"Tetaplah bermelodi dengan kekuatan nadimu yang jangan sampai mati", kataku kepada diriku sendiri.
Di jurnal ramadhan kali ini, entah kenapa aku pingin cerita banyak banget tentang segala hal yang kembali ‘menyadarkanku’.
Ramadhan hari ke-4 banyak lagi yang membuatku risau karena ada kata-kata yang cukup mengusik batinku. Selain karena keberadaanku di Malaysia dan segala cerita tentangnya aku kembali mengingat adek pertamaku, Dek Daffa.
Yang pertama adalah tentang adekku,
Sudah hampir setengah tahun kita tidak bertatap muka, berkomunikasi pun tidak. Perantauannya ke Solo banyak merubah adekku, setelah dia mencoba kuat untuk berada di Jogja tapi Allah membawanya ke Solo, lebih jauh lagi dariku. Adekku ini adalah yang paling sederhana diantara kami empat bersaudara. Aku yakin dia sudah mulai matang dan bertambah dewasa menyongsong umur 16-nya di penghujung November nanti. Ada komunikasi berjarak cukup lama dengannya dibanding dengan adek yang lainnya.
Dek Daffa banyak menyadarkanku arti menerima. Banyak tantangan batin yang dihadapi adekku sejak dia kecil. Terlebih kejadian pada lebaran empat tahun lalu, kejadian terbakarnya seorang anak kecil di rumahku, kejutan batin ini tidak akan pernah hilang di mata Dek Daffa bahkan sampai dia memasuki usia senja. Bersamaan dengan itu dia diharuskan untuk merantau seorang diri di pesantren di pinggir Kota Jogja. Waktu itu aku tidak bisa berhenti membayangkan, di tengah kekalutan bagaimana kesendirian bisa menyebabkan dia bertahan. Naluri seorang perempuan, aku hanya bisa mendoakan dan kadang menangis kalau mengingat kejadian mengejutkan itu.
Dek Daffa selalu dihantam dengan kejutan batin, yang kedua adalah dengan meninggalnya teman dekatnya di pesantren, tidak lain dan tidak bukan dia ternyata adalah adek dari teman satu sekolah di Jogja. Kami tidak sengaja bertemu di rumah duka. Aku sampai terharu dengan kisah pertemanan kedua adek lelakiku dengan teman dekatnya yang lebih cepat kembali ke surga, semoga. Dek Gibran (adekku yang terakhir) masuk dalam igauan seorang kecil yang terbakar tadi di masa kritisnya,
“Baan bal-e baan,” sahutnya dalam bahasa Jawa.
“Daf tolong laundry-in bajuku di lemari,” sahut teman Dek Daffa di masa kritis temannya di rumah sakit.
Seberapa mereka berarti buat teman mereka, sampai disebut namanya di masa kritis menjemput maut.
Dan kali ini memang harus ku akui, aku merindukan sosok Dek Daffa yang penghujung tahun lalu memboncengku di desa di pucuk bukit untuk pijat syaraf karena keadaan tubuhku yang meminta setelah kegiatan banyak menghujam waktuku. Dalam waktu itu aku juga tidak banyak bercakap dengan adekku. Dek Daffa sudah terlampau jauh lebih tinggi daripada aku.
Dia adalah lelaki yang tidak pernah takut melawan batas, terlampau nekad di masa perantauannya dan seorang yang tidak kehabisan akal untuk berkreasi. Adekku punya kekuatan non-akademik yang kata Bapak dalam hal teknik. Mulai dari bahan kayu sampai mesin, kelenturan tangannya membuat egrang, kursi, membenahi sepeda, membuat sangkar burung, petasan dengan spirtus dan masih banyak lagi, tidak bisa disebutkan satu per satu. Jika ditanya perihal masa depan, tidak akan dijawabnya melainkan dengan karya nyata. Aku selalu memupuk keyakinan, dia akan jadi lelaki tangguh berbekal banyak kejutan batin di hidupnya, kejutan fisik pun pernah. Semasa kecil dia pernah ketumpahan air panas di dadanya sampai kulitnya melepuh parah.
Adekku selalu terlihat yang paling tulus, sederhana dan berusaha menjadi teman setia kawan-kawannya. Dia bisa merangkul banyak jenis kawan. Sejak dia merantau sudah banyak yang dia sambangi untuk menjalin rahim yang semoga ini menjadi kekuatan andalanmu hingga masa senja nanti ya dek.
Nilai ketulusan dan kebermanfaatan yang kini menjadi modal penguatku di Negeri Kedah.
Yang kedua adalah melihat teman-temanku,
Hal yang aku yakinkan ke diriku sendiri adalah mungkin kamu butuh dua kali atau lebih kesabaran buat memberi kebermanfaatan di tempat berpijakmu sekarang. Ada kata temanku yang cukup mengusikku, “Fix, Ketok sek MH ndi. Sek dolan ndi.” Kata ini muncul selagi aku sampai di Book Store Alor Star Kedah. Padahal aku juga tidak pernah menyangka bakal sampai sejauh ini. Sebagai bentuk berbagi kebahagiaan aku menawarkan ke beberapa temanku barangkali ada yang mau menitip buku.
Kata-kata itu menghujamku. See. Aku juga tidak mau begini. Asal kamu tau, mensyukuri adalah kekuatanku sekarang.
Dari kemarin naluri IRI tentunya tak kunjung berhenti melihat kawan Sabah yang sudah mendarat, kawan Pahang yang asik dengan anak Rumah Kebajikan, kawan Wardah Klang Selangor yang bisa bertemu manusia super dan harus steril dari media di Rumah Perlindungan, kawan Selangor yang sudah punya 3 sesi buat mengajarkan harfun, kawan Kelantan yang sepagi ini berhasil membuatku menangis karena takjub dan bangga punya sesosok teman seperti Bira yang selalu tampil sederhana diantara kita. Bira yang selalu punya kekuatan beda dan paling tangguh menghadapi banyak kejutan di Malaysia. Bira yang tidak sungkan mengajarkan ilmu silatnya bak Pendekar Srikandi. Bira yang berjalan menuju 6 tahun berkawan bahkan berpartner selalu tampil apa adanya tanpa dusta.
Naluri IRI seorang Nabila yang secara alamiah aku ini, Please dear I can’t stop move, I can’t stand if just sit down and live in comfort zone. Dan hari-hari di Malaysia ini aku berfikir, buat apa sih kalo hanya bahagia buat diri sendiri.
Tapi kemudian sejak tengah malam hingga pagi ini aku mulai mengambil jeda sejenak untuk menyadari, bahwa mungkin kamu butuh dua kali lebih kesabaran, ada masa yang terbagi dan ada masa untuk mengumpulkan kekuatan mengabdi bukan berarti dalam penantianmu kamu hanya berdiam diri tanpa arti. Mungkin kamu butuh menghimpun energi baru untuk disemai tanpa tapi. Buat apa kalau kamu hanya menyesali, buat apa mencari-cari toh bahagia hanya soal menyadari.
Dalam perjalanan di Malaysia hingga kini aku tidak kehabisan energi untuk mengumpulkan jurnal teman-teman supaya semua menyadari banyak kisah yang perlu diabadikan tanpa henti. Ibaratnya buat apa jauh sampai bulan kalau hanya seorang diri. Cerita mereka mampu meneguhkanku sampa sejauh ini. Nyaass, terharu, bangga, salut punya teman seperjuangan yang punya semangat memberdayakan yang tidak dibatasi oleh apapun, memberdayakan dengan ketulusan tanpa sekat.
Kalau perjalanan ini tanpa rintangan batin dan fisik, kita tidak akan pernah belajar bahwa sebenarnya kecewa dan sesal itu sangat menguatkan, lalu penantian itu sungguh menyesakkan jika hanya mengaung dan menyesali.
Tentang menyadari ini aku tulis dengan sepenuh hati, jangan pernah lupa ya kalau kita pernah sampai disini, jangan berhenti berjalan sampai nafas berhenti berhembus
“Tetaplah bermelodi dengan kekuatan nadimu yang jangan sampai mati.”
See. Then you’ll realize that the most powerful thing is sharing and moving with no stopping.
08.20 WM
Salam Kawan,
Kampung Charuk Kudong
5 Ramadhan 1438 H