I have special friend. he always beside me when I was child until student of elementary school. Unfortunately, he was stopped school to help his parents.
Ya, dia Angga Setiawan. Betapa sangat dekatnya kita, mulai dari Angga yang begitu jahil dan nakal semasa kecil. Tangannya yang usil berhasilkan memitipkan sisa cakar kuku di pipiku. Tidak ada yang sangat berbeda dari kenakalannya dengan anak sepantarannya. Angga se-kampung denganku, hanya terpaut empat rumah tetapi di sisi seberang jalan kampung. Angga sulung dari tiga bersaudara. Adiknya Putri yang sepantaran dengan Dek Hanun, dan yang terakhir lelaki aku sampai lupa namanya.
Angga adalah sosok yang tidak akan pernah dalam episode hidupku, nabiladinta. Sampau akhirnya Angga sekeluarga memutuskan pindah ke desa sebelah, 15 menit berjalan kaki. Keluarganya berbeda sendiri di kampungku, banyak hal yang membuat kami janggal. Jadi wajar saja kalau Angga nakal. Kita berdua adalah teman seangkatan TK sampai SD. Tapi tidak lagi ketika dia harus mengulang lagi kelasnya dan menjadi adek kelasku. AKu tidak mengerti, dia bisa dan cukup pintar aku fikir tapi kenakalannya memang sangat menyebalkan. Sekali pun Angga nakal, kita tetap teman. Kita sering menjadi teman sangat dekat dan dolan bareng di kampung tapi juga pernah menjadi musuh, bisa dibayangkan betapa jahilnya Angga ?
Angga juga menjadi partner foto-copy buku paket pelajaran sekolah. Jadi, selaman SD aku selalu menggunakan buku foto-copyan atau lungsuran mungkin hanya 2 atau 3 bukuku yang beli baru, mengingat aku dan ketiga saudaraku harus berbagi supaya bisa tetap sekolah. Aku masih jauh lebih beruntung dari kehidupan Angga. Kita bersua selalu meminjam buku paket untuk di copy ke Atok atau Thoriq setiap awal semester. Yang mana kita bertiga adalah teman playgroup sampai SD. Nanti, menjadi bagianku dan Bapak yang foto copu di kota kecamatan, Parakan. Jauh lebih murah dan bisa hemat. Awalnya aku sebal, iti melihat teman-temanku, lama-lama aku paham makna kesederhanaan hidup yang selalu beliau ajarkan.
Pun aku masih selalu berada di peringkat atas di kelas teratas. Berbeda dengan Angga, dia bahkan selalu berada di kelas terbawah. Meskipun rumahnya selalu ribut, tapi aku yakin Ibunya menaruh harapan besar ke Angga. Ayahnya memang terlihat seram tapi kok selalu ramah dan baik ya ke aku ?
Ya, begitulah manusia. Hukum Faksi = Freaksi selalu ada, kebaikan akan berimbas kebaikan.
Dalam perjalanannya aku yang memilih untuk merantau ke Kota Pelajar, kota yang memikat dan tanpa babibu aku jatuh cinta, Yogyakarta. Semakin lama aku semakin tidak bertemu Angga. Mungkin sesekali hanya pas ketemu di jalan, sekali saling sapa tanpa ada obrolan lebih soal perjalanan masing-masing. Paling sering kalau dia sambil menggendong sangkar burung dara. Sebatas itu, I don't know more unfortunately.
Mengunjungi rumahnya pun hanya setahun sekali, di malam takbir menjelang Iedul Fitri. Rumahnya sangat minimalis tepat di pinggir sungai, sekitar 3 x 5 meter. Bisa dibayangkan kalau ditinggali 5 orang ? Aku masih jauh lebih beruntung Bung ! Terakhir kali 2016 kemarin di malam yang sama aku dan Ibuk silaturrahim. Bertemu Pak Cicik seorang, sayangnya yang lain pergi. Tenggelam dalam cengkerama sejenak sekedar saling memberi kabar. Angga memutuskan tidak sekolah setelah lulus SMP dan memilih jadi kuli batu pasir dihadiahi motor, jadi dia mau membantu orangtuanya, Mulia bukan ?
Sebagai teman kecil, aku yang peduli pendidikan dan berusaha menjadi manusia terdidik yang merdeka miris rasanya orang terdekat kita hengkang. Sejak pertemuan 2016 kemarin aku semakin punya tekad buat ngajak Angga gabung di Basic Training di Moyudan Sleman liburan akhir tahun kemarin. Training super sederhana tentang bagaimana kita menyadari pergelutan hidup. Namun apa daya, aku harus menyelesaikan banyak misi ku di Jogja dengan satu misi tertinggal di Temanggung. Segumpal kegiatan mengurungku di Kulon Progo, Sleman, then the last is : Jakardah. Setidaknya aku punya misi baik buat teman baik. Sedikit menyesal, Meskipun aku juga berhasil mengajak lebih banyak orang tapi My Big Mission just go to Angga and Putri. Apalah daya.
Bisa dibayangkan ? Rasanya teman seperjuangkan sejak TK terlampau jauh di belakang sedangkan kamu bahkan sudah mampu sesekali melintasi benua. bagiku, sangat tidak bijak kalau kita mungkin berhasil dengan segala pencapaian hidup yang kita rencanakan tapi dekat sendiri atau bahkan bagia dari keluarga maupun yang kita anggap keluarga masih stagnan. Bukannya orang besar itu yang juga bisa mem-BESAR-kan orang lain ?
Jadi untuk apa ?
Aku sangat sangsi kalau banyak orang menyanjungku, bagiku belum pantas kalau masih saja maju sendiri tapi belum merangkul yang lain.
Kata Dek Gibran sama Bapak dalam sesekali waktu sebelum holiday berkunjung ke Jogja cerita kalau Angga masih selalu sering menanyakanku.
Bagiku juga, sangat tidak adil kalau banyak yang men-judgment Angga itu nakal tanpa melihat sisi yang lain. Banyak episode kehidupannya yang tanpa dia minta membuat dia terpaksa menjadi seperti sekarang. Tidak seberuntung kita, barangkali. Yang mungkin baginya serba mengejutkan dan tidak seberuntung kebanyakan dan hal ini menjadi lumrah dan biasa baginya karena begitu seringnya.
Well, dunia selalu punya sisi lucu, lugu, dan mengharukan di tengah takdir yang kadang menyebalkan.
Semoga aku dipertemukan dengan kesempatan yang jauh lebih baik. Biar aku bisa menyemai lagi dengan sepenuh hati tanpa tapi, Angga.
Dalam perjalanannya aku yang memilih untuk merantau ke Kota Pelajar, kota yang memikat dan tanpa babibu aku jatuh cinta, Yogyakarta. Semakin lama aku semakin tidak bertemu Angga. Mungkin sesekali hanya pas ketemu di jalan, sekali saling sapa tanpa ada obrolan lebih soal perjalanan masing-masing. Paling sering kalau dia sambil menggendong sangkar burung dara. Sebatas itu, I don't know more unfortunately.
Mengunjungi rumahnya pun hanya setahun sekali, di malam takbir menjelang Iedul Fitri. Rumahnya sangat minimalis tepat di pinggir sungai, sekitar 3 x 5 meter. Bisa dibayangkan kalau ditinggali 5 orang ? Aku masih jauh lebih beruntung Bung ! Terakhir kali 2016 kemarin di malam yang sama aku dan Ibuk silaturrahim. Bertemu Pak Cicik seorang, sayangnya yang lain pergi. Tenggelam dalam cengkerama sejenak sekedar saling memberi kabar. Angga memutuskan tidak sekolah setelah lulus SMP dan memilih jadi kuli batu pasir dihadiahi motor, jadi dia mau membantu orangtuanya, Mulia bukan ?
Sebagai teman kecil, aku yang peduli pendidikan dan berusaha menjadi manusia terdidik yang merdeka miris rasanya orang terdekat kita hengkang. Sejak pertemuan 2016 kemarin aku semakin punya tekad buat ngajak Angga gabung di Basic Training di Moyudan Sleman liburan akhir tahun kemarin. Training super sederhana tentang bagaimana kita menyadari pergelutan hidup. Namun apa daya, aku harus menyelesaikan banyak misi ku di Jogja dengan satu misi tertinggal di Temanggung. Segumpal kegiatan mengurungku di Kulon Progo, Sleman, then the last is : Jakardah. Setidaknya aku punya misi baik buat teman baik. Sedikit menyesal, Meskipun aku juga berhasil mengajak lebih banyak orang tapi My Big Mission just go to Angga and Putri. Apalah daya.
Bisa dibayangkan ? Rasanya teman seperjuangkan sejak TK terlampau jauh di belakang sedangkan kamu bahkan sudah mampu sesekali melintasi benua. bagiku, sangat tidak bijak kalau kita mungkin berhasil dengan segala pencapaian hidup yang kita rencanakan tapi dekat sendiri atau bahkan bagia dari keluarga maupun yang kita anggap keluarga masih stagnan. Bukannya orang besar itu yang juga bisa mem-BESAR-kan orang lain ?
Jadi untuk apa ?
Aku sangat sangsi kalau banyak orang menyanjungku, bagiku belum pantas kalau masih saja maju sendiri tapi belum merangkul yang lain.
Kata Dek Gibran sama Bapak dalam sesekali waktu sebelum holiday berkunjung ke Jogja cerita kalau Angga masih selalu sering menanyakanku.
Bagiku juga, sangat tidak adil kalau banyak yang men-judgment Angga itu nakal tanpa melihat sisi yang lain. Banyak episode kehidupannya yang tanpa dia minta membuat dia terpaksa menjadi seperti sekarang. Tidak seberuntung kita, barangkali. Yang mungkin baginya serba mengejutkan dan tidak seberuntung kebanyakan dan hal ini menjadi lumrah dan biasa baginya karena begitu seringnya.
Well, dunia selalu punya sisi lucu, lugu, dan mengharukan di tengah takdir yang kadang menyebalkan.
Semoga aku dipertemukan dengan kesempatan yang jauh lebih baik. Biar aku bisa menyemai lagi dengan sepenuh hati tanpa tapi, Angga.