Hari-hari yang dijalani di Pamulang hampir dua minggu ke belakang ini terasa berat.
Berat sangat, dengan nggak adanya mood makan, bangun tidur rasanya berkabut, tidur lagi takut diselimuti mimpi-mimpi menyesakkan dada.
Kenyataan-kenyataan yang harus dihadapi dengan lapang dada dan mau nggak mau nggak bisa dihindari ini bikin aku mengalami turbulensi emosi yang lagi-lagi butuh berkali lipat kesabaran dan hari untuk menguraikan secara perjalanan.
I had to call some of my friends before I sleep, to only listening to me crying. Aaa thank you.
Bahkan bangun di pagi hari aku hindari gawai dan langsung mengambil air wudhu lalu berdoa minta ketenangan dari Sang Maha Kuasa. Turbulensi emosi yang menyesakkan dada ini bikin aku belajar lagi buat menguraikan pelan-pelan, mengingat pengalaman-pengalaman baik, dan berprasangka baik atas apa yang nggak tau akan terjadi di hari-hari ke depan.
Meskipun buat menjalani itu semua butuh tarikan nafas panjang berkali-kali. Butuh keberanian buat memutuskan, butuh kesiapsiagaan menerima jawaban yang mungkin di luar ekspektasi.
Aku beneran kayak orang gila yang beberapa kali sedikit menyesali keberadaanku di Pamulang. Tapi setelah mengingat ke belakang mungkin ini adalah momentum buat hal baik yang jauh lebih besar, termasuk menerima kehadiranku secara temporary dalam kurun waktu 10 bulan ke belakang.
Terima kasih semuanya, brengseknya aku udah terlanjur memasuki suatu ritme di Pamulang yang ternyata butuh dihadapi dengan lapang dada. Semangat nabiloski!
Pamulang, 11 Agustus 2022