

“Lu habis kuliah di Bandung atau Jakarta terus mau ngapain.”

Aku bingung jawabnya.

“Loh lu percuma dong kalo merasa berdosa ke kota lu kalo akhirnya lu ngga balik, gue kira lu mau balik ke sana. Emang tujuan lu apa sih ?”

DOORRR!! Super bingung lagi. Dengan segenap pencarianku, aku tetep masih bingung kalo bicara soal ini yang pasti nyangkut ke ‘cita-cita’. Apalagi soal nanti aku bakal hidup ‘dimana’ dengan pemikiranku yang mungkin masih ‘sempit’. Setelah kuliah dsb aku pasti menikah untuk menyempurnakan agama dengan jodohku yang absurd itu siapa, pastinya perempuan akan ikut laki-laki dan belum tentu aku bisa di Temanggung menetap atau pergi.

“Duh apa ya kak, kok aku jadi bingung gini kalo ditanya beginian.”

“Gue udah dari kelas 4 SD hidup di jalanan. Kalo kita bicara tulus ya kita harus tulus. Banyak orang yang ngomong banyak hal tentang masalahnya di banyak tempat sampe orang lain juga ikut mikirin dan pusing ya contohnya kaya masalah lu gini. Orang yang pergi kesana kemari dengan bahasa yang demikian di banyak forum. Kita di sanggar ? yang bicara dengan bahasa kita, sampe kita tau anak TK udah berapa kali putus sama pacarnya karena kita jadi temen buat mereka. Kita begini tapi kita nyata. Pokoknya sanggar gue buat generasi penerus bangsa. Banyak orang yang pergi ke sana sini tapi dia sebenernya lupa dia pergi buat siapa. Pecuma dong kalo cuma buat dirinya.”

Ugh. So deep kak :’)

“Kita berbuat nyata. Pernah ngga lu bikin aksi nyata, kaya lu tadi bilang soal HP di sekolah lu yang dilarang, pernah ngga lu bikin apa kek gitu sama temen-temen lu biar HP bisa dipake dan lu butuh kan ? Gue pernah ngelarang anak sanggar buat pacaran tapi ada satu anak yang ngga setuju, gue kasih kesempatan ke dia akhirnya dia bisa buktiin pacaran yang baik gimana dan pacaran ngga selamanya buruk. Sampe sekarang gue ngga larang anak sanggar pacaran.”
 
Aku merenung. So selama ini aku udah berbuat apa ? Masih Belum kan Bil ?

“Oke tadi lu bilang lu cewe terus ntar lu nikah dan ngga tau bakal hidup dimana. Emang apa yang bikin lu ngga bisa berbuat sekarang. Kita bisa kan ntar sharing terus kita maen ke tempat lu. Lu kalo mau lebih tau tentang sanggar makanya maen ke sanggar. Ya tapi lu bakal gila kaya kita-kita haha. Gue sebenernya heran, lu susah suka sama orang atau susah sadar kalo suka sama orang. Yang gue heran lagi, lu ngga pernah sadar kalo bisa bikin banyak orang suka. Misalnya kaya tadi kalo lu ngomong semuanya merhatiin dan dengerin lu kan? Lalu apa yang bikin lu ngga bisa mulai.”

Hah ? bisa bikin banyak orang suka. Poin yang juga bikin aku balik tanya ke diri sendiri. So tunggu apa lagi Bil. Speechless to say.

Setelah itu Kak Michele, Kak Desboy si Diky juga ngobrolin soal cinta, kata Kak Desboy, “Coba sekarang tema kegiatan ini apa ? Rembug Remaja Indonesia, nah pernah ngga bicarain soal cinta ? Padahal remaja juga butuh ini kaan?” hahahah, duh Kak Desboy ini. 

Kita sharing soal cinta, aku juga cerita soal prinsipku yang ngga mau pacaran dan banyak lagi. Aku heran juga, kok bisa aku seterbuka itu sama mereka dan cerita sampe hal sedalem itu soal hati. Kata mereka, “Ah lu sekali-kali kek berani pacaran”. Cuma tak bales senyum. Banyak perspektif tentang ini yang aku dapet dari mereka, sampe ngga sadar ngobrol udah berganti hari dan aku juga ngga kerasa super capeknya setelah berkegiatan non-stop di Jogja sampe perjalanan molor ke Bandung. Perjalanan yang sangat Me-Time dari Jogja.

Kak Desboy yang sangar, Diky yang masih bocah biru dongker, Kak Michele yang supur ngguyuni dan bikin aku speechless terimakasih udah successful made my first night so meaningful. I know I can do better by then. Hidup ngga melulu soal mencari dan mencari, saatnya kita bernada dengan aksi yang mendamaikan siapa saja di sekeliling kita. Rasa-rasanya semakin aku berjalan kemana pun aku semakin resah “tentang untuk apa kamu berjalan jika kamu berjalan untuk menyendiri jadikan berjalanmu itu berdikari, menyemai dan menyejukkan siapa saja sedapatmu tanpa tapi Bil,” kataku kepada diri yang fana ini. Kata temanku, dunia ini fana dan karena fana, itu yang membuatku ADA.

Teruntuk malam Bandung yang menyejukkan, aku semakin dibuatmu rindu.

Mushola Asrama Shofiyah,


Nabiladinta 8 Mei 2017 11:06 pm

*berlanjut
Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

Cari Blog Ini

POPULAR POSTS

  • Hari-Hari di Pamulang (3)
  • 2024: a magic of ordinary days
  • Tentang Bisa Punya Waktu Tanpa Libur
  • pagi yang aneh

Categories

AFS Italy 2017-2018 Self Talk Hijrah Malaysia Ramadhan di Italia
Diberdayakan oleh Blogger.

Blog Archive

  • April 2025 (1)
  • Desember 2024 (1)
  • Juni 2024 (5)
  • Januari 2024 (1)
  • Desember 2023 (1)
  • September 2023 (1)
  • Agustus 2023 (3)
  • Februari 2023 (1)
  • Januari 2023 (1)
  • Desember 2022 (1)
  • November 2022 (1)
  • September 2022 (1)
  • Agustus 2022 (3)
  • Mei 2022 (3)
  • April 2022 (10)
  • Februari 2022 (1)
  • Desember 2021 (2)
  • November 2021 (1)
  • Oktober 2021 (2)
  • September 2021 (1)
  • Agustus 2021 (2)
  • Juli 2021 (3)
  • Juni 2021 (2)
  • Mei 2021 (1)
  • April 2021 (2)
  • Januari 2021 (2)
  • Desember 2020 (2)
  • November 2020 (1)
  • Oktober 2020 (11)
  • September 2020 (1)
  • Agustus 2020 (2)
  • Juli 2020 (2)
  • Juni 2020 (1)
  • Mei 2020 (19)
  • April 2020 (7)
  • Maret 2020 (2)
  • Januari 2020 (1)
  • Oktober 2019 (1)
  • September 2019 (1)
  • Agustus 2019 (1)
  • Juli 2019 (1)
  • Mei 2019 (1)
  • Maret 2019 (1)
  • Februari 2019 (2)
  • Januari 2019 (1)
  • November 2018 (1)
  • Agustus 2018 (1)
  • Mei 2018 (2)
  • April 2018 (4)
  • Maret 2018 (4)
  • Februari 2018 (5)
  • Januari 2018 (7)
  • Desember 2017 (9)
  • November 2017 (6)
  • Oktober 2017 (6)
  • September 2017 (7)
  • Agustus 2017 (2)
  • Juni 2017 (12)
  • Mei 2017 (11)
  • April 2017 (6)
  • Maret 2017 (3)
  • Februari 2017 (4)
  • Januari 2017 (2)
  • Desember 2016 (5)
  • November 2016 (6)
  • Oktober 2016 (6)
  • September 2016 (5)
  • Agustus 2016 (1)
  • Juli 2016 (1)
  • Juni 2016 (6)
  • April 2016 (2)
  • Februari 2016 (1)
  • Januari 2016 (2)
  • Desember 2015 (1)
  • November 2015 (3)
  • Agustus 2015 (1)
  • Juli 2015 (1)
  • Juni 2015 (4)
  • Mei 2015 (1)
  • April 2015 (2)
  • Februari 2015 (6)
  • Januari 2015 (3)
  • Desember 2014 (4)
  • November 2014 (14)
  • Oktober 2014 (2)
  • Agustus 2014 (3)
  • Juni 2014 (12)

Designed By OddThemes | Distributed By Blogger Templates