Nabiloski De Pellegrini

Selamat Tahun Baru!

Bagi sebagian orang tahun baru jadi momentum yang spesial dengan perayaan sederhana maupun hura-hura menjelang pergantian hari. Beberapa tahun belakangan aku merayakan tahun baru dengan bakar-bakaran bersama teman atau keluarga besar, tahun ini hanya dengan Lena yang akhirnya kita menemukan spot di sebuah kafe untuk melihat deretan kembang api dari atas Bukit Campuhan, Ubud.

Datangnya Lena ke Indonesia bikin aku bisa tiba-tiba sedikit menangis ketika punya kesempatan sendirian. Masih belum menyangka kalau pertemanan kami bisa sedemikian hebat kuatnya. Di sisi lain, setahun ke belakang aku merasa mengalami turbulensi kritis atas relasi pertemanan maupun romansa asmara yang patah tumbuh hilang berganti. Merasa kesepian di tengah keramaian.

Seorang yang super duper extroverted seperti aku ini punya daya selam pertemanan yang tinggi, aku merasa nggak papa untuk repot lebih dulu, menghubungi ini dan itu, mengajak kesana kemari, dan dengan rela mengatur sebuah pertemuan ramai sejak SD sampai sekarang. Sampai Ibu juga ikutan heran, tapi beliau juga mendukung dengan turut mau repot kalau banyak teman datang ke rumah. 

Segala daya upaya yang tinggi ini menjadikan aku yang ternyata tidak cukup mempersiapkan sebuah ‘kekecewaan’ kalau mungkin ini bisa banget untuk datang tanpa ketuk pintu. Bahkan tanpa tau sebab pastinya.

Terlebih lagi, setahun belakangan yang di mata banyak orang nggak akan bisa mengira aku lagi di kota mana dan sedang melakukan apa, membuat sebagian banyak teman jarang mengabarkan momentum-momentum spesial mereka. Padahal aku akan sangat berupaya turut datang, merayakan, dan menyelemati. Aku bisa menghabiskan waktu berhari-hari dan bertanya-tanya kenapa ini bisa begini dan begitu, mengulik-ulik sebab kesalahanku yang mungkin aku perbuat, naasnya berujung menyakiti dan membebani diri sendiri. Di titik ini selain belajar merawat pertemanan, ternyata aku belum cukup belajar merawat kewarasan diri sendiri dengan sedikit bodo amat.

Banyak kejadian yang bikin aku merasa apa iya ini mungkin aku yang jahat ya, nggak bisa menjadi teman yang baik untuk mereka. Di saat  ngerasa seperti ini, di sebuah warung dimsum di Blok M seorang sahabat jauh yang udah nggak aku temuin selama empat tahun bilang, 'enggak boleh gitu Nabila kamu ini orangnya baik banget, kamu nggak pantes disakitin, kita harus berani bikin boundaries jangan mau selalu nerima bare minimum.' Kalau inget percakapan ini rasanya tertohok, sosok sahabat perempuan tertangguh ini sungguh menguatkan aku buat semakin berani mengaudit pertemanan.

Sedikit keterlepasan dengan bertahan di sebuah kota dalam waktu yang lama membuat aku semakin belajar meng-audit-pertemanan kalau bahasa Mbak Ayu Kartika Dewi. Ia menyarankan untuk melakukan listing down 10 orang yang kita rasa berinteraksi secara intimate di kehidupan sehari-hari, mana yang membuat kita baik vs buruk tentang diri sendiri Sedangkan kalau kata sepasang suami istri di sebuah podcast CurhatBabu tentang pertemanan abadi, kita tidak bisa benar-benar memperhatikan semua orang, kita punya keterjangkauan untuk memperhatikan 5-8 orang di hidup kita. Kelak mungkin kalau kita udah berkeluarga, mungkin keterjangkauan kita ya hanya kepada pasangan dan anak-anak kita, keluarga inti.

Kedua perbincangan tersebut cukup menguatkan kalau sebagai manusia kita punya limit. Pada akhirnya aku mensyukuri kebiasaanku yang sejak merantau dan hidup di asrama SMP-SMA nggak menggantungkan ke orang lain, merasa nggak papa melakukan semuanya sendiri tanpa melupakan dengan tetap merawat teman-teman baik. Merasa nggak papa untuk selalu menyediakan me-time kalau suatu waktu ini memang dibutuhkan.

Mobilisasi yang tinggi di tahun 2022 bikin aku cukup mengerti siapa yang benar-benar dekat, bahkan di masa turbulensi emosi yang gunjang-gunjing serta bikin KRL kebanjiran tangisan aku selepas seharian berkeliling ibu kota di paruh kedua tahun lalu, aku merasa bersyukur karena satu dua orang dari teman baikku selalu menyediakan telinga untuk mendengar. Bersedia aku telpon tengah malam supaya bisa tidur tenang atau pagi hari sebelum beranjak ke ibu kota. Menjaga kestabilan dan menjalani hari-hari yang berat dengan lapang dada.

Merasa kesepian di antara hiruk pikuk ibu kota rasanya sesak. Meyakinkan diri kalau masih ada teman-teman yang nggak enggan bilang, 'kalau ada apa-apa bilang ya Bil, kan ada aku dan yang lain'.

Aku juga cukup bersyukur, meskipun kita pernah atau sedang dekat dengan seseorang, menjalani hari dengan percaya pada diri sendiri nggak lantas membuat kita terlihat sangat rapuh ketika suatu saat ia pergi. Tentu di waktu sendiri, dulu aku cukup nyaman menjalaninya tapi ketika berubah menjadi sendiri lagi, pernahnya mengalami sharing comfort zone nggak lantas bisa menjadikan kita kuat seperti semua.

Di paruh kedua 2022, mungkin aku cukup mengecewakan-dikecewakan oleh beberapa teman baik yang nggak aku sangka bisa berbuat sedemikian rupa. Lantas berupaya memperbaiki tapi pintunya rasanya udah terkunci sangat kencang, nggak ada cara lain selain berpasrah dan berserah. Mendoakan yang terbaik, kata seorang teman 'sebaik-baik pertemanan adalah saling mendoakan, mendoakan adalah cara mencintai paling sederhana, mendoakan adalah cara mencintai paling rahasia'. 

Mengalami kecewa yang sangat berat dan membawa kepada mimpi-mimpi buruk, nggak jarang aku ingin mengutuk dan berbalas. Namun kemudian seorang teman lain mengingatkan kalau tugas kita hanyalah berbuat baik, nggak boleh membalas dengan kejahatan serupa. Pesan ini sama persis seperti yang dikatakan Bapak Ibu sembilan tahun silam. Pada akhirnya yang aku lakukan adalah mengendalikan ekspektasi dan membatasi tanpa membencinya sembari berdoa semoga di sebuah kesempatan kita bisa membicarakannya baik-baik.

Kalaupun nggak bisa kembali seperti semula. Hidup kita toh nggak selalu berada poros yang sama, people come and go. Di balik semua yang aku alami di 2022 ke belakang, sudah sepatutnya juga aku mengucapkan mohon maaf sebesar-besarnya, kalau mungkin kita nggak bisa sedekat dulu lagi, nggak papa. Doa terbaik untuk kalian, dan untuk teman-teman yang pernah dan akan berbagi ruang denganku kemarin dan di kemudian hari secara singkat maupun panjang semoga kita bisa tetap berbagi kebahagiaan sesedikit apapun itu, ya!

Lalu, pada sebuah perputaran tertentu di sepertiga dari tahun 2022, aku merasakan dipertemukan kembali dengan hal-hal baik. Buah dari masa lalu yang mungkin nggak akan kita sangka. Reconnecting lives, buatku, selalu jadi dua kata magis yang bergulir serta punya daya yang menguatkan. Menyayangi, percaya, dan berharap seperlunya. Dalam sebuah obrolan panjang via whatsapp call di suatu malam yang rasanya nggak ingin aku akhiri, dengan jujur dan sepenuh hati aku mengamini kalau sebagai seorang manusia kita nggak hanya butuh tempat bercerita, tapi juga tempat menyimpan cerita. Yang dalam kurun waktu lain, kita nggak kesulitan menceritakan ulang secara kronologis dari awal.

Semoga setiap kita bisa punya kesempatan ditemani oleh seseorang yang baik dan tulus, baik itu teman maupun pasangan kita. Tentunya, nggak semua akan berjalan selalu mulus, tapi semoga di setiap pergantian babak kehidupan, baik dari bergantinya musim maupun tahun kita selalu dikuatkan untuk menghadapi dengan lapang dada serta merawat pertemanan dengan sebaik-baiknya. 

Terima kasih buat setiap one call away Nabila. I owe & love you all wholeheartedly. Hopefully we can always cross-path together on earth. Engaging all those emotions is a beautiful thing. We need other people, we need to create our own safe space.

You're gonna lose friends and you're gonna make friends. And it's okay 👌

Gilimanuk-Situbondo, 6 Januari 2022

 


Beberapa tahun lalu aroma chamomile tea yang selalu terjajar di deretan rak di dapur rumah di Italia bikin aku sedikit sangsi,”Teh kok rasanya kayak bunga begini,” kataku dalam hati.

Penolakanku atas banyak aroma dan rasa di banyak hidangan di Italia mula-mula aku tolak mentah-mentah. Sampai pada akhirnya chamomile tea jadi sumber ketenangan yang nggak bisa dengan mudah aku cari, lantas di masa tahun pertama perkuliahan Bunda Ety mempertemukan Nabila lagi dengan teh oleh-oleh dari Turki, nggak aku sangka ternyata ini chamomile. 

Rasanya kayak aku ketemu Mamma Linda lewat dimensi lain, ingat masa-masa aku nangis sesenggukan di rumah atas bukit Desa Igne. Lalu, Mamma dengan penuh kehangatan, sengaja bikinin aku chamomile tea atau hot chocolate sesekali dan sekedar duduk di samping aku buat dengerin aku nangis. Versi hot chocolate ini jadi lumayan susah buat aku menerima menu cafe di Indonesia yang seringkali mengecewakan. 

Bagi sebagian orang, aroma chamomile mungkin terkesan aneh dan biasa aja. Tapi nggak buat aku, malam ini rasanya memori kesedihan ini kembali lagi. Bertumpuk dan nggak bisa bebas berkelana lalu hilang lewat air mata. 

Sisa chamomile dalam satu tea bag ini nggak bikin aku menunda buat menyeduhnya lagi.

Pertanyaan tentang kenapa dan bisa-bisanya hal ini terjadi kembali menguap tanpa tabir. Beragam kejutan soal relasi ini bikin aku menahan kesedihan dalam banyak rupa, buka catatan lama soal refleksi self-audit dan podcast soal pertemanan abadi juga nggak bisa menenangkan. 

Lagi-lagi, emang bener people come and go. Mengamini empat kata bahasa Inggris ini rasanya sulit buat aku. Sulit buat nge-nggak-papa-in relasi yang tiba-tiba sedikit pudar tanpa tau sebab. Sekuat-kuat kita menjaga, emang banyak kuasa yang tanpa kendali diri. Kalau rasanya pingin pergi lagi dan punya kehidupan dengan misi yang padat serta terjadwal sampai waktu momen kesedihan itu datang, kita hanya perlu menerima dan memberi waktu.

Kali ini aku beneran ngerasa payah dan chamomile tea jadi saksi tersetia lima tahun belakangan untuk nabila yang patah tumbuh hilang berganti. Semoga segala hal baik segera terjadi lagi dan bisa dinikmati sama-sama, ya.

Jogja, 10 Desember 2022 (22:41)


Memori-memori terhadap sesaknya pertengahan Agustus hingga permulaan Oktober mengajarkan banyak hal. 

Dimulai dari kelas Metode Penelitian Etnografi (MPE) di semester empat, sekitar bulan Maret 2021. Dasar kebingungan yang aku pikir patut direnungkan mendalam di mana titik kecil di dunia antropologi yang bisa aku dalami dengan teliti dan setiti. Sampai pada akhirnya secara setengah sadar aku memutuskan buat mengorek-orek isu pengungsi di Indonesia.

Tugas akhir dari kelas MPE yang wujudnya adalah belajar membuat proposal penelitian ini mengantarkan pada ketidak-sengajaan lainnya, seribu satu iseng menerjemahkan proposal penelitian tentang "Rebuilding Spiritual Lives in the New Land: Religious Practices Among Afghanistan Refugees in Indonesia" ke bahasa Inggris dan menjawil Mbak Ica untuk turut membantu memeriksa hasil abstrak dan tulisan kasarku.

Dari Mbak Ica aku juga berkenalan dengan karya-karya Antje Missbach, antropolog dari Australia yang bertahun-tahun mendalami isu pengungsi di Indonesia. Selain itu, aku juga berkenalan dengan RDI Urban Refugee Research Group (RDI-UREF) dan Suaka Indonesia sebagai penyelenggara Forced Displacement and Urban Management Conference (FDUMC 2021) dan menjadikan aku seribu satu kali deg-deg-an sewaktu lolos sampai tahap presentasi tanpa melakukan penelitian sungguhan. Bertemu dengan peneliti lain yang jauh lebih keren!

Sempat ingin mundur tapi salah seorang admin RDI-UREF bilang, “Abstrak kamu bagus, sayang kalau mundur, nggak papa kalau yang ditampilkan sementara preliminary findings.” Kata-kata ini semakin menguatkan aku untuk setidaknya mencoba meskipun harus latihan berkali-kali speaking karena bahasa Inggrisku yang belepotan setelah sekian lama nggak praktek.


—


Pengalaman singkat konferensi daring sampai bertemu semester enam ini mengantarkan pada kelas Migrasi dan Diaspora yang diampu Mbak Ica selaku dosen antropologi yang disertasinya mengulik kehidupan pengungsi di Jakarta dan Bogor, lalu Mbak Ica dan Mbak Elan berkolaborasi melakukan riset payung yang harus mengajak mahasiswa sebagai asisten peneliti. Kolaborasi ini secara garis besar bernama “Refugee Health Project Indonesia”.


Doa-doa Nabila seperti dikabulkan perlahan setelah pencarian satu tahun lebih, syukur sekaligus sayang seribu sayang mahasiswa yang mendaftar hanyalah aku seorang. Sebab teman-teman terlanjur mengambil KKN Periode II. Dengan segala perenungan dan dialog dengan beberapa teman dekat, aku memantapkan diri untuk terlibat dalam riset payung ini. 


Petualangan di Jakarta terlihat menyeramkan sekaligus mendebarkan, pasti juga banyak kejutan!


Riset payung yang berkonteks makro ini menyebabkan aku harus mondar-mandir ke beberapa titik di Jakarta dan Tangerang Selatan. Ini sungguh melelahkan, pasalnya setiap kantor dinas kesehatan yang disinggahi mengharuskan aku datang beberapa kali untuk memastikan urusan birokrasi dan perizinan riset lancar. Di sela itu, pertengahan Agustus Mbak Ica datang ke Jakarta sebelum berangkat ke Amerika Serikat di permulaan September. 


Di tengah perjalanan kami selama tiga hari ke banyak titik di Jakarta mulai dari rumah sakit, kementerian, puskesmas, dan lokasi pameran RDI-UREF di Cilandak, sampai rumah salah seorang Refugee Representative dari Sudan di Ciputat, Mbak Ica berpesan beberapa hal.


“Sekarang kan udah turun lapangan beneran Bil bukan latihan lagi, kita harus cari strategi. Ngurus surat begini emang lama dan mungkin berbulan-bulan. Nah sementara itu kamu bisa main ke komunitas-komunitas dulu buat PDKT sama pengungsi.”


Selain itu, selepas wawancara Mbak Ica mengajak refleksi, “Gimana setelah dua hari ini apa yang kamu lihat Bil? Nggak papa namanya juga masih belajar, nanti bisa kamu perdalam lagi kalau S2 atau S3, beda-beda kan perspektifnya kalau dari pihak pengambil kebijakan, NGO, dan mungkin pengungsinya itu sendiri. Tapi kita bisa lihat kalau sebenernya aspirasi pengungsi dan pemerintah mungkin sama; resettlement.”


Perjalanan riset payung ini buat aku mencerna perlahan arena yang nggak hanya hitam putih di lapangan serta mengelola asumsi dari hari ke hari perihal isu kesehatan pengungsi. Nggak jarang aku merasa sangat lelah setelah melakukan wawancara satu kali dalam sehari ditambah dengan perjalanan Tangerang Selatan-Jakarta yang direplika berhari-hari. “Memang gini kalau di Jakarta multisite, kita nggak bisa tinggal, bisanya dilaju setiap hari.”


Aku merasa sangat kecil dan kemudian menyadari kalau field yang aku pelajari selama ini sama sekali bukan arena yang mudah. Merasa rentan dan lemah, butuh keterampilan berteman lintas suku, etnis, dan ras yang baik. Setelah Mbak Ica pulang di akhir Agustus, aku melakukan semuanya seorang diri sampai permulaan Oktober. Tentunya, diselingi beberapa kegiatan organisasi di Jakarta.


—


Pertemuan demi pertemuan dan upaya mendekati beberapa informan ini cukup menguras energi dan waktu. Bertambah kondisi heartbreaking yang seringkali hinggap dan harus dengan sigap aku lupakan sementara ketika harus wawancara. Memberi waktu kesedihan pada porsi dan waktu yang pas, supaya tetap bisa beranjak dan menjalani rutinitas. Sangat sulit, setiap waktu aku bertanya-tanya, 'how could I survive for doing this research while this heartbreaking hits me so hard every second?'.


Pasalnya pekerjaan riset adalah juga pekerjaan mencocokkan waktu, jelas beribu kali berbeda dengan pekerjaan kantoran from eight to five dengan rutinitas yang sama. Tidak jarang aku menangis di kereta, di perjalanan pulang, membayangkan betapa lelahnya kehabisan imajinasi dan strategi wawancara serta merasa ‘apa iya aku mendapatkan data hari ini?’. Banyak momen di mana mungkin aku merasa jadi manusia gagal. Meyakinkan diri untuk tetap bertahan sampai semua ini benar-benar selesai. Beberapa kali penolakan dan dicurigai berbagai macam rupa. 


“Thousand people behind you asking the same question, but still, there is no solution, you only write,” kata seorang informan di sebuah kafe kecil ibu kota yang cukup bikin dada sesak dan mempertanyakan diri sendiri.


Sampai kata Caca dari antropologi 2018 mengikis kesendirian seorang Nabila, “It’s okaaayy, every step you’re taking in your research (even if it’s full of waiting) is relevant and will take you to somewhere with more clarity kokk. Kamu keren banget udah sampai di sini dan berani untuk ngambil riset dengan area besar dengan isu yang sensitif, and I bet this topic is very important for you. Fieldworks are lonely and full of waiting.”


“A lil tip is that: find a peer, yang seumuran atau yang lebih tua, yang bisa kamu jadiin tempat untuk vent dan minta nasihat… masih berat, but it gets less lonelies when you know someone understands your position dan bersedia untuk ngedengerin cerita-cerita kamu.” 


Terima kasih banyak ya Caca!


Percakapan itu jadi semacam mantra ketika aku menjejali Kalibata City, Bassura City, RSUD Tarakan, puskesmas-puskesmas, pemukiman pengungsi di Kalideres, klinik gigi di Green Lake City, dinas-dinas kesehatan, dan beberapa titik riset lainnya. Riset ini sungguh mengajak aku buat melihat ibukota dari sisi lain, dari ketidakberdayaan dan kerentanan kehidupan pengungsi terkait hak hidup mereka sebagai seorang manusia yang bertahun-tahun menunggu kepastian resettlement di negara tujuan atau third country.


Memetakan banyak informasi dan cerita kesedihan demi kesedihan yang berserakan di kepala dan hati membuat aku untuk belajar memposisikan diri; sebagai seorang manusia, perempuan, dan peneliti. Di sisi lain, nggak jarang pula aku disuguhi dengan kehangatan dan kudapan Afghanistan yang berjejak di lidah dan jiwa. Sungguh melelahkan tapi bikin semakin ketagihan! Meskipun sulit, penuh kesendirian dan ketidakpastian di tengah hiruk pikuk ibu kota, setidaknya ada banyak hal yang meyakinkan seorang Nabila bahwa pencarian dan perjalanan ini akan terus berlanjut sampai kapanpun.


Petualangan di Jakarta kemarin adalah periode yang menumbuhkan, membesarkan, dan meneguhkan jiwa. Semoga setiap kita diberi kekuatan buat terus berjalan dan menemukan. Sampai tulisan ini ditulis, mohon banyak sekali doa dan kasih sayang teman-teman semoga aku kuat jiwa dan raga buat menulis skripsi sampai akhir, ya!


Sleman, 26 November 2022

16.25 WIB

__


a series of pictures:













Twenty-three is like a cloud. It can't be predicted easily, will it rain, shine, or only cloudy and foggy sometimes.  

Just passed my twenty-two times in life, I thought my 22 was mine at all, I thought I can only keep dancing like Taylor Swift sings it emotionally. Oh yes, it’s miserable and magical. I thought I gotta have myself, but actually everything is out of control. I do not dare to say that 22–I–was controlled by things that I can’t control in life. 


After passing a year without any expectations in 2021, I thought I could do better when I am expecting things to happen in 2022 as my 22 went by. While at the end, life taught me that a couple of messy things could happen at the same time and break everything that is planned. When all those messy things happened, I could only say and regret things that I should have not regretted,


“Okay dear Nabila you shouldn’t think about anything, you shouldn’t do that, you shouldn’t expect anything.”


With all the things that I am carrying from the trust of my surroundings–I dare to say that I am not that smart and brave enough. These two things silently exited the room. Dumb, scared, and vulnerable took their place instead. First, I thought, stepping forward for what I thought I knew what I wanted, life half-figured and sort of planned out. Turns out life tells me something that I do not understand and leaves me dry in the desert.


Hey universe, so when will the “oase” come to me?


We never own anything to begin with–Second, I thought I always know how to cope with my problems and messy things whenever it comes and realize what expectation means in life; to cope with writing a journal, painting, climbing, and going somewhere. I feel like–even songs can not save me from staying sane, quiet, and peaceful while I used to make a number of playlist on my spotify. 


Turns out it gets me lonelier, it gets me even worse, it makes me walk without a compass. I thought I could know my phase for crying, but things that came to me were all of sudden. My life is in a shape-shift. I gotta make a thousand plans to step forward and make my day a little better. 


Third, I thought I am super enough to share strong and powerful energy with my surroundings. But I ended up feeling lost and felt like the stars and the moon had fallen asleep behind the cozy velvet of the clouds–I cried a lot. Not knowing why and how I was crying. Even though I cried, I did not care where I was. Even amidst the crowd, I cried loudly. So you can imagine my messy face and whoever you are reading this I am so sorry for getting (maybe) a bad energy from me. I wasn’t prepared for the wars. 


With that being said, adulting activities in 23 are the real battle that I think I am bound to lose. 


For the past eleven, ten, nine months, it has really taken me into the peak of the battle, standing up and trying as hard as possible to not cry in between. I feel like I do not belong to anywhere and anyone–my normal routine was strange, adjusting to Jogja as my 11 years growing up in the city feels way harder. Moreover, when I finally decided to move to Jakarta for at least a month in planning, it turned out to be more than that. Some days I feel so lucky to keep moving day to day here, some others I feel like I am walking backwards. 


It felt unsafe and temporary.


And so, writing this, at least I could put anything here and make peace, also giving thanks to those that could not be mentioned here; for saving my life, for listening to me whenever I want to cry, for giving me medicine to keep me sane and healthy, for treating me foods and joyful things to help me escape for a while. Indeed. I was emotionally exhausted and super duper afraid of getting my 23. Some words that came to me days ago reminded me of letting go of the pain, it said; I just let the pain take over, allowing it to numb the pain of being left behind.


I do not have hope, I only pray to Allah that I wish I could live with constant eeman in front of Him. Hours before my birthday came, my best friend shared me the best du’a that she got from a priest,


The greatest prayer we can offer is to be faithful in each struggle :)


Here I put one of the best pictures in my 22 year-old self with a peaceful sun in Ampenan, Lombok. It was one of my best days that give me hopes. Thank you.


Pamulang-Depok, August 30- September 1, 2022 











Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

Cari Blog Ini

POPULAR POSTS

  • 2024: a magic of ordinary days
  • Hari-Hari di Pamulang (3)
  • Tentang Bisa Punya Waktu Tanpa Libur
  • Mendekati Kepulangan

Categories

AFS Italy 2017-2018 Self Talk Hijrah Malaysia Ramadhan di Italia
Diberdayakan oleh Blogger.

Blog Archive

  • April 2025 (1)
  • Desember 2024 (1)
  • Juni 2024 (5)
  • Januari 2024 (1)
  • Desember 2023 (1)
  • September 2023 (1)
  • Agustus 2023 (3)
  • Februari 2023 (1)
  • Januari 2023 (1)
  • Desember 2022 (1)
  • November 2022 (1)
  • September 2022 (1)
  • Agustus 2022 (3)
  • Mei 2022 (3)
  • April 2022 (10)
  • Februari 2022 (1)
  • Desember 2021 (2)
  • November 2021 (1)
  • Oktober 2021 (2)
  • September 2021 (1)
  • Agustus 2021 (2)
  • Juli 2021 (3)
  • Juni 2021 (2)
  • Mei 2021 (1)
  • April 2021 (2)
  • Januari 2021 (2)
  • Desember 2020 (2)
  • November 2020 (1)
  • Oktober 2020 (11)
  • September 2020 (1)
  • Agustus 2020 (2)
  • Juli 2020 (2)
  • Juni 2020 (1)
  • Mei 2020 (19)
  • April 2020 (7)
  • Maret 2020 (2)
  • Januari 2020 (1)
  • Oktober 2019 (1)
  • September 2019 (1)
  • Agustus 2019 (1)
  • Juli 2019 (1)
  • Mei 2019 (1)
  • Maret 2019 (1)
  • Februari 2019 (2)
  • Januari 2019 (1)
  • November 2018 (1)
  • Agustus 2018 (1)
  • Mei 2018 (2)
  • April 2018 (4)
  • Maret 2018 (4)
  • Februari 2018 (5)
  • Januari 2018 (7)
  • Desember 2017 (9)
  • November 2017 (6)
  • Oktober 2017 (6)
  • September 2017 (7)
  • Agustus 2017 (2)
  • Juni 2017 (12)
  • Mei 2017 (11)
  • April 2017 (6)
  • Maret 2017 (3)
  • Februari 2017 (4)
  • Januari 2017 (2)
  • Desember 2016 (5)
  • November 2016 (6)
  • Oktober 2016 (6)
  • September 2016 (5)
  • Agustus 2016 (1)
  • Juli 2016 (1)
  • Juni 2016 (6)
  • April 2016 (2)
  • Februari 2016 (1)
  • Januari 2016 (2)
  • Desember 2015 (1)
  • November 2015 (3)
  • Agustus 2015 (1)
  • Juli 2015 (1)
  • Juni 2015 (4)
  • Mei 2015 (1)
  • April 2015 (2)
  • Februari 2015 (6)
  • Januari 2015 (3)
  • Desember 2014 (4)
  • November 2014 (14)
  • Oktober 2014 (2)
  • Agustus 2014 (3)
  • Juni 2014 (12)

Designed By OddThemes | Distributed By Blogger Templates