“Tp jgn bilang" ke bpk yaa..😁 Soale pak didik curang sih..mosok beliau tau semua harlah teman" tp kita gk tau harlah beliau..😁 Beliau rajin ngucapin ultah pd teman"..tp kita gk bs membalasnya..”
Aku kaget, terharu, ingin ketawa karena ini lucu, semua perasaan bercampur aduk.
Adalah Bapak yang sebegitu pedulinya dengan teman-temannya sekaligus sebegitu nggak peduli sama perkataan orang tentang apa yang beliau sukai dan apa yang menurut beliau itu prinsip yang sangat prinsipil.
Adalah Bapak yang setiap aku merengek setelah dikecewakan atau dianggap remeh orang, selalu gagah menasihati tanpa tedeng aling-aling, “Nggih buktikan mawon Bil,” “Kalau di-bully waneni (beranikan diri)” kata banyak teman-teman aku, cara Bapak mendidik aku seperti Bapak mendidik seorang anak laki-laki, “Koe ki wedok neng dirumat koyo cah lanang,” kata seorang teman.
Bapak: A Long Life Learner
Sebagai putri sulung Bapak, aku bisa jadi paling kerap mendengar protes-cerita suka duka-apresiasi dari karib kerabat atau siapapun yang pernah bersinggungan dengan Bapak. Termasuk bulek bude yang paling gemar mengomentari cara Bapak berpakaian, bagi mereka seorang laki-laki seperti Bapak harusnya berpakaian sesuai ‘norma kesopanan’. Dalam hati aku suka bilang, berisik sekali mereka ini, ya terserah Bapak dong.
Menurutku ini cara menjadi berani yang keren. Dan aku mencoba mereplika untuk berani berpakaian nyentrik di tengah orang yang kadang suka heran sama gayaku, termasuk Ibu yang kerap protes karena menurut beliau fashion taste aku beda dari kebanyakan orang. Dan satu-satunya yang membela aku adalah Bapak, suka lucu kalau ngebayangin saling adu mulut ini di rumah setiap kali aku mau pergi. Hahaha
Bapak kerap secara sengaja mendeklarasikan dirinya sebagai orang pasar, mantan preman, dan seorang yang belajar agama di jalanan. Hidup Bapak di masa lalu, percaya nggak percaya selalu jadi pegangan hidup aku bahwa belajar itu bisa dari mana saja, bahasa kerennya a long life learner. Kalau aku cerita teman yang cukup termarjinalkan, pesan Bapak selalu sama sejak aku kecil, “Niku justru yang perlu dikancani Bil.”
Sejak SD, setiap aku fotocopy buku paket di toko teman Bapak (se-kota Parakan rasanya betulan isinya teman Bapak semua) kata Mbaknya begini, “Bapak e njenengan pinter dek mbiyen beasiswa kuliahe.” Aku betulan mengagumi cara Bapak belajar dan cara mengajari kami anak-anaknya belajar.
Bapak dan Seni Mencintai Seni
Adalah Bapak yang mengajari seorang Nabila untuk percaya diri aja kalau menyukai sesuatu yang berbeda dan nyentrik, pasalnya Bapak juga sama-sama anehnya. He loves art so much! He was an artist. He decided to stop painting. Alasan berhenti juga mungkin nggak masuk akal, karena melukis itu nikmatnya dilakukan non-stop Bapak jadi suka menunda salat dan nggak menghiraukan panggilan mbah putri.
Maka, semenjak bulan Juli aku memutuskan melukis lagi, Bapak tanpa henti mewanti-wanti aku untuk ambil jeda di tengah aku melukis sewaktu azan berkumandang. Aku merasakan betul kekhawatiran terbesar Bapak.
Kata Bapak semuanya itu bisa dirasain lewat segala indera, termasuk sesederhana kalau kita pakai sandal. Dari Bapak, aku belajar menjadi manusia supel yang bisa mengudara ke segala lini, aku belajar memperlakukan teman-temanku selayaknya Bapak menghargai, menyayangi, dan peduli ke teman-temannya meskipun sesungguhnya kadang aku nggak habis pikir, meskipun di tengah kesulitan dan kehidupan keluarga lagi terhimpit Bapak justru memilih menolong temannya.
Sikap-sikap Bapak kadang baru bisa aku pahami dengan hitungan bulan bahkan tahun. Kadang aku juga suka dibuat terharu sama impresi orang-orang terdekatku yang ketemu Bapak, salah satunya Mbak Dewi, Volunteer Binabud Jogja yang melakukan home-interview sebelum aku exchange dan Izzy, rekan aku dari Amerika yang empat tahun lalu bantu fundraising aku untuk exchange, sempat ketemu Bapak di sebuah kafe di Jogja.
Beberapa bulan setelah itu, aku ketemu Izzy di Cortina D'Ampezzo Italia Utara saat masa perayaan natal dan hawa yang lagi dingin-dinginnya, “Bapak kamu itu keren Nabila,” sambil menyimbolkan kekerenan ini dengan jempolnya.
Bapak selepas nempelin bendera Indonesia sebelum aku exchange ke Italia
Kadang aku menyampaikan rasa takutku kalau suatu hari nanti ditinggal Bapak pergi, kata Bapak penuh keyakinan, “Mau nggak mau Bila harus siap, itu ketentuan Allah,” sungguh aku selalu nangis kalau ingat-ingat kata ini.
Di hari ulang tahun Bapak, aku kepingin mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya, aku sungguh belajar cara memaknai kebebasan yang diajarkan Bapak dari cara beliau memperlakukan aku sebagai anak perempuannya, tanpa lupa diingatkan kalau ini juga ada batasnya. Serta mungkin pengharapan yang mungkin sulit aku capai seperti Bapak mencapainya: nggak bayar parkir di Parakan karena semua tukang parkir dan rekan preman adalah teman Bapak. Ini bikin aku iri sekaligus kagum setengah mati!
Hal lain yang bikin aku iri adalah: tulisan bapak sangat rapi tanpa penggaris sekalipun itu nulisnya pakai kuas:)
Menyambut hari ulang tahun Bapak, aku merayakannya sesederhana dengan muter playlist kesukaan Bapak yang tentu aja, hanya Iwan Fals seorang di dalamnya. Matur nuwun nggih Pak. Sugeng tanggap warsa, Gusti Mberkahi!
Pamulang, 25 Oktober 2021