Bulan Juli sampai sekitar Oktober menjadi bulan peruntungan dan tidak untung bagi masyarakat Temanggung. Bekerja beberapa bulan untuk bertahan hidup satu tahun, begitu terus siklusnya sejak dulu. Tembakau, jadi satu sumber pokok yang paling jadi tumpuan. Pun aku juga, sekalipun sejujurnya aku sama sekali nggak mendukung rokok, tapi toh nyatanya aku hidup juga dari rokok. Ya begitulah, tapi yang mau aku ceritain bukan itu maunya.
Jadi setiap aku libur dan pulang ke rumah, Bapak selalu menawarkan buat ikut ke ndeso, tepatnya ke Desa Bringin. Aku ikut aja kalo lagi mood. Malam ini, aku sendiri yang minta. Disadari atau nggak disadari, semakin gede aku penasaran gimana para petani dan aktivis mbako kayak Bapak aku yang rutin setiap tahun mbako-an bertransaksi.
Bapak memutuskan berhenti dari Djarum, karena praktik yang dipenuhi kelicikan dan ketidakjujuran. Memilih berdiri sendiri dan membimbing anak-anak muda yang mau terjun ke dunia mbako. Rumah ke rumah petani, Bapak melakukan tawar-menawar dan negosiasi berapa dan sebanyak apa tembakau yang bakal dibeli. Di setiap rumah, hidangan teh atau kopi nggak pernah luput yang bikin saya naik gulanya kali ya semalaman.
Kedekatan Bapak ke petani-petani di Desa Bringin udah kayak keluarga sendiri. Di sela-sela perjalanan Bapak selalu nyeritain praktik transaksi dunia tembakau yang dipenuhi pedagang-pedagang brengsek. Desa Bringin sendiri, banyak yang petaninya udah mbah-mbah. Mereka-mereka ini yang kerap kali dibohongi, pedagang-pedagang yang brengsek itu membayar lebih sedikit dan nggak sesuai kesepakatan.
"Katah Bil seng melakukan praktik tidak jujur niku. Awale muni 80 eh dibayare mung 70,"
"Bapak memilih bayar jujur. Dulu memang yang lebih banyak diuntungkan orang-orang yang nggak jujur, tapi dua tahun belakangan niki orang yang bertransaksi jujur yang lebih banyak diuntungkan," cerita Bapak.
Kata Bapak sendiri, walaupun Bapak misal beli lebih murah ke petani. Kalau dinalar pasti hasilnya lebih sedikit, tapi menurut Bapak justru Bapak jadi lebih banyak uangnya. Mungkin karena nilai keberkahannya kali ya. Berdagang bukan semata-mata demi keuntungan dan uang jadi lebih banyak, tapi dari Bapak aku tau kalau bertahan hidup nggak seharusnya dengan cara licik. Toh siapa sih yang memegang kendali rejeki kita? Manusia tugasnya berusaha dan tawakkal dengan jalan-jalan yang digariskan Tuhan.
Aku udah menelan cerita-cerita ketidakjujuran ini sejak kecil. Kepahitan, kekecewaan, kebangkrutan, kebahagiaan, peruntungan, putusnya persaudaraan dan banyak hal lain yang nggak bisa aku ekspresikan dengan hanya senyuman dan tangisan. Betapa transaksi pertembakauan bukan hanya menguntungkan tapi juga menghancurkan. Atau cerita-cerita lain yang menindas rakyat kecil atas transaksi pedagang brengsek yang kurang ajar.
Nggak ada pilihan lain selain bertahan dengan nilai kebaikan, walaupun mungkin orang lain bertahan dengan penuh kebohongan. Hutang yang ditangguhkan, menunggu musim tembakau tahun depannya. Padahal siapa yang bisa menjamin tahun depan lebih baik?
Jadi, Bapak tani sayang, bapak tani malang selalu jadi dua frasa yang menggambarkan betapa kebahagiaan dan kepahitan selalu berjalan beriringan.
Selamat berjuang,
Bapak Tani Sayang, Bapak Tani Malang :)
Temanggung, 21 September 2019